Hak Pemeliharaan Anak, Piala Bergilir?
Hotline Service Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima sejumlah pengaduan perebutan anak. Bukan hanya dari kalangan kelas menengah-bawah, tetapi juga dari kelas ekonomi atas. Sebagian diantaranya selebritis dan tokoh yang dikenal publik.
Banyak kasus yang belum sampai ke pengadilan, perebutan sudah terjadi. Tak jarang pula yang sudah mengantongi putusan pengadilan (agama), namun tidak dipatuhi dan tidak dijalankan.
Hak pemeliharaan anak (hadhonah) adalah term untuk pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (12 tahun). Jika meruju kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105, hadhonah diberikan secara eksplisit kepada ibunya. Namun, hak pemeliharaan anak – menurut versi pasal 105 KHI itu – bukan ketentuan yang imperatif, namun bisa saja dikesampingkan dan diabaikan.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak.
Anak (yang masih di bawah umur) dalam sistem hukum dan praktek hukum di Indonesia, tatkala kedua orang tuanya berperkara di pengadilan (gugat cerai atau permohonan talak), tidak pernah dimintakan pendapatnya oleh kedua orang tuanya. Hakim yang mengadili perkara itu tidak pula meminta pendapat anak, atau mendalami bagaimana kehendak anak. Padahal, dalam UU No. 23 Tahun 2002, dan Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) dikenal prinsip penghargaan pendapat anak (respect view of the child).
Pasal 2 UU Perlindungan Anak tersebut berbunyi : ”Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi: a. …; b. …; c. …; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak”;
Diperoleh fakta dalam praktek hukum, pendapat anak sering diabaikan. Hampir semua kasus perceraian tidak meminta pendapat anak. Misalnya Hakim dan para pihak yang berperkara, jika menghargai pendapat anak, perlu menelusuri pendapatnya (walaupun bukan dengan pertanyaan kaku dan formal seperti keterangan orang dewasa). Tidak pernah anak diminta pendapatnya: apakah dia setuju dengan perceraian atau tidak. Apakah dia memiliki pandangan khusus mengenai hak pemeliharaannya? Mau mengikuti siapa? Bagaimana pula alimentasi atas kebutuhan hidupnya?
Di sisi lain, anak memiliki hak untuk bersama (unifikasi) dengan keluarganya. Anak juga memiliki hak privat untuk bisa bermain, berhati nurani, dan memperoleh informasi, serta hak mengakses informasi. Termasuk tentang proses hukum perceraian kedua orang tuanya di pengadilan.
Ketua Komnas PA, DR. Seto Mulyadi, menegaskan pentingnya penghargaan terhadap pendapat anak, antara lain mengatakan, ”…Anak-anak itu berhak dimintai pendapatnya berkaitan dengan nasib dan masa depannya. Partisipasi ini hak dasar, harus diberikan kepada anak dalam setiap situasi.” [Majalah TEMPO,Edisi 6-12 Maret 2006, hal.40.]
Superioritas orang tua?
Berbagai kasus atau perkara perebutan (hak pemeliharaan) anak, yang dilaporkan kepada hotline services Komnas PA, sepertinya berbasis pada pandangan salah tentang superioritas orang tua – menguasai anak. Integritas anak seakan hanya bisa dikukuhkan secara subyektif hanya oleh ayah atau hanya ibunya.
Padahal, konsep perlindungan, pengasuhan, dan pemeliharaan anak, dikembangkan lewat basis yang kuat yakni kepentingan terbaik bagi anak. Integritas pertumbuhan dan perkembangan anak – bukan hanya sekadar fisik-biologisnya sahaja. Akan tetapi mencakup fisik, psikologis/mental, pikiran anak.
Perebutan pemeliharaan anak, dalam tensi apa dan bentuk yang bagaimanapun, akan merusak integritas anak. Apalagi perebutan anak yang bermuara pada pertikaian, sengketa, dan perbuatan pidana. Tidak juga diperkenankan menghalangi dan membatasi salah satu orang tua.
Di luar konteks hadhonah, seperti ramai diberitakan, Rasya (anak pasangan Teuku Rafly-Tamara Blezinski) maupun Nik Ch (anak Zarima Mirafsur) diperebutkan, maaf, bak piala bergilir. Saling klaim kedua “orang tua” atas anak perempuan mungil bawah umur itu kini berseteru melalui jalur hukum (pidana). Seakan tak cukup lewat proses pro justisia, disadari atau tidak ayah dan ibu Nik Ch juga saling bertukar kecaman dan pernyataan, bertikai via media penyiaran infotainment. Syukurlah andai iktikat kedua aktor yang tengah in action merebut dan mempertahankan kuasa asuh anak itu, bermaksud tulus dan orisinal untuk kepentingan terbaik anak.
Masalahnya, sudahkah dipertimbangkan implikasi perseteruan itu bagi melindungi integritas fisik dan mental anak, serta pikiran ? Menjamin haknya untuk tumbuh dan berkembang wajar tidak tercederai dan melindungi hak privasi anak sebagai subyek hukum yang dijamin Negara dan Konvensi Hak Anak – kendatipun anak masih dalam penguasaan orang tua.
Nik Ch bukan kasus perdana. Dalam menerima laporan pengaduan masyarakat melalui program hotline services Komnas PA, kasus idem ditto banyak dilaporkan. Dan meminta Komnas PA aktif menyelenggarakan arbitrasi dan mediasi. Bahkan tak jarang berlanjut dengan advokasi hukum sengketa hak asuh anak.
Namun perlu dipastikan apakah perseteruan itu mencerminkan tanggungjawab orang tua dan aktualisasi hak-hak anak atas tumbuh kembang yang layak. Layak bagi perkembangan integritas fisik dan mentalnya. Jangan sampai, dalam hal terjadi perseteruan – yang diikuti pula dengan ekspos berlebihan atas kasus personal memperebutkan anak – justru kontraproduktif bagi proses alamiah anak menjalani evolusi kapasitas (evolving capacity) menikmati masa kanak-kanak.
Tercederainya proses alamiah evolusi kapasitas anak patut dicemaskan. Akibatnya, kepentingan terbaik bagi anak akan tersisihkan, esensi perlindungan hak anak menjadi buram. Antara lain hak tumbuh dan kembang dengan wajar, hak atas privasi anak, hak mengemukakan pendapat dan pendangan sendiri, hak bersatu dengan keluarga, hak atas informasi yang sehat dan tidak vulgar.
Kualitas orang tua
Seperti apakah kewajiban dan tanggungjawab orang tua melindungi anak dalam perspektif Konvensi PBB tentang Hak Anak? Ada yang beranggapan sumir dan prejudice bahwa nilai dan norma dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak adalah produk berorientasi barat yang menegasikan peran orang tua.
Pendapat alakadarnya yang tergopoh-gopoh mencap hak-hak anak sebagai pemikiran Barat-Liberal dan belum cocok dengan nilai-nilai domestik, yang memberikan “superioritas” kekuasaan orang tua atas anaknya. Anak dianggap tak ubah bagai “property” milik orang tua yang bisa diperlakukan semena-mena, dipindahtangankan, dan diperebutkan – tanpa mempertimbangkan integritas fisik dan mental serta pikiran anak.
Bahkan, dalam pandangan sebagian masyarakat lokal di Nusa Tenggara misalnya, pukulan dan kekerasan dianggap biasa jika dilakukan pada anak dengan dalih pendidikan dan pembinaan. Menurut satu studi, disana dikenal pepatah yang diamini kebenarannya, “di ujung rotan ada emas”.
Rotan biasa dipakai untuk memukul dan melibas orang ataupun hewan. Namun rotan itu bukan saja diekspresikan dalam arti sebenarnya. Rotan bisa pula tamsil dari perlakukan kekerasan psikis dan pencideraan integritas mentalitas dan pikiran anak. Karena dalam standar/komitmen universal, seperti dalam The Beijing Declaration yang menisbahkan kekerasan mencakup fisik, kekerasan psikis (mental dan pikiran), dan kekerasan seksual.
Kembali kepada pandangan alakadarnya mengenai hak-hak anak sebagai legitimasi nilai dan norma liberal. Ternyata, secara normatif, Konvensi Hak Anak (KHA) memposisikan peran penting dan strategis dari orang tua (parent) dalam memastikan realisasi hak-hak anak. Dalam KHA, beberapa pasal relevan dengan isu ini, yakni pasal 5, 9, 12, 14, 18.
Cermatilah pasal 5 KHA yang menghormati tanggungjawab, hak, dan kewajiban orang tua atas anaknya. Bahkan, term orang tua diperluas sebagai keluarga besar (extended family) atau komunitas yang disediakan dalam adat setempat, wali ataupun orang-orang lain yang secara hukum yang bertanggungjawab atas anak.
Lebih lanjut bahwa pasal 5 KHA menentukan peran orang tua, yakni: memberikan pengarahan (direction) dan panduan (guidance) guna pelaksanaan hak anak dalm KHA, sesuai dengan perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child). Dengan demikian, pasal 5 KHA, mengusung konsep orang tua (parent), dan konsep “responsibilities” for their child.
Dalam Implementation Handbook of CRC, pasal 5 KHA menjelaskan esensi parental direction and guidance adalah tidak tak terbatas. Ini mesti dipahami secara konsisten dengan “evolving capacitities of the child”. Untuk melaksanakan peran orang tua ini, maka negara peserta (state party) mengupayakan hal terbaik agar prinsip bahwa kedua orang tua (ibu dan bapak) memikul tanggungjawab bersama untuk membesarkan dan mengembangkan anak.
Konsep “evolving capacities” dari anak adalah satu dari konsep penting KHA yang mengakui dalam perkembangan anak menjadi orang dewasa yang independen mesti dengan penghormatan dan pemajuan masa kanak-kanak.
Menurut The Manual on Human Rights Reporting (1977), memberikan keterkaitan antara “evolving capacities” anak dengan pasal 12 (hak membentuk pandangan sendiri – own views the right to express those view freely) dan pasal 13 KHA (hak secara bebas menyatakan pendapat = right to freedom of expression).
Dalam hal pentingnya unifikasi anak dengan orang tuanya, secara eksplisit pasal 9 ayat 3 KHA menentukan bahwa Negara menjamin hak anak yang terpisah dari orang tuanya (separated children) untuk mempertahankan hubungan pribadi (personal relations) dan hubungan langsung (direct contact) secara tetap dengan orang tuanya. Itulah sebabnya mengapa anak yang dipenjara sekalipun tidak boleh diputuskan silaturrahmi dengan keluarganya.
Memang, KHA memberikan porsi yang leluasa bagi anak dalam berpendapat sebagai person yang bukan mutlak dalam penguasaan opini orang tua. Pikiran dan pendapat anak diakui, diapresiasi, dan tidak absah terjajah dari absolutnya pendapat orang tua atau orang dewasa. Yang belum tentu terbaik bagi anak. Apalagi pendapat yang lahir dalam perseteruan dan perlawanan.
Karena itu dalam Pasal 12 KHA, semua pihak mesti menjamin hak anak berpendapat (opinion of the child) dan pandangan anak (view of the child) secara bebas dalam segala masalah (all matters). Namun pandangan anak itu bukan dikelolanya sendiri secara supra liberal, namun pemberian hak berpendapat yang bebas dan tidak terjajah itu dilaksanakan dengan mempertimbangkan 2 kriteria kembar (twin criteria), yakni: umur (age) dan kematangan anak (maturity).
Apakah orang tua anak mesti berkualitas dan berkemampuan mengarahkan anak? Integritas fisik dan psikis serta pikiran anak tergantung pula secara signifikan dari kapasitas orang tua. Dalam suasana dan alam pikiran seperti itulah maka pasal 14 ayat 2 KHA, melegalisasi norma yang menghormati hak dan kewajiban orang tua dalam memberikan pengarahan kepada anak (provide direction the child). Maksudnya? Kualitas orang tua menentukan bobot dan arah serta perilaku orang tua dalam menerapkan hak-hak anak sesuai dengan perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child).
Bahkan, bukan saja atas ibu saja ataupun ayah saja. Secara berimbang dan setara kedua orang tua (ayah dan ibu) bertangungjawab secara sama. Tidak berarti ayah dianggap tidak cakap dalam menjalankan peran orang tua. Inilah esensi dari Pasal 18 KHA, yang menegaskan bahwa kewajiban dan tanggungjawab kedua orang tua (both parent) yakni ibu dan bapak secara bersama-sama– untuk membesarkan dan mengembangkan anak.
Dari perspektif KHA mengenai kedudukan dan tanggungjawab orang tua atas anak, maka terbantahlah pandangan yang tergesa-gesa mengeliminir peran orang tua. Pemberian hak anak bukan berarti membebaskan orang tua dari pengarahan dan panduan kepada anak. Sebaliknya, anak tidak secara bebas menjalani segenap haknya, namun diarahkan dan mempertimbangkan proses alamiah anak menuju evolving capacities-nya.
Tak lagi tepat pandangan yang memposisikan anak sebagai property, “piala bergilir”, dan mengangkangi hak privasi serta hak berpendapat anak. Bahkan, Kahlil Gibran lebih ektrem memperingatkan orang tua: “Anakmu bukan milikmu, mereka adalah putra-putri kehidupan”.