Fransisca Didakwa Menculik Anak Sendiri – Judicial Review Pasal Penculikan Anak
Rabu, 14 Desember 2011 hari yang tak terlupakan bagi Fransisca, 44 tahun, ibu rumah tangga yang single parentdari 2 anak bawah umur. Dia didakwa jaksa penuntut umum menculik anak kandungnya sendiri, Jason, 10 tahun, anak keduanya. Fransisca resmi bercerai pada 16 Januari 2006, dengan akta cerai nomor 14/I/2006 dan hak pengasuhan atas anak yang bernama Jason Soetanto Putra jatuh kepada suaminya. Ironisnya, karena dituduh menculik anak sendiri, dia sempat ditahan sejak 30 Nopember 2011 dan dititipkan pada rumah tahanan wanita Sukamiskin, Bandung.
Perkara hukum yang “unik” ini bermula ketika Fransisca dilaporkan mantan suaminya dengan pasal penculikan anak. Kejanggalan yang tak tersembunyikan. Bagaimana mungkin bisa menerima logika ibu kandung didakwa menculik anak sendiri?
Jaksa Pintauli Sihombing dari Kejaksaan Negeri Bandung mendakwanya dengan pasal berlapis. Pertama didakwa dengan Pasal 330 ayat (1) Jo. Pasl 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau kedua didakwa Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2002 dengan ancaman maksimal 15 tahun.
Perkara hukum ini bermula ketika Fransisca dilaporkan mantan suaminya kepada Polda Jawa Barat karena dia membawa Jason dan disangka melanggar amar putusan majelis hakim yang menyatakan hak asuh ditetapkan kepada mantan suaminya. Akibat laporan suamnya itu, Fransisca ditahan.
Pelimpahan perkaranya pun dinilai kilat. Sepekan sebelumnya, 7 Desember 2011 Fransisca sudah diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, bahkan tanpa pemberitahuan sebelumnya secara patut.
PN Bandung menjadi tempat bersejarah bagi potret penegakan hukum berkenaan pengasuhan anak. Akankah ibu kandung akan terus bisa terancam penculikan anak kandung sendiri? Akankah Pasal 330 ayat (1) KUHP dan Pasal 83 UU Perlindungan Anak akan menjadi preseden hukum yang kontraproduktif karena bisa dikenakan pada ibu kandung sendiri? Di titik inilah letak kisruh dan pertarungan hukum hari ini dan masa depan.
Kembali ke suasana Bandung, 14 Desember 2011. Cuaca sejuk dan mendung dengan awan gelap yang mengelantung, tak mempan menurunkan semangat kerabatnya mendukung Fransisca. Berbagai kalangan seperti KPAI dan PAKTA, organisasi yang membuat pos perlindungan anak, memberikan dukungan dan memompakan semangat juang. Suasana sidang memang dramatis dan menjadi sorotan luas para ibu rumah tangga dan liputan media lokal maupun nasional. Saya yang menjadi kuasa hukum Fransisca, usai sidang perdana sempat didatangi seorang ibu yang pernah mengalami nasib sejenis. “Titip Fransisca pak, saya bersimpati karena pernah mengalami hal yang sama”, kata perempuan setengah baya itu.
Ternyata, kasus penculikan anak oleh ibu kandung sendiri yang didakwakan pada sosok Fransisca mendapat sorotan perhatian khusus. Sejumlah wartawan dari berbagai stasiun televisi, media cetak dan online serta juru foto tetap sabar meliput, memotret, mengamati, mewawancarai kerabat Fransisca, sembari menanti saat dibukanya sidang perdana yang mengadili Fransisca.
Bahkan, sebelumnya Senin 12 Desember 2011, saat dilangsungkan Sidang HAM 2011 oleh 3 lembaga HAM Negara, yakni Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta, mengalir dukungan simpati untuk Fransisca yang mewarnai suasana di luar arena Sidang HAM. Saat itu kebetulan saya juga diundang menyampaikan tanggapan sebagai pakar hak anak untuk merespon laporan KPAI.
Penangguhan
Kembali soal penahanan Fransisca. Saat sidang pertama dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, Hakim ketua memeriksa kelengkaan surat kuasa kami selaku lawyer Fransisca. Selanjutnya Hakim Ketua mempersilakan jaksa Pintauli Sihombing dipersilakan membacakan Surat Dakwaan yang hanya 2 halaman, Pembacaan sura dakwaan segera usai, Fransisca pun mengerti apa yang didakwakan. Bahkan saking bersemangatnya, Fransisca justru mengambil kesempatan berterus terang membantah isi dakwaan jaksa. Setelah diluruskan Hakim ketua, Fransisca mengakhiri tuturnya dan menyerahkan kepada kasa hukumnya menatakan akan mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa.
Usai kuasa hukum menyatakan akan mengajukan eksepsi pada sidang pekan depan, Hakim memanggil kedua orangtua kandung Fransisca dan Davin, anak kandungnya yang tertua. Hakim mengonfirmasi permohonan penagguhan Fransisca kepada keluarganya. Kuasa hukum pun sudah siap dengan surat penangguhan penahanan menyusul permohonan dan jaminan orang yang diajukan keluarga. Rupanya itu pertanda baik dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan Fransisca.
Majelis Hakim PN Bandung ternyata terketuk pintu hatinya. Ketua majelis hakim membacakan penetapan yang mengabulkan penangguhan penahanan Fransisca yang ditahan sejak 30 Nopember 2011. Penetapan tersebut langsung disambut dengan dengan rasa haru yang tak terbendung serta isak tangis dan tepukan tangan keluarga terdakwa dan pengunjung di Ruang Sidang III PN Bandung.
Siang sampai sore hari itu juga, saya dan sejumlah lawyer dari Law Office Joni & Tanamas yang membela Fransisca mengurus surat dan dokumen pembebasan Fransisca baik di Kepaniteraan PN Bandung, Kejaksaan Negeri Bandung dan membawanya ke kepala rumah tahanan wanita Suka Miskin, Bandung. Di sana pun para pendamping, keluarga, aktifis anak, dan beberapa wartawan masih setia menanti proses adminisrasi dan re-registrasi mengeluarkan Vivi, nama kecil Fransisca. Sekitar jam 17.30 WIB, Fransisca keluar dari gerbang rumah tahanan dan bersiap berangkat ke Jakarta. Suasana suka dan haru menandai peristiwa itu. Sejak sore hari Rabu, 14 Desember 2011 itu dia tak lagi menghuni rumah tahanan wanita Suka miskin, Bandung.
Uji Materil
Perkara ini memang unik dan menarik perhatian. Apakah hati masih berkeadilan, pikiran masih berbasis logika dan sesuai perasaan hukum masyarakat luas jika jaksa mendakwa ibu kandung sebagai penculik? Pertanyaan lanjutannya, apakah pasal 330 KUHP dan Pasal 83 UU Perlindungan Anak konstitusional diberlakukan bagi ibu kandung? Karena itu, untuk melindungi hak hukum dan hak konstitusional para ibu kandung, seperti yang dialami Fransisca, perlu mengusulkan pengujian materil atas kostitusionalitas Pasal 330 KUHP dan Pasal 83 UU Perlindungan Anak.
Gagasan ini sudah pula dibicarakan secara langsung dengan Ketua KPAI, Maria Ulfah Anshor, saat saya bertemu mantan anggota DPRRI itu pada Sidang HAM 2011 pekan ini di Jakarta. Maria Anshor bertutur, KPAI menyambut baik dan akan mengonsolidasikan hal ini. Gagasan ini sesuai pula dengan pikiran mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assyiddiqi pada Sidang HAM 2011. Menurut dia, penegakan HAM harus digerakkan dengan menata instrumen hukum pro-HAM dengan menggunakan mekanisme MK.
Kepada Maria Reyna, kakak tertua Fransisca yang mendampingi adiknya di PN Bandung, saya menyampaikan gagasan menguji kedua pasal penjerat Fransisca itu. Ini berguna untuk perubahan keadaan yang makin melindung ibu kandung dalam mengasuh anak. Agenda kita tak cuma menyelesaikan kasus pdana Fransisca di PN Bandung, namun sebaiknya bisa mengubah keadaan yang pro-anak dan pro-ibu.
“Saya berharap preseden ini bisa mengubah keadaan, membebaskan Fransisca dari ancaman pidana, dan yang tak kalah penting menggesernya dari posisi terdakwa menjadi pahlawan perubahan hukum atas simpang siur kriminalisasi pengasuhan anak yang banyak terjadi dimana-mana”, tutur Muhammad Joni, kuasa hukum Fransisca.
Kerja selanjutnya tak sederhana, membangun hukum yang pro-anak dan pro-ibu, pro-perempuan. Dalam konteks pasal penculikan, tak tepat ibu kandung didakwa pidana. Kalau setelah putusan MK atas uji materil UU No. 3/1997 yang menaikkan batas usia tanggungjawab pidana anak dari 8 tahun menjadi 12 tahun, saya menulis buku “Penjara bukan tempat anak”. Setelah tuntas kasus ini patut juga menuliskan “Penjara bukan tempat ibu”. Perlawanan melawan penghukuman, La lotta contra la pena.