Hak Dasar Atas Rumah Versus Backlog

Tak tanggun-tanggun, hak atas rumah sudah masuk konstitusi.  Secara konstitusional setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang layak dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Eksplisit tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Karena itu  merupakan kewajiban Negara  selaku eksekutif dalam pembangunan perumahan rakyat, termasuk dengan menyediakan kemudahan dan atau bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi setiap orang atau warga masyarakat, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Hak atas rumah yang diakui  sebagai  HAM   secara eksplisit dijamin  Pasal 40 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia  yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.   Dalam Deklarasi Rio de Jeneiro, dimana Indonesia senantiasa aktif dalam kegiatan yang diprakarsai oleh United Nation Center for Human Settlements, yang kemudian tertuang pula dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua oran untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau.

Namun, faktanya masih banyak yang belum menikmati rumah, berada di kawasan kumuh dan menjadi penyewa rumah seumur hidupnya Kemiskinan struktural yang menyebabkan banyak warga kota mengalami kendala mendapatkan tempat tinggal dan lahan usaha seperti teruangkap dalam  buku  Djaka Suhendera, bertitel “Sertifikat tanah dan Orang Miskin” laporan atas pelaksanaan proyek ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta”, yang diterbitkan  HuMa, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV-Jakarta.

Dengan adanya kelangkaan lahan mengakibatkan  harga tanah mahal  di kawasan perkotaan, sehingga menghambat orang atau warga masyarakat untuk memperoleh rumah, dan atau membeli rumah oleh karena tingkat harga rumah yang tinggi apalagi dengan syarat luas lantai minimal 36meter persegi. Harga tanah di negara-negara sedang berkembang di Asia yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain, termasuk negara maju  Tidak setiap orang atau warga masyarakat mempunyai daya beli (purchasing power) atau mempunyai pendapatan yang cukup membeli atau membayar harga cicilan apabila diperhitungkan dengan tingkat pendapatan warga masyarakat miskin atau kelompok MBR.

Sehingga persyaratan luas lantai minimal 36meter persegi semakin tidak terjangkau oleh daya beli dan tingkat pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Indonesia membutuhkan pertambahan rumah sekitar 700 ribu unit rumah per tahun dengan asumsi pertumbuhan penduduk 1,3 persen. Indonesia kekurangan jumlah unit rumah sebanyak 13,6 juta unit. Salah satu penyebab kurangnya rumah bagi warga berpenghasilan rendah karena keterbatasan lahan.

Masalah perumahan atau hunian bukan cuma kurangnya jumlah unit rumah tetapi juga masalah lemahnya kemampuan masyarakat membeli karena ada gap yang besar antara daya beli masyarakat dengan harga pasar. Kenyataan ini dikemukakan oleh Ali Wongso, anggota Komisi V DPRRI.

Diperkirakan ada sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia yang belum menempati rumah layak huni yang sebagian besar adalah kelompok MBR (vide Majalah “Inforum” Edisi 3 Tahun 2010, Kementerian Perumahan Rakyat, hal. 12-13). Dalam pandangan ahli manajemen Rhenal Kasali, pengamat ekonomi Unversitas Indonesia, kebijakan pembangunan perumahan tidak pro poor karena kebijakan pembangunan perumahan diarahkan bukan untuk kaum miskin (Kompas, “Kelas menengah belum menjadi strategi”, 23 Desember 2011, hal.17).

Adanya penambahan dan bahkan eskalasi tingkat backlog pembangunan perumahan rakyat tersebut (tahun 2009 sebanyak 7,4 juta unit rumah bandingkan dengan tahun tahun 2010 diperkirakan mencapai 8,4 juta unit rumah).   Jika dibandingkan dengan tahun 2002 yang menargetkan 130.000 unit rumah hanya tercapai realisasinya 39,979 unit rumah.

Sedangkan tahun 2003, hingga bulan September 2003 saja baru mencapai realisasi 59.275 unt rumah dari target rencana 90.000 unit rumah (vide harian Kompas, 13 Februari 2004),  maka dengan  fakta backlog diatas   dapat dikemukakan bahwa target pencapaian pembangunan rumah senantiasa tidak tercapai (backlog) dari tahun ke tahun bahkan dalam jumlah yang signifikan 40 s.d 50%. Dapat diperkirakan, apabila sebelum adanya Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011, yakni  pada periode tidak adanya persyaratan minimal luas lantai unit rumah minimal 36 meter persegi, sudah menimbulkan  tingkat backlog yang  tinggi  maka apabila dipersyaratkan sesuai Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun  2011, sudah pasti dapat diperkirakan  tingkat backlog yang semakin tinggi lagi.

Sehingga pemenuhan hak atas perumahan terhalang yang diakibatkan sebagai kausalitas adanya norma Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 yang berbunyi “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”. Norm ini adalah bertentangan  dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Leave a Reply