Hari Habitat Dunia: Kota Besar Masih Kumuh

Habitat adalah tempat terdekat manusia. Bagaimana wajah dan kondisi habitat kota?  Saat memperingatai Hari Habitat Dunia 1 Oktober 2012, terkuak  masalah perumahan dan permukiman kumuh  membelenggu kota-kota besar.

Bagaimana keadaan kota dengan kekumuhan? Menurut data, 23 persen warga kota tinggal di permukiman kumuh. Kawasan Asia adalah penyumbang terbesar penduduk kumuh, yakni 504,2 juta jiwa.

Di Indonesia, luas kawasan kumuh nasional 57.800 hektar, dengan pertambahan kantong-kantong permukiman kumuh di perkotaan mencapai 1,37 persen per tahun. Alhasil, kekumuhan bukan menurun malah bertambah. Jika laju pertambahan konstan permukiman kumuh, tahun 2020 luas wilayah kumuh diperkirakan menembus 67.000 hektar. Mengerikan!

Jika berjalan sekeliling wilayah kota, masih banyak dan luas penduduk yang bertempat tinggal secara tidak manusiawi di berbagai kota besar, kota kecil. Keadaan serupa bahkan menjalar ke desa-dea.

Adanya fakta penggusuran rumah-rumah penduduk di atas tanah orang lain atau milik swasta dan atau Pemerintah, kawasan permukiman kumuh, emperan toko, di bawah kolong jembatan, di bawah jalan tol, pinggiran rel kereta api, pada fasiltas umum seperti pasar dan pertokoan, lahan rawan bencana dan berbagai tempat lainnya.

Berdasarkan statistik kesejahteraan rakyat tahun 2008, diperoleh fakta dan data berikut ini:

a) Sebanyak 11,95% rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah;
b) Sebanyak 10,6% rumah tangga dengan dinding belum permanen;
c) Sebanyak 3,61% rumah tangga tinggal di rumah beratapkan daun;
d) Sebanyak 21,1% rumah tangga belum dapat mengakses air bersih;
e) Sebanyak 8,54% rumah tangga masih belum mendapatkan sambungan listrik;
f) Sebanyak 22,85% rumah tangga masih belum memiliki akses terhadap jamban. (Renstra Kemenpera 2010-2014, dalam Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal.56).

Di tengah sulitnya mengakses rumah dan maraknya kawasan kumuh, malah dikeluarkan Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 yang de facto membatasi kesempatan memperoleh dan membangun rumah. Akibatnya?  Pembatasan ini menjadi kausal makin meluasnya  permukiman kumuh, oleh karena semakin anjloknya daya beli dan rendahnya akses memperoleh rumah.

Target penataan lingkungan dan permukiman kumuh seluas 655 Ha dengan jumlah penduduk terfasilitasi sebanyak 130.000 jiwa akan terhambat (Kementrian Perumahan Rakyat, “Refleksi Akhir Tahun 2011”, perihal Misi, Tujuan dan sasaran Renstra Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010-2014).

Angka tersebut jauh dibawah data luas permukiman kumuh dari hasil penelitian United Nation Development Programme (UNDP), mengindikasikan terjadinya perluasan permukiman kumuh mencapai 1,37% setiap tahunnya, sehingga pada tahun 2009 luas permukiman kumuh diperkirakan menjadi 57.800 Ha dari kondisi sebelumnya yakni 54.000 Ha pada akhir tahun 2004.

Apabila ketentuan pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 diterapkan maka diperkirakan akan terhambat dengan masih banyaknya rumah di kawasan permukiman kumuh di perkotaan dengan luas lantai tak mencapai 36 meter persegi, sehingga upaya pembangunan baru (PB) rumah untuk program  penataan kawasan permukiman kumuh pasti akan terhambat, demikian pula fasilitas Pra dan Pasca Sertifikasi Hak atas Tanah (SHAT) akan terkendala karena Pemerintah cq Kementerian Perumahan Rakyat sendiri akan terikat dengan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011.

Padahal permasalahan lingkungan permukiman kumuh lebih luas dari target yang dipatok yakni seluas 57.000 Ha (Majalah “Inforum” Edisi 3 Tahun 2010, Kementerian Perumahan Rakyat, hal. 13). Hal ini  menjadi ancaman pencapaian agenda menyongsong era baru perumahan dan permukiman di Indonesia dalam  Deklarasi Kongres Perumahan dan Permukiman II Tahun 2009, yang diantaranya menargetkan tercapainya kota tanpa permukiman kumuh tahun 2025.

Leave a Reply