Dokter Profesi Istimewa: Apa Pendapat MK?

Dokter profesi istimewa? Ya. Karena oleh aturan diberi kewenangan medis bertindak atas tubuh manusia. Misal kata membedah, menyuntik, memberi anastesi, tanpa dilabel sebagai perbuatan salah. Itu bukan kejahatan sebagai strafbaar feit, dan tak ada niat jahat (mens rea) di sana. Malah, itu perawatan untuk kesehatan.

Walau status dokter istimewa, itu tersebab kewenangan medis (medical authority) dan kompetensi kedokteran (medical competency). Pun demikian, justru dokter lebih patuh penuh (full complience) pada aturan.

Mengapa? Mereka terikat dan mesti patuh 3 jenis norma. Ini penjelasannya merujuk pendapat MK. Dokter terikat 3 norma sekaligus: norma etik, norma disiplin dan norma hukum. Demikian pendapat MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XII/2014, angka 3.14. Ketiga norma itu dikawal dengan kelembagaan “mahkamah” yang memeriksa dan mengadili, dan memutuskan.

Untuk siapa? Semua dokter! Tak soal apakah dokter umum (general practitioners/GP) maupun dokter spesialis atau malah sub spesialis. Itu sebab UU Praktik Kedokteran (Prakdok) tak bedakan organisasi profesi dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis-subspesialis, tetap berhimpun “satu tubuh” ke dalam IDI. Tepat, IDI adalah organisasi profesi tunggal, seperti Pasal 1 angka 12 UU Prakdok. Sesuai pula Pasal 55 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan, bahwa tiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.

Kembali ke hal ikhwal 3 norma tadi. Norma etik terangkum dalam KODEKI: Kode Etik Kedokteran Indonesia. Misal, dokter wajib bersikap jujur ketika berhubungan dengan pasien dan sejawatnya (pasal 9). Wajib hanya memberikan surat keterangan dan pendapat yang telah di periksa sendiri kebenarannya (pasal 7). Wajib merahasiakan yang diketahui ikhwal pasien sebagai rahasia jabatan (pasal 16). Wajib memberi pertolongan darurat (pasal 17).

Pernah dengar “fiduciary relationship”? Istilah dalam KODEKI yang menyebut hubungan dokter dengan pasien berdasarkan kepercayaan. I Trust my doctor.   Idemditto, profesi hukum: Trust my lawyer. Di titik itu ada perasaan hati, dan kami melakukan “lawyering with heart”.

Norma disiplin terkait pelaksanaan praktik kedokteran yang baik dalam pelayanan medis. Norma hukum? Aturan dalam peraturan perundangan yang berlaku atau hukum positif, misalnya larangan malpraktik. Norma etik diadili Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), norma disiplin diadili Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang otonom pada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan norma hukum diadili pengadilan umum.

Karena itu sahih jika IDI selaku organisasi profesi yang berwenang membuat pengaturan otonom self regulation seperti KODEKI. Karena dokter diberikan kewenangan medis dan kompetensi, jangan salah paham, itu bukan diskriminasi tetapi keadilan profesi. Malah kemandirian profesi dokter dipercaya sebagai nilai universal, dan memperoleh otonomi melakukan self regulation (pertimbangan MK angka 3.12 Putusan perkara Nomor 82/PUU-XIII/2015).

IDI Bukan Trade Union 

Aneh jika dokter disamakan pekerja biasa. IDI bukan organisasi atau perkumpulan biasa, bukan organisasi massa, bukan organisasi/serikat pekerja, bukan organisasi kekuasaan, tetapi organisasi profesi. Sekali lagi, organisasi profesi. Yang terikat kompetensi dan etik.

Lantas? Aneh dan tidak ada rasio legis-nya menganggap IDI organisasi/serikat pekerja (trade union). Justru tidak adil profesi jika dokter dianggap pekerja dan IDI sebagai serikat pekerja. Bisa-bisa rumah sakit dan klinik sepi karena trade union acap mogok dan aksi. Hayo, salah siapa? Saya percaya, itu tak akan terjadi selagi IDI adalah organissi profesi dokter. Justru itu, tolak seinci pun pikiran hendak jadikan IDI sebagai trade union.

Mengapa? Kapasitas dan tanggungjawabnya lebih dari watak pekerjaan biasa. Jangan turunkan derjatnya hanya “tukang” kesehatan, karena itu akan merugikan publik wa bil khusus pasien. Seakan bukan nucleus praktik kedokteran.

Lebih dalam lagi, jika merujuk amanat konstitusi, dokter bagian inti-utama dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang merupakan tanggungjawab konstitusional negara cq. Pemerintah. Mengapa Pemerintah? Karena pemenuhan HAM termasuk kesehatan terutama tanggungjawab Pemerintah sesuai Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945. Ahahai, alangkah mendai dan mestinya Pemerinah tak surut kokohkan IDI sebagai organisasi profesi dokter.

Tersebab itu patik sigap dan bersemangat bercampur riang suka ria setakat didaulat dan menerima amanah mewakili Pengurus Besar IDI maju ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Pihak Terkait dalam perkara Nomor 10/PUU-XV/2015. Misinya mempertahankan IDI sebagai organisasi profesi, bukan trade union.

Mempertahankan kewenangannya atas uji kompetensi dan menerbitkan sertifikat kompetensi. Demi tujuan ganda: profesional trust dan perlindungan pasien. Ini misi keadilan profesi yang mesti dijaga dalam stadium tinggi.

Jika ada yang hendak berpikir IDI sama seperti trade union, sadarlah itu vis a vis spirit hak konstitusi atas pelayanan kesehatan. Kepadanya boleh diajukan pertanyaan ironik: “Anda sehat?”.

Kocak, jika ada yang masih berpikir meper (bahasa melayu, artinya nyaris tumbang) atau hoyong (terhuyung-huyung), membuat anggap dokter disamakan dengan karyawan rumah sakit atau klerk administrasi di sebuh klinik.

Pembaca, ini pertanyaan sasau. Relakah anda jika persalinan istri anda ditangani karyawan rumah sakit, bukan dokter. Pahamkah anda mengapa surat keterangan sehat diterbitkan dokter, bukan klerk karyawan klinik. Silakan merenungkan, atau mentertawakan pertanyaan ini sebagai keganjilan.

Kami bukan dalam keadaan sasau. Kami bangga dan suka membela-bela profesi istimewa. Membela keadilan profesi. Membela dokter. Ingin sehat, jangan sungkan pergi ke MK.

Muhammad Joni, SH, MH: Ketua Masyarakat Konstitusi Indoneia (MKI), Managing Partner Law Office Joni & Tanamas.

Leave a Reply