‘Fihi Ma Fihi’ RUU Kesehatan, Siapa Berhak Perlindungan Hukum Berkeadilan?

Oleh: Muhammad Joni

Ini bukan sekadar opini biasa, namun narasi hak asasi warga negara. Idemdito, ini cara masyarakat digital (digital society) menyalurkan/ upload konten kebaikan.

Dengan sekali klik, tebarkan hak konstitusional atas RUU Kesehatan. Aku upload, maka daku ada. Dari pikiran merdeka, pada negara Pancasila. Bagaikan “Pencari kebebasan, tidak akan memburu belenggu”, dari Pasal 33 ‘Fihi Ma Fihi’ (artinya: Inilah yang Sesungguhnya) wisdom sufi Jalaluddin Rumi.

Wisdom keadilan kudu diperlukan kala menyusun makna kitab hukum kesehatan, walau tak menunggu ‘Fihi Ma Fihi’ dikhatamkan. RUU Kesehatan itu kini memasuki babak paling penting, yang dipelototi kritis netizen beradab, yang rajin mengisi kebaikan bermakna di jagat maya tak beratap. Itu juga wujud partisipasi bermakna.

Pemerintah lewat Menteri Kesehatan mengajukan 3.020 DIM (Daftar Inventaris Masalah) kepada Komisi IX DPR RI, 5 April 2023 lalu. Aha, 3.020 DIM itu sangat banyak. Perdebatannya jauh lebih banyak, lagi. Tidak sehat jika hajat partisipasi bermakna (meaningfull participation) dibatasi. Itu pasti! Walau tetap arif, jangan tergesa auto menyalip.

Perlindungan rakyat juncto Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan musti periksa dengan hati-hati dan seksama. Mereka stakeholder utama layanan kesehatan. Eureka, perlindungan hukum berkeadilan bukan statistik. Partisipasi bermakna lebih penting dari unjuk deretan angka peserta sosialisasi pun public hearing.

**

Menjadi dokter itu berat, biar Tenaga Medis saja. Mengapa? Karena dokter dan dokter gigi terikat dengan 3 (tiga) norma sekaligus: norma etika, norma disiplin, norma hukum. Narasi itu bunyi dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 14/PUU-XII/2014, tepatnya pertimbangan hukum Angka 3.14.

RUU Kesehatan ini jangan abaikan kaidah hukum konstitusi dari jamak Putusan MK RI.. Bukan hanya mengambil Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 saja –seperti saya lihat dalam satu bahan paparan public hearing Kementerian Kesehatan, dipasang pada slide permulaan.

Ulasan berikut ini menukik ke soal sengketa hukum. Oleh karena terikat dengan norma hukum, maka Tenaga Medis-Kesehatan bisa dilaporkan secara pidana ke penegak hukum. Oleh siapa? Oleh setiap orang! Bukan hanya sang pasien yang pernah diasuh dan dibantunya. Juga, Tenaga Medis-Kesehatan dapat digugat secara perdata minta ganti kerugian ke pengadilan.

Pengaduan pelanggaran norma disiplin diajukan ke lembaga bernama Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) –yang dibentuk dengan UU Praktik Kedokteran.

Sayangnya, lembaga MKDKI itu –sebagai legal structure yang mengawal substansi norma (legal substance) UU Praktik Kedokteran– tidak lagi dibunyikan dalam RUU Kesehatan. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pun lunglai tak bisa melawan. Perlu dicatat, bahwa KKI, ‘Fihi Ma Fihi’ pertautan Public and Profesional Partnrship (PPP) produk reformasi yang bertanggungjawab langsung ke Presiden.

Padahal, kua historis UU Praktik Kedokteran itu produk reformasi yang disahkan dan diundangkan era Presiden Megawati Soekarnoputri. Lebih sahih mana reformasi praktik kedokteran era Presiden Megawati Soekarnoputri, atau transformasi kesehatan yang diusung Menteri Kesehatan yang melanjutkan Dr. Terawan. Soal ini akan saya ulas di lain kesempatan.

Saya membatin, seakan pengaduan terhadap hal ikhwal disiplin di era nanti hendak dibiarkan by pass ke mekanisme pengadilan biasa?

Dalam Pasal 326 RUU Kesehatan, setiap pasien yang dirugikan akibat kesalahan Tenaga Medis-Kesehatan dapat dimintakan ganti kerugian. Walau pasal itu menggunakan frasa “akibat”, namun tidak dirumuskan apa akibat perbuatan? Cidera, luka, memar, atau apa? Bukan soal sembarangan, perihal “akibat” adalah ajaran hukum kuasalitas yang rumit dan perlu akal cerdas.

Ini misal yang naif. Jika pasien dioperasi dokter bedah dan butuh rawat inap beberapa hari, ketika pasien tidak bekerja ataupun tutup kedai sepulang perawatan, apakah hal itu dianggap kerugian perdata pasien? Dokter melakukan sayatan bedah, apakah itu perbuatan auto salah? Pasal 326 RUU Kesehatan itu begitu mudah memberi multi-interprestasi, padahal norma hukum pidana musti pasti, tanpa interpretasi. Bahkan dikenal asas larangan analogi. Beda antara “kesalahan” dengan “kelalaian” juga harus piawai dipahami, ikhwal itu bukan hanya soal diksi. Tak bisa hanya gramatical reading sekali jadi.

Pasal 327 RUU Kesehatan memang membuka penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Norma begitu memang sudah lazimnya, tidak ada norma terobosan yang baru yang dapat diandalkan, oleh karena sudah ada dalam berbagai aturan.

Bukankah satu RUU yang menjadi UU baru, musti ada surplus kebaikan norma? Juga eskalasi standar norma yang validity lebih tinggi. Kepatuhan kepada konstitusi –sebagai law of making laws— dan kaidah konstitusi dari Putusan MK RI harus dibuat pasti! Dengan harmonisasi ke dalam RUU Kesehatan ini.

Jika merujuk konstruksi Pasal 328 RUU Kesehatan, walaupun Tenaga Medis sudah diadukan ke majelis kehormatan disiplin kedokteran (sekarang MKDKI pada KKI) dan vonis sudah diputuskan, namun tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana. Bahkan bukan hanya dilaporkan oleh sang pasien, namun melebar bisa dilaporkan setiap orang. Karena frasa yang dipakai: “setiap orang”, yang belum tentu berkepentingan.

Juga, gugatan perdata minta ganti kerugian tetap terbuka, walau laporan pidana sudah ada. Ada dua pintu masuk perkara yang terbuka menganga. Sebab, frasa yang dipergunakan adalah: “dan/ atau, tanpa ada Penjelasan.

Majelis Pembaca.Hemat saya Pasal 328 RUU Kesehatan itu terlalu berlebihan. Karena mengasumsikan secara kriminogen Tenaga Medis-Kesehatan tidak berbeda dengan pelaku kejahatan biasa. Saya mengendus adanya over dosis kriminogen, bukan sekadar mengatasnamakan kesetaraan hukum (equality before the law).

Mustinya profesi kesehatan secara tulus dilekatkan dengan asumsi sebagai agen menyehatkan juncto menyelamatkan. Praduga berbuat kebaikan pasien, bukan praduga berbuat kejahatan.

Kritik lain, rumusan Pasal 328 RUU Kesehatan itu keliru asas hukum karena tidak eksplisit menormakan hukum pidana sebagai upaya terakhir (the last resort; ultimum remidium).

Lagi pula, watak asli Tenaga Medis-Kesehatan pembawa misi membantu pasien. Mereka dididik bukan untuk berbuat jahat, namun dipatok sebagai helping profesion secara totok. RUU Kesehatan harus membuat biaya pendidikan kedokteran dijamin negara. Sumpah Hipokrates yang mengikat dokter itu –bersifat universal, kini dan nanti– membantu kesembuhan sang sakit, tanpa seinci pun diskriminasi, dengan kawalan etika dan disiplin tinggi, dokter sejawat pun mengawasi.

Mengapa RUU Kesehatan tidak hendak memberikan tambahan sedikit saja perhatian sisi perlindungan hukum berkeadilan kepada helping profesion di garda depan? Ya.., seperti nun ada jabatan dan profesi lain yang diproteksi imunitas jabatan, pun imunitas profesi dalam baluran norma Undang-undang.

Hemat saya, RUU Kesehatan ini mohon jangan-lah over kriminalisasi Tenaga Medis-Kesehatan. Perlu pembatasan yang pasti. Dalam hal apabila tindakan medis dilakukan sesuai dengan disiplin medis, dan berdasarkan otoritas medis, maka petisi akademis saya: RUU Kesehatan ini musti bijak, menghilangkan pasal yang berpotensi over kriminalisasi –yang diwarisi catatan tak enak.

Majelis pembaca. Jika RUU Kesehatan ini dimaksudkan melindungi rakyat juncto Tenaga Medis-Kesehatan yang berjuang di garda depan, maka sudah sepatutnya Negara melindungi mereka yang bertindak sesuai Medical Judgement Rules, sesuai Discipline Judgement Rules, sesuai Profesional Judgement Rules (sebut saja MDP Rules). MDP Rules menjadi takaran, bukan selera ketidakadilan.

Yth. Bapak Presiden RI.
Yth. Pimpinan dan Anggota DPR RI Komisi IX.

Sejarah sudah memberi bukti, bahwa Tenaga Medis-Kesehatan itu ujung tombak menghadapi pendemi COVID-19 barusan. Loyal bekerja sebagai garda depan layanan kesehatan primer, dan tulang punggung tanggungjawab konstitusional Negara menjalankan pelayanan kesehatan. Itu amanat konstitusi: Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 –yang secara teknis medis hanya bisa dikerjakan Tenaga Medis-Kesehatan. Tak bisa advokat ataupun kalangan perbankan.

Karena itu, sahih jika Tenaga Medis-Kesehatan berhak atas perlindungan hukum yang berkeadilan. Hal itu konstitusional. Tidak berlebihan. Namun wisdom indah penuh makna, dalam menyehatkan hak-hak bernegara. Seperti pesan Rumi dalam ‘Fihi Ma Fihi’: “Ketika engkau melintas di gunung, buat lah suara indah”. “Langit yang biru senantiasa menggemakan suara indahmu”. Sebagai wisdom RUU Kesehatan, suara indah bukan kemewahan. Tabik.
[Muhammad Joni, S.H.MH., Advokat Pro Kesehatan Rakyat].

Leave a Reply