Gagalnya Menteri Kesehatan: Yth.Presiden, Selamatkan Ekosistem Kedokteran

Judul itu bukan tanpa alasan. Argumentasinya beranjak dari risalah mantan Menteri PPN/ Kepala BAPPENAS Suharso Monoarfa, kiprah suara 367 Guru Besar ilmu kedokteran. Juga, tuah seorang “unbreakable” profesor bedah plastik rekonstruksi estetik, dan efek tulah-sejarah dramatis Raja Louis XIV dari Prancis. Selebihnya karena atraksi monolog buatan sendiri.

Semula karena semboyan “Let’s Goverment to Govern” ala Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) yang hendak menjadikan Menkes seakan negara?

Ijinkan amba lebih dahulu disclaimer. Saya bukan profesor. Juga bukan Menteri yang sohor. Silakan disela dan interupsi bahkan kritisi jika ada pun sepotong narasi yang tak syah, apalagi tak berbudi. Usah kuatir saya tak akan menerbitkan surat mutasi.Taknak memberhentikan mitra mendadak sontak. Saya berkaca diri kepada budi nurani dan nasihat konstitusi –sebagai law of the laws alias hukum tertinggi.

Berkaca lah dari sejarah lalu. Belajar lah dari kebenaran ilmu. Jangan lakukan monolog, minus dialog bermutu. Itu pantangan dalam keilmuan. Ya dialog ilmiah yang berbasis ilmu kedokteran. Berbasis bukti (evidence based). Bukan andalkan kekuasaan diri. Bukan testimoni. Alahai, apalagi atraksi monolog sendiri.

Semboyan “Let’s Goverment to Govern” itu beranjak dari pikiran anomali, yang insomnia pada duo-sejoli: demokrasi konstitusional (constitutional democracy) dan negara hukum demokratis (democratish rechstaat) yang dianut UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) dan (3).

**

Jangan rabun jauh sejarah. Dulu, Raja Louis XIV dari Prancis berseru kepada anggota Parlemen Paris pada 13 April 1655: L’etat c’est moi (artinya: negara adalah saya). Diktatorian Louis XIV merupakan penguasa absolut.Dia penguasa tunggal.

Pernyataan Louis XIV itu arogan. Yang menyulut gerakan dan perlawanan. Amarah dan penggulingan rakyat terhadap sang raja tak terpatahkan.

Eureka, raja yang absolut ternyata tak ada yang abadi. Faktanya, otoriterian Raja absolut itu kausal lahirnya Revolusi Prancis. Revolusi dengan semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan). Dari tarikh Revolusi Prancis dengan vibes Solidarity.
Begitu pula Revolusi Iran yang runtuhnya kekuasaan Shah Reza Fahlevi.

Idemditto dengan semboyan Menkes BGS: “Goverment to Govern” menyulut perlawanan. Padahal Menkes bukan Presiden apalagi Raja. Di Negara Republik Indonesia, Menkes hanya pembantu Presiden, ya cuma itu saja. BGS salah dan takkan bertahan jika coba-coba melampaui visi misi Presiden.

Tapi, “Goverment to Govern” ala Menkes BGS dengan vibes arogansi “Negara adalah Saya”, efek dominonya parah. Bahaya jika menciderai supremasi konstitusi, dan mengelak patuh dari jamak putusan mahkamah konstitusi. Juga, pakem body of knowledge-cum-kaidah ilmiah yang tidak hendak diikuti.

Buktinya, legitimasi (38+9) Kolegium ori dihabisi. Klaim kolegium buatan Menkes sendiri –yang alat kelengkapan Konsil tak mandiri– dianggap independen-mandiri, namun auto kendali Menteri.

Padahal yang sejatinya Menkes itu sendiri, kini, adalah menjadi kolegium. Itu bukan tafsir subyektif, namun norma yang menyamar dan persembunyian kepentingan dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai hukum positif.

Ayo.. periksa Pasal 707 ayat (1) dan (2) PP Nomor 28 Tahun 2024. Kebijakan kolegium swakarya sendiri bisa diutak-atik sang Menteri. Nasib dan posisi seperti itu idemdito dialami KKI (Konsil kesehatan Indonesia) yang otoritasnya diakuisisi dengan Pasal 696 ayat (1) dan (2) PP Nomor 28 Tahun 2024. Ironi serupa melanda MDP (Majelis Disiplin Profesi) yang dikendalikan dengan Pasal 717 ayat (1) dan (2) PP yang sama.

Apa logika linier dan nalar hukum yang bisa ditarik ke dalam opini ini? Tafsir sistematis atas tiga pasal di atas, bahwa Menkes=kolegium=KKI=MDP, itu jelas. Alhasil, Menkes berkuasa dalam satu tangan atas trio KKI, kolegium dan MDP.

Coba buktikan dimana independensi kolegium menjaga kebenaran ilmu kedokteran, tatkala Menkes membilang dokter umum bisa Sectio Caesaria (SC). Malah dibawa senyum dan tertawa, seakan Menkes sudah menjadi raja, eh..: kolegium.

Saya mau cerita ikhwal pejabat kolegium buatan BGS yang sepi seperti tak ada kognisi, ketika ditanya alasan dokter umum hendak dibolehkan menjadi raja, eh.. setara Sp.OG.

Soalan menghebohkan itu ditanyakan saat sesi sidang perkara MK Nomor 111/PUU-XXII/2024. Jawaban seorang saksi dari Pemerintah yang diangkat BGS jadi Ketua kolegium, tak berani menjawab substansi. Mungkin takut hilang akan jabatan dan pendapatan.

Hanya POGI (Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) membantah Menkes BGS. Ketua POGI meluruskan demi safety nyawa ibu melahirkan, yang lugas menolak pendapat Menkes BGS tanpa referensi kolegium. Ini bukti, seakan Menkes hendak menjadi POGI. Namun gagal. Dilawan terbuka POGI.

Data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN) yang dikeluarkan POGI, mayoritas kematian ibu akibat komplikasi, yang dapat dihindari dengan penanganan yang tepa oleh tenaga medis yang terlatih.

**

Menkes juga sama dengan KKI. Seakan bertitah: Saya Menkes, Saya KKI. Buktinya, Sertifikat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan bukan atas nama KKI namun atas nama Menkes.

Duhmak, sampai segitunya KKI yang konon independen telah direndahkan hanya menjadi tukang stempel kebijakan. Alhasil, penumpukan wewenang dalam satu tangan adalah vibes Menkes.

Idem ditto proses menjadi MDP. Orang-orang Menkes menjadi Panitia Seleksi dan lucunya telah memilih diri sendiri menjadi Ketua MDP pula. Jamak pula sang kolegium buatan sendiri itu merangkap jabatan sana sini. Ada yang menjabat Direktur Rumah Sakit vertikal di Jakarta.

Upaya hukum peninjauan kembali atas putusan MDP bisa diajukan ke Menkes. Dengan UU Kesehatan 2023, Menkes bisa menjatuhkan veto institusi kuasi peradilan disiplin cq MDP yang diangkat Menkes sendiri.

Soal lain tak kalah kocak, dengan Permenkes Nomor 3 Tahun 2025 Pasal 4 ayat (2), Menkes juga membuat aturan sendiri apa yang menjadi norma (pelanggaran) Disiplin.

Norma Disiplin bisa dibuat semena-mena, entah apa saja yang dipilih menjadi norma Disiplin, yang berlaku kapan-kapan. Menkes adalah hukum. Seakan bersemboyankan: Saya Menkes, Saya adalah Disiplin kedokteran. Hal itu melanggar asas Legalitas. Merugikan hak konstitusional dokter dan menganiaya asas Legalitas yang berlaku universal. Kecuali memberlakukan ‘Negara adalah Saya’ yang analog semboyan ‘Goverment to govern’.

Pekan lalu, saya diberikan data dari seorang dokter spesialis anak subspesialis jantung anak asal Medan perihal ongkos uji kompetensi yang ditarik Rp12,5 juta. Koq bisa? Konon, katanya apa pun kebijakan Menkes demi kepentingan rakyat.

Skakmat, koq ada pungutan kolegium Menkes tanpa dasar aturan? Seakan sekalian Menteri Keuangan? Beleids yang mengabaikan UU Keuangan Negara.

Menkes dengan semboyan “Let’s Goverment to Govern” sudah kandas, kawan. Sebenarnya semenjak awal UU Kesehatan 2023 disusun dan disahkan.

Karena UU Kesehatan 2023 vis a vis kaidah hukum konstitusi dan UU itu jumawa kepada sejumlah putusan MK RI –kekuasaan kehakiman tertinggi yang putusannya merupakan kaidah hukum yang takwilnya setara konstitusi tertulis (writen constitution).

MK RI adalah penafsir sahih konstitusi (sole interpreter of constitution). Dua diantaranya: Putusan MK RI Nomor 10/PUU-XV/2017 dan Putusan MK RI Nomor 82/PUU-XIII/2015, yang layaknya menjadi Landmark Decition MK RI.

Yang paling anyar, Putusan MK RI Nomor 13/PUU-XXIII/2025 yang pertimbangan hukumnya mengambil alih secara utuh Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 –yang diantaranya mengakui Kolegium adalah Academic Body profesi.

Artinya? Ada yurisprudensi tetap yang tak berubah sejak satu dasawarsa (2015-2025) bahwa kolegium itu inheren organisasi profesi.

Relasi antara organisasi profesi dokter dengan Kolegium-nya adalah bertumbuh dan berfungsi dalam satu rumah besar dokter Indonesia cq IDI; yang coba hendak diceraikan paksa. Namun misi rahasia hendak menceraikan Kolegium dari OP cq. IDI, kandas di ketukan palu Yang Mulia Hakim MK RI.

Alhasil, tudingan monopoli kuasa OP (Organisasi Profesi) pada Kolegium ori itu –yang menjadi alasan misi “mereka” ke MK RI– sudah kalah. Sudah kandas. Sudah usang. Sudah basi. Hal yang berbahaya bagi rakyat dan Negara jika masih diedarkan dan dikonsumsi tanpa label sahih secara konstitusional.

Karena itu, patut ditanyakan kewarasan apa hendak dibanggakan dengan menuduh monopoli OP cq IDI ke Kolegium, lagi? Bahkan tudingan kasar nir etik “negara dalam negara” yang menggelikan.

Pembaca, ketahuilah hal itu misi rahasia pertama yang hendak menggerogoti eksistensi IDI yang inheren dengan eksistensi Kolegium ori. Misi yang gagal total.

Aneh jika ada orang yang masih mengunyah dan mengikuti semboyan BGS “Let’s Goverment to Govern”, yang bahkan nekat diujarkan di sidang terhormat MK RI?

Dari tiga putusan MK itu saja: Putusan 82/2015; Putusan 19/2017; Putusan 13/2025, maka auto batal pikiran “Goverment to Govern”.

**

Agenda memisahkan IDI dengan Kolegium itu bersamaan dengan misi aneh hendak menceraikan IDI dari perhimpunan dokter spesialis, yang juga sudah kalah. Sudah kandas. IDI Satu Tetap Eksis.

Misi lain? Membubarkan KKI (Konsil Kedoktetan Indonesia) dengan UU Tenaga Kesehatan, yang hendak menggantikannya dengan KTKI (Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia); juga misi yang gagal.

Gagal bubarnya KKI karena berhasil diselamatkan dengan Putusan MK RI Nomor 82/PUU-XIII/2015. Hasil kolaborasi segenap anggota KKI (Prof. Dr. Bambang Suprianto, Sp.A., Prof. Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A, dkk), dan PB IDI yang dipimpin Prof. IOM bersama PB PDGI beserta dua warga masyarakat yang berhasil memenangkan uji materil ke MK RI. Misi membubarkan KKI ori pun gagal total, lagi.

Malah, MK RI sepakat dan berpendapat bulat bahwa Konsil untuk Tenaga Medis harus dipisahkan dengan Konsil untuk Tenaga Kesehatan.

Paragraf ini mengulas alasan Menkes yang mengutak atik OP dengan narasi yang kacau: “Let’s the docters chose”, sebagai alasan hendak meniadakan pakem Satu OP, yang menurut saya juga telah gagal. Gagal menihilkan Satu IDI –yang konstitusional pada kenyataan konkrit.

Misi itu gagal total karena tak diikuti minat tenaga medis dokter pun dokter gigi berbondong membentuk OP sendiri. Bahkan dilawan tenaga medis dokter dan dokter gigi itu sendiri dengan uji formil dan uji materil UU Kesehatan 2023.

Info paling anyar, MK RI sendiri tak mengakui Organisasi Profesi dokter yang lain dalam perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024.

Ini yang paling baru, heboh dan viral. Sebanyak 367 Guru Besar Fakultas Kedokteran ramai-ramai menyangkal tingkah Menkes. Guru Besar FK dengan kompak, bijak dan elegan bersuara lugas.

Suara bertenaga yang bersikap dan telah memilih jalannya. Diantaranya, petisi membela Kolegium ori yang sudah teruji di MK RI. Dan, mendesak Kolegium otentik jangan diganggu independensinya, titik. Jangan diutak atik yang bersembunyi kepentingan politik.

Juga, Guru Besar FK yang senada swara batin bangsa Indonesia itu telah memilih sikap: segera evaluasi (kebijakan) Menkes BGS! Yang berlanjut kepada petisi dokter ketahanan negara (Doktara) dan segenap alumni FK UI yang meminta Menkes mundur.

Dari semboyan arogan Menkes BGS “Goverment to Govern” seakan itu adalah visi dan misi Menkes sendiri. Seakan Menkes itu: above the law and constitution. Yang kua konsep bernegara –apakah disadari atau karena tak peduli– BGS hendak berada di atas hukum, dan tak santun kepada konstitusi. Bahkan hendak menyetarakan diri dengan Presiden sebagai ‘Top Executive’.

Padahal Menkes hanya pembantu Presiden. Tidak ada visi dan misi Menteri. Bahkan, merujuk Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tidak ada kekuasaan tak terbatas, namun kedaulatan di tangan rakyat berdasarkan konstitusi UUD 1945. Pemerintah yang tunduk patuh konstitusi dan putusan-putusan MK RI. Saya menggemakan “Let’s Goverment by Constitution”.

Majelis Pembaca, pun semboyan keliru Menkes “Let’s the docters chose” yang hendak menyingkirkan IDI, terbantahkan dengan suara lugas dari Pernyataan 357 Guru Besar Fakultas Kedoktetan (FK) se Indonesia.

Gema Suara Guru Besar FK se Indonesia vibes Solidarity itu pun disambut suara dari istana yang mengevaluasi BGS. Suara Guru Besar FK itu, auto mencabut klaim Partisipasi Bermakna (Meaningfull Participation) UU Kesehatan 2023.

“Kami tidak menutup telinga atas aspirasi dari rekan-rekan di fakultas kedokteran. Masukan mereka sangat penting dan tentu menjadi bahan pertimbangan kami karena berdasarkan sudut pandang profesional,” sebut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Kiranya, pernyataan juncto partisipasi bermakna Guru Besar FK se Indonesia itu bagai menyalakan gerakan cabut mandat Menkes BGS. Menganulir Menkes adalah vibes Solidarity menjaga supremasi konstitusi dan konstitusionalisme.

**

Hendak menilai kinerja portopolio Menkes, ujilah dengan dokumen teknokratis. Itu timbangan yang adil. Ada 10 indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang keehatan yang berisiko tidak tercapai pada 2024. Begitu tutur Menteri Suharso dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi XI DPR di Senayan, Jakarta (5/6/2023).

Imunisasi dasar lengkap yang ditarget pada 2024 mencapai angka 90 persen, namun pada capaian 2022 baru menyentuh angka 63,17 persen. Prevalensi stunting pada balita yang harus bisa ditekan hingga 14 persen pada tahun depan. Namun, capaian 2022 baru hanya 21,6 persen. Misi menjaga tercapainya target bidang kesehatan itu, maaf: gagal.

**

Dia pantas saya sebut bagaikan figur penjaga ilmu kedokteran yang tak terpatahkan (“unbreakabke”). Diambil dari judul film “Unbreakable” (2000) dari lakon Bruce Willis –aktor yang difilmisasi mempunyai kekuatan super pada dirinya– yang cuma dia sendiri saja selamat dari kecelakaan kereta mengerikan, padahal 131 penumpang kereta tewas. Siapakah dia?

Bukan film, ini fakta sosok ilmuwan kedokteran sekaligus praktisi kedokteran yang tak biasa itu adalah Prof. Dr. dr. Djohansjah Marzoeki, Sp.BP, Sp.BP-RE, Sub.Sp.RL. Dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi estetik jebolan universitas Groningen di negeri Belanda itu mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR).

Seperti sikapnya yang pemberani, Prof.Djohan total jiwa raga mengembangkan Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi Estetik Indonesia. Karena keahliannya, Prof Djohansjah didapuk menjabat Ketua ASEAN Plastic Surgeon Association.

Tahun 2018 Prof. Djohansjah menerima penghargaan keilmuan: Tribute Lecture XVIII dari UNAIR. Dia dinobatkan Begawan Kesatria Airlangga.

Sempat lulus masuk STM (Sekolah Teknik Menengah) di kota Bandung, Prof. Djohansjah ulet dan cukup awet mengawal PERAPI (Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia) empat periode: 1986-1998. Pamor Prof Djo berpengalaman 40an kali operasi kelamin, Dorce Gamalama ialah satu pasiennya.

Walau usia 84 tahun, energi hidupnya menyala terus. Pemikirannya bernas. Ucapannya lugas. Penulis buku ‘Hidup Ini’ (2008), ‘Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu’, dan ‘Tehnik Pembedahan Celah Bibir dan Langit-Langit’ itu acap terbang dari langit kota Surabaya ke Ibukota Jakarta hanya untuk datang sidang ke MK RI.

Prof. Djohansjah “unbreakable” Marzoeki maju tak gentar sendirian menguji Pasal 451 UU Kesehatan yang mencabut legitimasi “hajat hidup” Kolegium kedokteran sebagai lembaga ilmiah yang kudu bersifat independen.

Prof Djohan berjuang bukan hanya mempertahankan hidup Kolegium kedokteran, namun tanpa kompromi. Dia mematok prinsip bahwa Kolegium bukan buatan pemerintah. Bukan sub ordinat politik. Tapi Kolegium yang takluk pada kaidah ilmiah ilmu kedokteran saja.

Menurut kaidah ilmiah, jika salah, ya dibuang! Baginya, tak ada kompromi dalam mengampu ilmu kedokteran.

Mengapa? Karena tanggungjawab Kolegium kedokteran mengemban bakti dan berkontribusi karena terikat sumpah Hipokrates.

Mengapa Prof Djohansjah menguji Pasal 451? Karena pasal itu kausal hapusnya legitimasi Kolegium. Mengapa pula figur Prof. Djohansjah yang maju?

Karena kegelisahan sebagai ilmuwan kedokteran, yang mengendus bakal runtuhnya eksistensi Kolegium yang independen. Terlebih resiko tidak validnya jatidiri ilmu dengan aneksasi [K]olegium ori menjadi (k)olegium yang bisa diutak atik.

Kekuatiran dan prognosa kolegium tak independen itu terbukti, malah jauh lebih parah lagi. Terbukti terbitnya PP Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 707 ayat (1) dan (2) yang memberi wewenang kepada Menteri Kesehatan melakukan intervensi, bahkan mengutak atik tugas kolegium. Jiwa Kesatria Airlangga-nya menyala.

Tak hanya menginspirasi, Prof.Djohansjah contoh sosok pemberani yang diikuti. Upaya litigasi Prof Djohan menyelamatkan Kolegium tak patah malah didukung meluas sejawatnya.

Lebih tiga ratus enam puluh-an Guru Besar FK se Indonesia mendukung upaya litigasi menjaga hak hidup Kolegium ori yang lagi berproses di MK RI.

Semula aksi litigasi konstitusi yang dilakukan sempat didebat putriya yang bertanya: mengapa sang ayah repot maju ke MK RI?

Kepada putrinya, Prof. Djohan menjawab lugas dan ringkas, “(Ilmu kedokteran) ini hidup saya”, ujarnya kepada kami tim kuasa hukum.

Demi menjaga Kolegium ori bukan plastik, dia tidak takut. Dia tak sembunyi di balik pintu berjubah ilmu.

Dalam buku motivasi berjudul “Hidup Ini” yang diberikannya kepada saya, dia menulis begini.

“Hidup ini hanya untuk mereka yang berani. Orang-orang yang takut secara berlebihan dia tidak dapat apa-apa. Orang-orang takut hanya patut berada di balik pintu, Atau dalam liang perlindungan”.

Membaca itu saya takzim dan bangga menjadi lawyernya. Dia tampil berani dan “unbreakable” mempertahankan Kolegium ori dari kebengisan Pasal 451.

Prof. Djohan bertindak berani dan disokong karena benar, bebas intervensi.

Kini, ratusan Guru Besar ilmu kedokteran mendukungnya lantang. Pada titik itu saya belajar arti kesejawatan dokter dan menikmati vibes Solidarity. Guru Besar yang berani, tidak takut, dan rela membela kebenaran, memperbaiki dan mendokterkan kerusakan ekosistem kedokteran.

“Orang rela adalah orang yang bebas. Orang yang tidak rela, selalu tertekan pikirannya, menderita dan gelisah”, tulis Prof Djohansjah dalam buku legit berkulit cokelat yang berjudul ‘Hidup Ini’.

Supaya negeri ini bebas dari ketinggalan dan rela bangkit dalam kemajuan, dia menyarankan 3 (tiga) hal ini: sejak kecil diajarkan berpikir rasional, moral tinggi, dan tak kompromi pada sistem meritokrasi. Begitu chat-nya kepada saya saat diminta “apa kata-kata hari ini” menyambut Hari Kebangkitanan Nasional 20 Mei 2025.

Prof Djohan mengajarkan dedikasi dan tanggungjawab bukan hanya dalam jabatan Guru Besar-cum-pakar kedokteran, namun sebagai orang perorangan.

**

Epilog, terciderainya demokrasi dan supremasi konstitusi taknak patuhi sejumlah Lamdmark Decition Putusan MK RI perihal Kolegium dan KKI. Senada dengan suara Guru Besar ilmu kedokteran –yang bermakna aksi mengembosi klaim Partisipasi Bermakna UU Kesehatan– adalah vis a vis Asta Cita pertama Presiden Prabowo Subianto.

Juga, fakta dan norma “genosida” Kolegium ori degan Pasal 451 dan mengerus sifat independensi kolegium serta mengeliminir fungsi organisasi profesi dokter cq IDI, tak bisa disanggal sebagai menggerus pembangunan sumber daya manusia, sains dan teknologi serta pembangunan pendidikan kedokteran yang guncang dan pembangunan kesehatan –yang dalam UU Kesehatan bergeser jauh menjadi Health Industry. Soal ini berhadapan dengan Asta Cita kedua.

Atas dua butir Asta Cita yang penting itu, jika merujuk suara Guru Besar ilmu kedoktetan FK se Indonesia; telah menciptakan kerusakan ekosistem kedokteran, sehingga musti segera diselamatkan.

Atas hal krusial itu, tanggungjawabnya bersifat mutlak: strict liability. Bukan hanya tanggungjawab administratif-teknis karena jabatan, pun tersebab kerusakan ekosistem kedokteran itu bisa tembus menjadi tanggungjawab perorangan seorang BGS.

Yth. Presiden Prabowo, Selamatkan Ekosistem Kedokteran Indonesia.
Tabik.

(Adv. Muhammad Joni, SH.MH, Founder Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia)

Leave a Reply