Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Hutang
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak kebendaan yang mempunyai nilai ekonomis. HKI dapat dialihkan, diperjualbelikan, disewakan, dan perjanjian lainnya. Oleh karena mempunyai nilai ekonomis, maka HKI merupakan harta kekayaan.
Dengan dasar itu di Indonesia sebenarnya kua-teoritis HKI dapat dijadikan jaminan utang. Tak hanya itu, sebagaimana halnya industri kreatif lainnya, maka HKI dapat diletakkan sebagai jaminan utang [Redaksi Majalah SWA, “Bangkitnya Franchise Lokal”, Thursday, July 16th, 2009].
Oleh karena setiap pembiayaan bisnis membutuhkan instrumen jaminan utang, maka tentu saja hal itu apat dilakukan untuk bisnis yang berbasis HKI seperti halnya pemegang hak franchise atau waralaba. Bandingkan dengan industri konstruksi yang memiliki tanah dan bangunan sebagai jaminan hutang. Bagaimana dengan industri kreatif atau pemegang HKI atau pemegang franchise? Apakah pemegang HKI bisa meletakkan hasil kreatifitas atau HKI yang dikuasainya dijadikan jaminan utang? Sekitar 6 tahun yang lalu David Bowie menerbitkan suatu surat hutang yang di jamin dengan lagu-lagu ciptaannya. Bagaimana di Indonesia ? Tentu elemen industri kreatif harus kreatif pula mendorong agar hasil kreatifitas wujud sebagai properti yang layak diagunkan. Modal dasarnya sudah jelas tertera pada UU Hak Cipta dan draft perubahannya yang menganggap Hak Cipta sebagai sebagai benda bergerak.
Pemberian kredit bank kepada nasabah debitur dapat berpotensi menjadi kredit macet, sehingga untuk mengantisipasi resiko kredit macer tersebut, maka pihak bank pada umumnya mengharuskan nasabah debitur untuk memerikan jaminan kredit dan agunan kredit.
Selama ini masyarakat awam mempersamakan pengertian “jaminan kredit” dengan “agunan kredit”, padahal pengertian keduanya berbeda. Jaminan kredit adalah jaminan utama yang berwujud tidak nyata, yaitu jaminan yang berupa “keyakinan” bank atas “iktikad baik” nasabah debitur untuk melunasi uatangnya sesuai perjanjian, sedangkan agunan kredit adalah jaminan tambahan yang pada umumnya berwujud fisik (misalnya : rumah, tanah, mobil, surat berharga, dan lain-lain) yang dicadangkan untuk pelunasan hutang.
Agunan kredit terdiri dari agunan pokok dan agunan tambahan. Pengertian jaminan kredit secara tersirat dan tersurat dijelaskan dalam pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Pengertian agunan kredit menurut Pasal 1 angka 23 UU Tahun 1998 adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
Agunan pokok dapat berupa barang, surat berharga, atau garansi, yang berkaitan langsung dengan objek ang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang-barang yang dibeli dengan kredit yang bersangkutan, maupun tagihan-tagihan debitur kepada pihak lain.
Agunan tambahan dapat berupa barang, surat berharga, atau garansi, yang tidak berkaitan langsung onjek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambahkan sebagai agunan. Agunan tambahan tidak bersifat pokok, artinya tanpa agunan itupun bank tetap dapat memberikan kredit kepada nasabah debitur, asalkan syarat jaminan kredit dan agunan pokok telah dipenuhi.
Pengerian jaminan kredit dan agunan kredit sering berubah-ubah. Pengertian jaminan berdasarkan UU Perbankan No 10 Tahun 1998 tidak sama dengan pengerian jaminan berdasarkan UU Perbankan Tahun 1967. Menurut UU Perbankan Tahun 1967, pengerian “jaminan” disamakan dengan “agunan”. Adapun “jaminan” menurut UU Perbankan No 10 Tahun 1998 diartikan “keyakinan atas iktikad dan kemampuan nasabah serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaskud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Jaminan kredit yang dimaksud UU Perankan No 8 Tahun 1998 bukanlah jaminan kredit yang selam ini dikenal dengan sebutan collateral yang merupakan bagian dari Prinsip 5 C. Istilah collateral oleh UU Perbankan No 10 Tahun 1998 diartikan dengan “agunan” [Rachmadi Usman, 2001, “Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia”, Cetakan 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 282].
Dalam hal pemberian kredit perbankan, dipergunakan prinsip 5 C adalah prinsip/pedoman dasar yang haris dipegang oleh setiap pejabat perkreditan pada saat memberikan kredit kepada nasabah debitur. Prinsip 5 C merupakan bagian tak terpisahkan dari keharusan bank untuk menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit kepada nasabah debitur. Prinsip 5 C meliputi :
a. character (sifat/kepribadian) b. capital (permodalan) c. capacity (kemampuan) d. collateral (agunan), dan e. condition of economy (kondisi perekonomian)
Pemberian kredit dari bank kepada nasabah debitur, disamping harus didasarkan adanya perjanjian kridit sebagai perjanjian pokok, juga harus diikuti perbuatan perjanjian jaminan sebagai perjanjian accessoir (tambahan). Pemberlakuan perjanjian jaminan mengikuti perjanjian pokok yang mendasarinya. Perjanjian jaminan berkaitan dengan pengikatan jaminan kredit atas agunan kredit yang pada umumnya diikat dengan akta notaris yang bersifat baku dan bersifat eksekutoral.
Sifat eksekutoral dari perjanjian jaminan mengandung konsekuensi jika debitur ingkar janji (wanprestasi) maka bank langsung dapat mengajukan permohonan eksekusi agunan via Pengadilan Negeri, tanpa harus melalui proses peradilan biasa. Perjajian jaminan dibuat pihak bank sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit sehingga kelak ada jaminan pengembalian kredit secara utuh.
Pengertian collateral menurut SK Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, Pasal 2 ayat (1) adalah “kekayaan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Sedangkan guna memperoleh keyakinan tersebut maka bank sebelum memberikan kredir harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, model, agunan, dan prospek usaha dari debitor. [Muhamad Djumhana, 2000, “Hukum Perbankan di Indonesia”, cetak ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 393-394.]
Dalam praktek perbankan di Indonesia, pengaturan tentang Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA telah diatur dalam peraturan Bank Indonesia No 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum, dimana pada pasal 46 menyebutkan :
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; b. tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak tanggungan; c. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; dan atau d. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia.
Dalam perkembangan hukum mengenai agunan ini kemudian berkembang setelah dikeluarkannya Undang-undang No 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang, yang memasukan Resi Gudang sebagai bagian dari konstruksi hukum agunan di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan Peraturan Bank Indonesia atau PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas PBI No 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum, pada pasal 46 meliputi :
(a) surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan dibursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; (b) tanah, gedung dan rumah tinggal yang diikat dengan Hak Tanggungan; (c) mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan iikat dengan Hak Tanggungan; (d) pesawat udara atau kapal lau dengan ukuran diatas 20 meter kubik yang diikat dengan Hipotek; (e) kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara Fidusia; dan atau (f) resi gudang yang diikat dengan hak Jaminan atas Resi Gudang.
Tabel 1:
Perbandingan Perubahan Bentuk Agunan
Pasca Lahirnya UU No 9 Tahun 2006 tentang Resi Gundang
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM |
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/6/PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM |
Pasal 46 | Pasal 46 |
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; | a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; |
b. tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak tanggungan; | b. tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat dengan hak tanggungan; |
c. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; | c. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; |
d. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia. | d. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia. |
e. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan; | |
f. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang. |
Apabila dilihat dari ketentuan tersebut, sangat jelas bahwa hingga saat ini, Sertifikat HKI belum tercantum sebagai salah satu bentuk agunan kredit yang diakui di Indonesia, walaupun secara eksplisit seluruh HKI yang diatur dalam undang-undang memuat syarat yang sangat memungkinkan HKI dapat dijadikan agunan kredit. Oleh karenanya, menjadikan HKI sebagai bagian dari agunan di Indonesia akan sangat mungkin dilakukan, sebagaimana Resi Gudang yang pada akhirnya dapat dijadikan agunan.