Hernando de Soto dan Lantai Rumah
Hernando de Soto, warga Negara Peru, pediri Institute of Liberty and Demogracy di Lima, CEO perusahaan rekayasa terbesar di Eropah, gubernur bank sentral Peru, ahli ekonomi untu WTO, dan oleh majalah The Economist dianugerahi julukan pemkir terpenting kedua di dunia.
De Soto sang penulis buku “The Mystery of Capital” itu pernah datang ke Indonesia dan mengungkapkan pandangannya di depan presidential fórum.Di buku itu saya tertarik dua hal. Misteri kapital dan Misteri kegagalan legal.
Dituliskannya, “kebanyakan warga negara tidak bisa menggunakan hukum untuk mengkonversi simpanan mereka menjadi kapital”. Simpanan itu termasuk tanah dan gedung yang menganggur tak terintegrasi ke dalam sistem perumahan, sistem perbankan, sistem pembiayaan, sistem properti dan sebagainya.
Saya sendiri tertarik dengan pemikirannya yang muncul dari pengalaman lapangan soal misteri kapital yang banyak sekali mengalami kematian, abai, dan akhirnya punah nilai.
Telaah dan análisis Hernando de Soto perihal misteri kapital relevan memahami komplesitas soal perumahan dan permukiman saat ini. Aset yang dimiliki orang miskin, bak raksasa tidur yang tak tersentuh system dan belum terkonversi nilai ekonominya. Apakah itu tanah apakah itu lahan rumah, apakah itu gedung yang bernilai ekonomi tentunya, kerapkali tidak dapat dikonversikan nilainya ke dalam sistem formil, misalkan sistem perumahan dan sistem perbankan. Padahal, kata de Soto, pada negara paling miskin sekalipun, orang-orang miskin masih dapat selamat.
Jangan terkejut jika menerima penemuan de Soto ini. Nilai simpanan diantara orang-orang miskin sangat besar, 40 kali lipat bantuan luar negeri yang diterima di seluruh dunia sejak 1945. Di Mesir, kekayaan yang dikumpulkan dari orang-orang miskin senilai 55 kali lebih besar dari seluruh investasi langsung (foreign direct investment atau FDI) yang pernah ada di sana. Di Haiti, aset total orang miskin lebih besar 150 kali investasi asing yang masuk ke negara tersebut sejak Haiti merdeka tahun 1804 (Hernando de Soto, “The Mystery of Capital”, Qalam, 2006, hal.7).
Di Indonesia? Entah-lah. Tetapi masih begitu banyak tanah dan lahan seperti tak bertuan, tak bersurat, tanpa sertifikat, sehingga tak bisa dikonversi menjadi colaterral atau dikelola menjadi asset perumahan. Jika logika ini berlanjut, asset mati itu tak menjadi pendapatan yang bia menggerakkan ekonomi. Memang tak Cuma puna rakyat, asset yang idle jugamelanda badan usaha milik Negara atau BUMN maupun badan usaha milik daerah. Optimalisasi asset property belum optimal.
Masih dari De Soto, di Filifina, ada 57% penduduk kota dan 67% penduduk pedesaan menempati perumahan yang merupakan kapital mati. Di Peru, 53% penduduk kota dan 81% penduduk pedesaan hidup di perumahan ekstralegal.
Di Indonesia, masih banyak tak berskala kecil di perkotaan. Hasil pembagian warisan sederhana disulap menjadi kapling-kapling kecil yang berukuran tak seberapa. Namun mereka memiliki hak milik atas tanah, hak milik pribadi yang dijamin konstitusi Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Jika tanah dan lahan mungil tak sampai 36meter persegi, apakah tak bisa dikonversi menjadi asset, menjadi rumah, menjadi bangunan? Kua-teknis tentu bisa saja. Masih bisa untuk membangun rumah. Namun, tunggu dulu. Di Indonesia, sudah ada UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU No.1/2011). Diantaranya mengatur bentuk rumah, yang secara tiba-tiba mengatur batas luas lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36 meter persegi. Demikian ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011. Seakan hendak menegaskan, tak boleh membangun rumah tapak jika luas lantainya tidak mencapai minimal 36meter persegi.
Lha? Bukankah di perkotaan begitu mahalnya harga tanah, sulitnya mendapatkan lahan, dan masih banyak yang berukuran mini tak mencapai 36 mter persegi. Malah bertumpuk dan semraut menjadi kawasan permukiman kumuh. Kalau kawasan itu hendak ditata lagi, bagaimana syarat luas lantai bisa mendukung rakyat kalangan bawah ini?
Faktanya masih banyak yang belum menikmati rumah, berada di kawasan permukiman kumuh (slum area), permukiman liar (squatter area), atau yang bernasib sedkit baik menjadi penyewa rumah seumur hidupnya. Di Jakarta, 15 tahun lalu saja ada penduduk yang sedemikian ada 18,82% dari pendduk Jakarta. Kemiskinan struktural yang menyebabkan banyak warga kota mengalami kendala mendapatkan tempat tinggal dan lahan usaha seperti teruangkap dalam buku Djaka Suhendera, bertitel “Sertifikat tanah dan Orang Miskin” laporan atas pelaksanaan proyek ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta”, yang diterbitkan HuMa, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV-Jakarta.
Selain itu bukankah masih banyak masyarakat miskin dan kelompok berpenghasilan rendah alias MBR yang tak memiliki rumah? Alasananya sangat klasik dan notoir feiten: lemahnya daya beli. Andai boleh mengambil tambil, kalau kemampuan seorang hanya membeli nasi rames di warung, mengapa harus dipaksakan menikmati makan di restoran? Kua daya beli, MBR masih belum mampu mencapai rumah dengan luas lantai minimal 36meter persegi, lantas apakah Pemerintah mampu menutupi harga 15meter persegi yang ditambahkan? Juga tidak.
Andai ditelaah, pasal lantai tiga puluh enam itu selain tidak pro poor dan menghambat MBR memiliki rumah, serta mencegah terkonversinya lahan keil menjadi asset dan collateral, namun yang paling berbahaya dalam kehidupan bernegara dan berkonstitusi adalah mereduksi hak konstitusional atas rumah tempat tinggal alias hunian yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Terus terang saya ke sana kemari mencari rujukan dalam batang tubuh dan Penjelasan UU No.1/2011 itu sendiri, apa rujukan otentik pasal luas lantai minimal 36meter persegi untuk rumah tunggal dan rumah deret? Mengapa tidak untuk rumah susun? Mengapa tidak mempertimbangkan disparitas harga tanah ataupun NJOP? Mengapa tak mempertimbangkan indeks harga tanah antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa?
Kesimpulan sementara saya, jika berharap dari konten UU No. 1/2011 tidak bakal ditemukan rasio legis lahirnya pasal luas lantai 36 itu, baik dalam konsideran maupun dalam rujukan Undang-undang yang terkait, bahkan semakin tidak ada rasio legis-nya jika diuji kepada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Hasil telaah juridis-normatif dan membandingkannya dengan hak konstitusional atas rumah tempat tinggal yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, dan hak konstitusional atas hak milik pribadi yang dijamin Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, saya haqqul yakin norma hukum dalam Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/2011 itu tidak jelas dari mana rasio legis-nya. Beberapa alasannya adalah:
(a) Tidak ditemukan rujukan luas lantai kuantitatif dan pasti untuk rumah, baik itu rumah tunggal, rumah deret maupun rumah susun;
(b) Tidak pula ditemukan rujukan mengapa syarat luas lantai minimal hanya untuk rumah dengan bentuk rumah tunggal dan rumah deret, sebaliknya untuk rumah susun tidak dikenakan syarat luas lantai minimal 36meter persegi dalam Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/2011.
(c) Tidak ditemukan rujukan dalam Kebijakan Umum Pembangunan Perumahan di dalam Penjelasan Umum UU No. 1/2011, sehingga tidak jelas rasio legis-nya
(d) Tidak ditemukan rujukan mengapa yang dijadikan faktor pembeda atau penentu dalam ukuran rumah yang boleh dibangun berdasarkan kepada luas lantai, mengapa tidak berdasarkan fasilitas kamar, kapasitas dan volume bangunan, kekuatan dan keamanan konstruksi, atau stándar fisik atau justru faktor keselamatan dan keamanan keamanan yang rujukannya jelas dalam Pasal 38 ayat (2) UU No. 1/2011.
(e) Rujukan pembangunan rumah justru sudah secara eksplisit ditentukan dalam BAB V (Penyelenggaraan Perumahan), BAGIAN KEEMPAT (Pembangunan Perumahan), Paragraf 2 (Pembangunan Rumah), yang di dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 1/2011 membedakan pembangunan rumah atas rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun. Pembangunan rumah menurut ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU No. 1/2011 tersebut, dikembangkan dengan berdasarkan rujukan atau rasio legis yang jelas dam limitatif, yakni tipologi, ekologi, budaya, dinamika ekonomi pada tiap daerah, serta mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan (Pasal 38 ayat (2) UU No. 1/2011. Dengan mengacu ketentuan tersebut, sangat jelas dan terang bahwa tidak ada rujukan pembangunan rumah (baik itu tunggal dan rumah deret ataupun rumah susun), berdasarkan kepada faktor luas lantai. Apalagi rujukan pengembangan rumah tersebut dirumuskan secara limitatif .
(f) Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU No.1/2011 mengatur tentang bentuk rumah atau shape of hause, yang termasuk dalam sistematika BAB V (Penyelenggaraan Perumahan), Bagian Kedua (Jenis dan Bentuk Rumah). Oleh karena itu bukan mengatur mengenai ukuran rumah yakni luas lantai rumah;
(g) Quodnon, luas lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36meter persegi adalah bersifat relatif dan spekulatif oleh karena tergantung kepada pemanfaatan rumah sebagai fungsi hunian, yang tidak mutlak hanya dipergunakan oleh keluarga, namun bisa saja oleh orang perorangan secara sendiri atau tunggal [vide Pasal 50 ayat (1) UU No. 1/2011].
(h) Materi muatan Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/2011 tersebut bukan saja bertentangan dengan hak konstitusional Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, akan tetapi juga kapasitas materi muatannya yang mengatur hal yang sangat teknis, tidak semestinya masuk ke dalam dan menjadi norma Undang-undang. Bahkan materi muatan Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/2011 bukan saja tidak memiliki justifikasi konstitusional, tetapi juga tidak memiliki justifikasi objektif-sosiologis, dan justifikasi juridis (karena tidak sepatutnya masuk ke dalam norma Undang-undang);
Ironisnya, ketentuan itu justru membatasi keswadayaan setiap orang atau warga masyarakat untuk membangun dengan biaya sendiri untuk secara mandiri memiliki rumah. Keadaan ini menimbulkan hambatan bagi setiap orang atau warga masyarakat untuk menggunakan hak konstitusional yang dijamin UUD 1945. Yakni, hak untuk secara swadaya memperoleh atau membangun rumah sebagai tempat tinggal, dalam bentuk, ukuran dan luas lantai berapapun sesuai luas tanah/lahan yang dimiliki, volumen/kapasitas dan kemampuan pembiayaan. Dalam hal adanya hambatan membangun dan memiliki rumah dengan luas lantai dibawah 36meter persegi, adalah wujud pelanggaran hak konstitusional atas tempat tinggal yang diajamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Kembali ke de Soto, saya menghayalkan betapa semakin melemahnya kelompok MBR mengakses rumah. Tak berkesempatan menikmati rumah dan segala manfaat serta potensi keuntungan ekonomis di dalamnya.
Mereka tak cuma menggenggam kapital yang mati, tak terkonversi nilanya menjadi pendapatan, namun tak berkesempatan memperolehnya dengan mudah. Mengapa? Karena, harganya tak terjangkau lagi.