Fatwa haram dan Tobacco Kills
Dalam aura debat nan sengit, panjang dan kualitatif, akhirnya Ijtima’ Ulama MUI di Padang Panjang, Sumatera Barat menetapkan merokok sebagai khilafiah bainal makruh wal haram. Yakni jumhur ulama berbeda pendapat, antara makruh dan haram! Kedua pihak yang berbeda pendapat, bertahan dengan dalil dan analisis masing-masing.
Namun, untuk kelompok rentan dan beresiko tinggi atas bahaya merokok, yakni anak-anak, perempuan hamil, dan di tempat umum, dan pengurus MUI merokok diharamkan. Di titik ini, perlu melakukan substansiasi atas norma atau kaidah yang dilahirkan di negeri urang minang dan di kota santri ’serambi Mekkah’ yang religius.
Komnas Perlindungan Anak adalah pihak yang mengusulkan fatwa dan menghadiri ijtima’ ulama itu. Konteks dan latar belakangnya untuk perlindungan anak (child protection). Absah jika menafsirkan bahwa fatwa haram merokok untuk anak dan perempuan hamil untuk melindungi anak, perempuan dan janin atau bayi dalam kandungan sebagai wujud perlindungan anak. Karena perlindungan anak merupakan domein kewajiban Negara (state obligation) dan hak konstitusional anak (Pasal 28B ayat 2 UUD 1945), maka fatwa haram merokok bagi anak, perempuan hamil, dan (orang yang merokok) di tempat umum justru mengikat sebagai justifikasi sosiologis dan landasan konstitusional bagi Negara, termasuk industri rokok. Mengapa? Rokok bukan barang normal dan dapat diperjualbelikan secara bebas, seperti halnya air mineral atau buah jeruk. Rokok bersifat adiktif, karsinogenik, mematikan (tobacco kills), dan menyebabkan penyakit. Bakan badan kesehatan sedunia, WHO, menyebutkan bahaya merokok sebagai epidemi global.
Rokok dan merokok tidak tepat jika diposisikan sebagai barang yang dapat dipakai atau tidak dipakai tergantung kepada perokok (konsumen). Tidak benar jika merokok dimasukkan ke dalam teori personal choise (pilihan personal) secara bebas untuk merokok atau tidak merokok. Karena merokok mengakibatkan pemakainya menderita penyakit dan mematikan!
Menurut WHO, rokok adalah pembunuh yang kini dianggap ’bukan basa-basi’. Setiap 6 detik satu orang meninggal karena merokok. Ahli-ahli kesehatan di dunia membuktikan merokok penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan; penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular); penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS, dan 70.000 artikel ilmiah menunjukkan merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut, kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah, pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma, dan saluran nafas lainnya. Studi Ekonomi Tembakau versi Lembaga Demografi FE UI (2008) menyebutkan konsumsi rokok juga penyebab dari sampai 200.000 kematian setiap tahunnya.
Dengan demikian, secara sosiologis, kehadiran fatwa haram merokok tersebut berguna bagi pembuatan hukum untuk pengendalian dampak tembakau (tobacco control law), yakni berperan sebagai justifikasi sosiologis dan konfirmasi moral bahwa merokok membahayakan anak, perempuan hamil dan ditempat umum karena setiap orang yang sangat mungkin terpapar asap rokok sehingga menjadi perokok pasif (passive smokers) yang juga membahayakan.
Sebenarnya secara yuridis, hukum nasional mengakui sifat rokok yang adiktif dan karsinogenik. Bahkan PP 19/2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan mengakui bahwa perbuatan merokok yang didalamnya mengandung tar, nikotin dan karbon serta zat kimia berbahaya lain yang berkisar 4000 jenis itu. PP 19/ 2003 (Pasal 8 ayat 2) mengakui kebenaran (faktual-empiris, ilmiah dan yuridis) bahaya merokok, dengan mewajibkan industri rokok membuat pesan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”;
Kua yuridis, Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran dengan tegas melarang sama sekali promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif. Konsideran “Menimbang” huruf a PP 19/2003, eksplisit menyebut “rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat …” Penjelasan Umum PP 19/2003, menegaskan rokok salah satu zat adiktif yang merusak kesehatan dan mengakibatkan penyakit kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan kehamilan.
Iklan Rokok Dilarang
Tafsir substantif lebih lanjut dari fatwa haram merokok itu sebagai fatwa perlindungan dari bahaya rokok adalah dengan tidak memperbolehkan iklan, promosi dan pemberian sponsor produk rokok. Sebab, iklan, promosi dan sponsor itu mengajak orang lain menjadi perokok dan populasinya menggiurkan.
Target menjerat anak dan remaja sebagai perokok pemula untuk mengganti (substitution) perokok tua yang ’taubat’ dan meninggal, menciptakan ’ketaatan’ (loyality) dengan merek pertama yang dikonsumsi, dan mempertahankan (suistainablity) ceruk pasar rokok. WHO Indonesia & Departemen Kesehatan RI dalam fact sheet bertitel ”Larangan menyeluruh iklan, promosi & pemberian sponsor”, No. 04/2/2004, mengungkap ”Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok …, pola perokok remaja penting bagi Philip Morris”. (Laporan Penelitian Myron E. Johnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Philip Morris, 1981).
Kembali ke soal iklan rokok. Secara normatif Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran (UUP) tegas melarang promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif. Rokok adalah zat adiktif. Philip Moris International yang memproduksi merek rokok terkenal dan merupakan market leader di Indonesia mengakui “there are no such thing a ‘safe; cigarettes” [www.philipmorrisinternational.com]. Karena itu, absah jika melarang siaran iklan niaga promosi rokok dengan Pasal 46 ayat (3) huruf b UUP.
Lagi pula, de facto saat ini iklan rokok tidak rasional lagi. Dengan iklan, rokok yang berbahaya dan karsinogenik bermetamorfosa seakan-akan barang normal, tidak berbahaya dan tidak mematikan!
Lihat saja slogan iklan rokok yang bermetamorfosa dan dicitrakan sebagai ”enjoy aja”, ”kejantanan”, ”kebaikan”, ”kebenaran (karena dicitrakan ’bukan basa basi’), ”kebersamaan”, ”bakat dan ekspresi”. Iklan rokok memiliki kekuatan mempengaruhi anak dan remaja selaku penerima pesan iklan rokok mengingat penetrasinya bersifat visual, bukan verbal. Aspek emosi lebih berperan daripada aspek kognitif. Materi ataupun citra iklan rokok diniatkan menjangkau anak dan remaja. Dr. Widyastuti Soerodjo, membantah dalih industri rokok bahwa perusahaan rokok tak menyasar perokok remaja dan anak-anak. Menurut Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu, iklan dan sponsor itu semuanya untuk kaum muda, bukan untuk kakek-kakek.
Apabila iklan rokok terus dijalankan dan tidak dihentikan maka secara kausalitas akan meningkatkan prevalensi anak-anak merokok, semakin rendahnya usia anak merokok, dan tidak dapat berhentinya anak-anak (dan remaja) dengan segenap implikasinya terhadap hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh dan berkembang anak-anak.
Sampai disitu, maka hak-hak konstitusional anak dan remaja tergerus, yakni hak hidup (Pasal 28A UUD 1945), hak kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang (Pasal 28B ayat 2 UUD 1945) karena anak-anak menjadi perokok pemula yang akhirnya mengancam kehidupannya. Disinilah relevansi fatwa haram merokok bagi anak-anak itu untuk perlindungan dan menyeimbangkan relasi yang timpang antara anak-anak dengan industri rokok yang gresif menjangkau anak-anak dari ‘industrialisasi’ bahaya rokok yang adiktif, karsinogenik dan tobacco kills.