Hapuskan Penjara Anak – Hari Anak Nasional 23 Juli 2011

PERTAMA: Anak berkonflik hukum (ABH) bukan pelaku pidana otentik dan otonom kehendak bebas si anak. Pemerintah harus mengganti UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak dengan menghapuskan penjara anak atau setidaknya pemenjaraan anak. Dalam fakta dan keadaannya sekarang ini, Penjara bukan tempat yang tepat merestorasi anak pidana. Penjara membawa pengaruh lebih jahat sehingga sering dikatakan perguruan tinggi kejahatan.

KEDUA: Dengan adanya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, menjadi alasan konstitusional menghapuskan penjara anak atau setidaknya pemenjaraan anak. Alasan-alasannya: (a) Sub kultur penjara anak membawa pengaruh buruk bagi anak, sehingga tidak bisa diharapkan banyak merestorasi anak pidana. (b)Penjara bukan pilihan satu-satunya yang tidak terhindarkan karena UU No. 3/1997 memungkinkan penjatuhan Tindakan alias maatregelen, namun pada praktiknya belum diprioritaskan oleh penyidik, jaksa penuntut umum, dan Hakim. (c) Pidana penjara masih mendominasi putusan pengadilan (diatas 70 persen), walaupun Hakim bisa saja menjatuhkan vonis Tindakan yang lebih mampu merestorasi anak berkonflik dengan hukum.

KETIGA: Pada tahun 2008 dari sumber 29 Balai Pemasyarakatan (BAPAS) terdapat 6.505 anak berkonflik dengan hukum yang diajukan ke pengadilan, dan sebanyak 4.622 kasus (71,05%), atas tindak pidana anak dijatuhi pidana penjara. Tahun 2009, ABH meningkat menjadi 6.704 anak, dan sebanyak 4.748 anak (70,82%) diantaranya dijatuhi pidana penjara. Sekitar 84,2% anak-anak ditempatkan pada penjara dewasa akibat over capacity penjara anak.

KEEMPAT: Sistem hukuman dalam Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d RUU Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPPA), yang secara limitatif menentukan jenis pidana pokok yakni: pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat (social services), latihan kerja sosial, pidana pengawasan, pembinaan dalam lembaga sebagai bentuk pidana pokok. Jenis pidana itu dimaksudkan melengkapi pidana penjara. Semestinya, pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat (social services), latihan kerja sosial, pidana pengawasan, pembinaan dalam lembaga, tidak dikualifikasi sebagai Pidana tetapi Tindakan (maatregelen). Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d RUU SPPA salah kaprah. Mengapa? Karena sanksi pidana itu secara kua-teknis-sosiologis sebenarnya tidak lain adalah Tindakan, bukan Pidana (straft).

KELIMA; Dengan makin diperluasnya jenis Tindakan selain pidana penjara, indikasi tidak efektifnya pidana penjara dan menguatkan dugaan delegitimasi pidana penjara dalam sistem hukuman.

KEENAM: Pembahasan RUU SPPA dalam tahap Panitia Kerja (Panja) tidak terbuka, dan tidak menyerap aspirasi masyarakat, LSM dan anak. Partisipasi masyarakat dan penghargaan pendapat anak (view of the child) dijamin dalam UU Perlindungan Anak.

Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia
Muhammad Joni, SH., MH.

Leave a Reply