Fit and Proper Test Deputi Gubernur BI dan Independensi Bank Sentral
Untuk mengisi 2 (dua) kursi Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 5 s.d 7 Desember 2011. Calon yang diusulkan yaitu Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad dan Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Riswinandi, Direktur Direktorat Sistem Pembayaran BI Ronald Waas dan Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Perry Warjiyo. Riswinandi satu-satunya calon dari luar Bank Indonesia.
Integritas calon yang bisa mengawal misi Bank Indonesia (BI) tak bisa ditawar-tawar, apalagi dengan preseden buruk masalah etika yang pernah melanda BI. Wakil Ketua Komisi XI DPR dari fraksi Golkar dari Harry Azhar Azis mengatakan, “disamping juga integritas, conflict of interest dan penyalahgunaan wewenang. Jawaban mereka akan menjadi kontribusi keterpilihan mereka,” imbuhnya. Menurut Harry, seperti dikutip Detik Finance, terdapat beberapa pertanyaan yang akan diajukan dalam fit dan proper testtersebut juga menyangkut masalah Deputi Gubernur non aktif Budi Mulya, kredit UKM dan kepemilikan asing di perbankan.
Kehati-hatian dalam penentuan Deputi Gubernur BI bukan tanpa alasan. Demikian juga pengawalan terhadap Komisi XI DPR dalam melakukan fit and proper test agar tak jadi ajang intervensi politik karena BI adalah lembaga yang independen. Wajar saja dilakukan pengawasan terhadap proses fit and proper test agar memperoleh hasil yang memiliki integritas dan professional mengawal independensi BI.
Kua-akademik, pemberian independensi bank sental bukan tanpa argumentasi, malah banyak persintuhan argumentasi baik ekonomi maupun politik dan tentunya arguentasi hukum termasuk hukum tata negara.
Argumentasi ekonomi
Untuk mendukung independensi bank sentral, argumentasi ekonomi (economic arguments) yang paling banyak dikemukakan. Argumentasi ekonomi untuk menyetujui independensi bank sentral yakni guna membebaskan bank sentral dari godaan campur tangan Pemerintah maupun parlemen terhadap kebijakan moneter yang menjadi otoritas bank sentral.
Apabila independensi bank sentral diberlakukan maka bank sentral – dengan wewenang yang dimilikinya – bebas dari campur tangan eksternal dalam membuat kebijakan mengenai tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan lain-lain.
Sehingga, pengambilan kebijakan ekonomi dan moneter lebih cepat, objektif dan netral. Argumentasi menyetujui independensi bank sentral, antara lain pendapat Rosa Maria Lastra sebagai berikut: “One of the most common arguments advocating CBI is the fear that government and parliaments will be tempted to succumb to monetary expansions to meet their financial needs, hereby neglecting the risk and detriment of inflasion. … Inflation is a non-legislated tax, not subject to parliamentary approval. In order to prevent the monetary financing of government deficits, the cental bank should be granted independence”.
Dengan independensi bank sentral, maka bank sentral tidak tercemar dari “intrik” politik dan kepentingan jangka pendek politis, seperti dalam menaikkan suku bunga ataupun menilai laju inflasi yang hanya dilakukan bank sentral. Keadaan sedemikian hanya bisa dilakukan apabila kebijakan moneter berada dalam satu tangan yakni bank sentral (Sawidji Widoatmodjo, “Soal Independensi Bank Sentral”, Harian Kompas, 5 Desember 2000).
Dengan mandat mempertahankan independensi, maka bank sentral dapat mengebalkan dirinya dari – dan bahkan wajib menolak jika adanya campur tangan yang dilakukan Pemerintah maupun parlemen atas kebijakan moneter yang diambil bank sentral. “…CBI is the fear that government and parliaments will be tempted to succumb to monetary expansions to meet their financial needs, hereby neglecting the risk and detriment of inflasion”.
Francesco Lippi mengemukakan pandangan serupa bahwa bank sentral mempunyai kekebalan menolak campur tangan pemerintah atau parlemen. Menurut Lippi, dengan adanya a delegation arrangement for the monetary policy kepada bank sentral berarti membangun mekanisme pada diri bank sentral yang menjamin imunitas tekanan pemerintah atau parlemen.
Untuk meyakinkan perlunya independensi bank sentral, dengan argumentasi ekonomi, Rosa Maria Lastra mengemukakan sebagai berikut, “Inflation is a non-legislated tax, not subject to parliamentary approval. In order to prevent the monetary financing of government deficits, the cental bank should be granted independence”.
Secara teoritis, dapat dikemukakan pula bahwa argumentasi yang menghendaki independensi bank sentral didasarkan pada akibat terjadi bias dalam menilai inflasi (inflation bias) yang dilakukan otoritas moneter, yang terjadi karena kebijakan moneter tidak berada dalam satu tangan yakni bank sentral.
Dalam keadaan sedemikian, dengan independensi bank sentral maka kebijakan moneter yang diambil mesti berbasis kepada ril ekonomi-moneter dan objektif, bukan dengan dalih subjektif berdasarkan kepentingan dari pemerintah yang berkuasa atau parlemen.
Disamping itu, berkembang argumen bahwa independensi bank sentral, selanjutnya membangun citra dan kinerja para central bankers yang tidak terlibat dengan urusan politik dapat menjadi jaminan adanya kesinambungan stabilitas kebijakan moneter.
Argumentasi ini berakar pada kepercayaan bahwa spesialisasi dan isolasi para central bankers dari tekanan politik merupakan dasar yang kuat untuk menciptakan kebijakan stabilitas moneter yang lebih “netral”, lebih cepat, dan lebih objektif. Dibandingkan dengan central bankers, para politisi cenderung memfokuskan kebijakan moneter dalam perspektif jangka pendek.
Selanjutnya, dikutip argumen tentang kemampuan “teknis” yang dimiliki para pejabat dan pegawai bank sentral ini sebagai berikut, “The skills, expertise and superior qualifications of central bankers compared to politician recommend and independent central bank, better able to guarantee a more objective, more ‘neutral’ and faster decition-making process”.
Argumentasi Politik
Disamping argumentasi ekonomi, para pendukung independensi bank sentral juga mengajukan argumentasi politik. Untuk membangun bank sentral yang kredibel, maka kinerja para pimpinan bank sentral dan karyawannya mestilah tidak terlibat dengan urusan politik dapat menjadi jaminan adanya kesinambungan stabilitas kebijakan moneter. Karena itu, polemik perlu tidaknya unsur partai politik masuk dalam bank sentral, dapat ditepis dengan argumentasi ini.
Bagi para pendukung independensi bank sentral, adanya kemampuan, spesialisasi dan daya tangkal para central bankers dari tekanan politik merupakan dasar yang kuat untuk menciptakan kebijakan stabilitas moneter yang lebih “netral”, lebih cepat, dan lebih objektif.
Selanjutnya, argumentasi pendukung independensi bank sentral mengemukakan sebagai berikut: “… the belief that cental bankers, because of their specialization and relative insulation from political pressure, are more prepared to pursue the objective of price stability than politicians. The skills, expertise and superior qualifications of central bankers compared to politician recommend and independent central bank, better able to guarantee a more objective, more ‘neutral’ and faster decition-making process”.
Kontra CBI
Kontras dengan argumentasi yang pro independensi bank sentral, maka argumentasi yang menantang independensi bank sentral mengacu kepada legitimasi demokrasi (democratic legitimacy) dan untuk menjamin adanya konsistensi kebijakan ekonomi (consistent economic policy).
Menurut argumentasi ini, pemberian independensi bank sentral akan menjadikan “negara dalam negara” (state within state), baik oleh karena kebijakan moneter yang dilakukannya ataupun status institusional bank sentral yang bebas dari pengaruh langsung kontrol pemerintah. Padahal, dalam pandangan argumentasi yang menantang independensi bank sentral, pemerintah mendapatkan legitimasi demokratis untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. “The dominant argument against CBI is that an institution which is free from the direct effect of political control lacks democratic legitimacy”.
Sebagai suatu lembaga negara, maka kedudukan dan status bank sentral yang independen, didalihkan tidak mempunyai legitimasi tanpa adanya pendelegasian kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang, dalam hal ini eksekutif dan atau bersama-sama dengan legislatif. Karena itu, pemberian status bank sentral yang independen juga dalam rangka mengemban amanat kebijakan pemerintah selaku eksekutif. Pendapat ini mengacu kepada teori pembagian kekuasaan (separation of power), dimana wewenang dalam bidang bank sentral merupakan turunan dari wewenang eksekutif.
Disamping itu, keberatan utama kedua yang menantang argumentasi independensi bank sentral – secara teoritis maupun empiris – dalam pandangan eksekutif dapat menghalangi penataan kebijakan ekonomi yang konsisten. Karenanya untuk menciptakan kebijakan ekonomi dan moneter yang komprehensif, maka formulasi kebijakan ekonomi dan moneter harus berada dalam satu badan pengambil keputusan. Menurut Rosa M. Lastra, “…the independence of central banks is that hinders the maintenance of a consistenteconomic policy”.
Secara demikian maka kedudukan dan status bank sentral masuk ke dalam atau menjadi sub ordinasi Pemerintah, dan menjalankan fungsinya sebagai pendukung kebijakan ekonomi moneter yang diputuskan Pemerintah.
Akan tetapi, dalam kenyataan empiris, independensi bank sentral tidak ada yang mutlak (absolute), namun masih dalam ukuran-ukuran yang relatif. Hal ini ditandai dengan masih adanya relasi dengan Pemerintah dan Parlemen, setidaknya dalam pembuatan kebijakan yang menentukan sifat independensi bank sentral, baik dalam konstitusi maupun berdasarkan hukum (Undang-undang). Dengan perkataan lain, dalam suatu demokrasi tidak ada kasus yang secara nyata menunjukkan terputusanya hubungan secara absolut antara bank sentral dengan Pemerintah.
Untuk hubungan yang sedemikian, maka penerapan independensi bank sentral itu, menurut Rosa Maria Lastra bahwa yang dikehendaki oleh independensi bank sentral adalah terciptanya kebijakan moneter yang kredibel dalam mengendalikan stabilitas harga (price stability). Akuntabilitas (accountability) dari lembaga bank sentral memungkinkan terwujudnya independensi bank sentral yang accountable (accountable independence), sehingga – dengan konstruksi sedemikian – bank sentral tetap independen namun tidak kehilangan democratic legitimacy.
Karena itu, apabila independensi bank sentral yang diberikan secara mutlak, yakni independensi yang tidak disertai dengan mekanisme akuntabilitas dan transparansi, menurut Dawam Rahardjo, akan memberikan alasan bagi adanya bank sentral sebagai bentuk negara dalam negara.