Hentikan Kekerasan terhadap Anak Sekarang!

Anak bukan orang dewasa ukuran mini. Namun kekerasan seakan tak hendak enyah dari mereka. Dari warta media, kekerasan terhadap anak (KTA) masih kasat mata di sekitar kita. Ibarat ilustrasi iklan produk minuman ringan, KTA terjadi kapan saja, di mana saja, dan bisa dilakukan siapa saja. KTA terjadi  pada setiap masa (dulu dan kini), setiap tipikal lingkungan (domestik dan publik), dan potensil dilakukan segala aktor  [kerabat domestik; atau aktor setempat; bahkan (aparatur) negara.

Singkatnya, hingga kini KTA belum total berhenti, malah makin transparan pengungkapannya. Radius jangkauannyapun makin menggelisahkan.  Ibarat  jari-jari  tangan manusia, KTA bisa menjangkau di atas kepala, di bawah kaki, kiri dan kanan. KTA, menjangkau pula area yang tersembunyi dan sempit sekalipun. Bahkan bisa mengakumulasi tenaganya dalam sekejap, bak kepalan tinju yang sempurna, namun kasar dan membahayakan.

Namun, percayalah KTA dapat dihentikan.  KTA bukan fenomena yang hadir bak petaka ataupun kutukan yang tak terubahkan.  Kampanye, penyadaran, regulasi, dan penguatan masyarakat, sebagian di antara solusi yang patut diteruskan.

Kekerasan mengintai anak-anak dalam setiap waktu, segala tempat (lokus), dan mungkin saja setiap aktor pelaku, baik yang dikenal ataupun aktor/pelaku tidak dikenal atau orang asing.  Berbagai Kasus, Berbagai Lokus Dalam tahun 2005 misalnya, berdasarkan laporan yang masuk dan pengaduan yang diterima hotline service (HLS) Komnas PA, justru kekerasan seksual terhadap anak lebih besar populasinya dibandingkan kekerasan fisik.

Sepanjang 2005 tercatat kasus kekerasan seksual yang dilaporkan kepada HLS Komnas PA sejumlah 301 kasus. Kualifikasinya:  kasus perkosaan anak sejumkah 121 kasus atau 40% dari total kekerasan seksual anak, kasus percabulan (172 kasus) atau 57%,  dan persetubuhan sedarah (incest)  hanya  8  kasus (3%) saja.

Siapa korbannya?  Dari 301 kasus kekerasan seksual pada anak, 250 korbannya anak anak perempuan, atau 81,43%.  Korbannya anak laki-laki sejumlah 57 kasus atau 18,57%, antara lain dalam bentuk  kejahatan sodomi. Dari total kasus KTA, kekerasan seksual lebih besar dari kasus kekerasan fisik maupun kekerasan psikis.  Berikut ini perbandingan jumlah kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik (221 kasus) atau 32,13%. Sedangkan kekerasan psikis (160 kasus) atau 23,25%. Dibandingkan dengan kasus kekerasan seksual tahun 2005,  kekerasan seksual pada anak tahun 2005 meningkat 36,20% dibanding tahun 2004 yang hanya 221 kasus.

Kekerasan terhadap anak, mesti dihentikan sekarang!  Selain amanat UUD 1945 Pasal 28B ayat (2),  berdasarkan analisis situasi anak hingga saat ini secara makro masih berisiko tinggi dari segala modus kekerasan,  pada segala lokus  kekerasan,  dalam segala relasi kerabat  (keluarga) dan relasi sosial (lingkungan/kumunitas) dengan aktor pelakunya.

Dari bentuk KTA, yakni  kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis, hingga kini  derajat dan bobotnya belum mereda apalagi berhenti, malahan frekuensi kuantitatifnya  cenderung  meningkat.  Bentuk kualitatifnya juga memboboti kompleksitas KTA secara tidak terbayangkan. Hal ini setidaknya tergambar dari data kasus HLS Komnas PA, dan berbagai kasus supra agresif seperti kasus Is di Bekasi, dan kasus Ag di Tangerang.

Lokus KTA dan Relasi Pelaku

Berdasarkan identifikasi kasus-kasusnya, KTA terjadi dalam lingkup rumah tangga (domestic violence), kekerasan dalam komunitas (community violence), dan kekerasan (yang berbasis pada kebijan/tindakan) negara (state violence).    KTA terjadi pada semua lokus: rumah tangga, komunitas, dan negara.  Komunitas termasuklah sekolah,  lingkungan, dan tempat pendidikan anak.  Dalam lokus kekerasan negara termasuklah kekerasan diderita anak dalam situasi krisis, dalam kerusuhan, konflik sosial, konflik militer, dan kebijakan dalam bencana alam tsunami.

Jadi, secara kritis dapat diungkap bahwa rumah tangga kita belum fit untuk anak-anak.

Komunitas kita belum aman (save) untuk anak. Kebijakan dan tindakan negara kita, belum sensitif hak-hak anak.  Bahkan, kekerasan seksual pada anak yang vulgar, sadistik, supra agresif, dan tak terbayangkan meningkat pada tahun 2005: perkosaan, kekerasan mengakibatkan mati, luka berat, luka ringan.

Dengan fakta itu,  kasus kekerasan seksual justru dominan anak-anak yang menjadi sasarannya.  Aktor/pelakunya adalah orang dalam relasi dekat dengan anak. Relasi antara anak dan pelaku adalah orang yang dikenal. Fakta ini mendiktekan bahwa  keluarga dan lingkungan/relasi sosial anak, masih patut dicurigai sebagai aktor kekerasan seksual pada anak (perempuan).

Walaupun, dari data HLS Komnas PA,   anak korban kekerasan seksual tidak seluruhnya anak perempuan. Anak laki-laki juga menjadi sasaran kekerasan seksual, dan sodomi dari  orang dewasa, orang yang dikenal, orang yang masih bersaudara-kerabat dengan anak.

Masih abai

Kasus KTA sudah faktual sebagai kenyataan yang tak terbantahkan. Bagi anak, KTA adalah kepedihan yang tidak lagi tersembunyikan, derita anak yang nyata dan transparan.  Namun, masayarakat dan publik kita, termasuk Pemerintah secara keseluruhan, belum terasah sensitivitasnya terhadap kasus-kasus KTA yang terjadi di sekitarnya.

Masih banyak kasus KTA tidak dilaporkan dan tidak tercatat (under/non reporting cases). Fenomena KTA tidak terungkap utuh ke publik.  Malahan, kekerasan seksual pada anak dianggap aib keluarga yang harus ditutupi, tidak dilaporkan ke publik,  atau tidak diproses hukum yang adil.  Lagi-lagi anak menjadi dalih bagi melindungi “nama baik” keluarganya. Yang terjadi adalah viktimisasi berlanjut pada anak.

Selain itu, bentuk respon yang diterima anak juga tindakan negara masih abai. Rehabilitasi (medis, psiko-sosial, pendidikan) yang  mesti diberikan pada korban, tidak diberikan dengan total dan menyeluruh.  Akibatnya anak menjadi korban bertingkat.  Karenanya, rumah perlindungan sosial anak perlu diperbanyak dan diduplikasi setiap daerah beresiko tinggi.

Malahan, dalam banyak kasus, terjadi disintegrasi dan konflik antara penanganan hukum (litigasi-due process of law), dengan rehabilitasi anak.  Yang terjadi, kerapkali anak merasa tersiksa dengan proses hukum, menjadi cemas dan trauma dengan pemeriksaan di pengadilan. Dan,  menjadi semakin bertambah menderita dengan vonis pengadilan yang  adakalanya  tidak adil.

Adakalanya, korban berani melaporkan kasus KTA. Yang perlu dicatat bahwa keberanian dan kehendak anak/keluarganya melaporkan kasus KTA, utamanya kekerasan seksual pada anak, bukanlah keberanian yang otonom.  Namun berkat dukungan, fasilitasi, penjelasan, dan advokasi pihak eksternal, baik dari  keluarga, pendamping, NGO, ataupun media massa.

Memperkuat korban berani dan mau melaporkan kasus KTA (khususnya perkosaan dan kekerasan seksual) menjadi agenda kultural dan praktis sekaligus.  Walaupun, patut disedihkan  tak banyak warga dewasa yang rela menjadi “peniup pluit” kasus KTA.

Kekerasan fisik kerapkali bersenyawa dengan penyalahgunaan anak dan/atau kekerasan seksual.  Dalam terminologi Konvensi Hak Anak (KHA),  kekerasan seksual dan fisik terhadap anak termasuk bentuk dari anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection). Kekerasan dimaksud termasuk pula kekerasan yang terjadi  di dalam lingkungan keluarga  (domestic violence), di samping yang terjadi di ruang publik.

Dengan skala dan efeknya yang sedemikian buruk,  sepatutnya Pemerintah segera melakukan upaya luar  biasa (extra ordinary effort) menghapuskan KTA. Upaya serius, terencana dan terukur dengan Rencana Aksi Nasional penghapusan KTA, akan memperkuat keyakinan bahwa KTA bukan kutukan dan cerita kelam  bagi anak-anak Indonesia. (Muhammad Joni, SH.MH,)

Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia, Mantan Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak, professional Advokat di Jakarta.

Leave a Reply