Historicalism Institution

Bangun subuh pagi kita “on” bertaut dengan institusi. Bahkan tatkala tidur nyenyak tadi malam. Malahan jamak institusi.

Mulai dari institusi keluarga inti (rumah tangga), kantor sendiri, ikatan alumni, perkumpulan RT, perserikatan peminat hukum properti, institut perumahan dan perkotaan. Juga organisasi profesi lawyer konstitusi, klub anak Medan sedunia, majalah anda kolumnis disana, komunitas pengendalian dampak tembakau, grup WA kekerabatan ‘anak & mantu enyak dan babe’. Bahkan sampai institusi PBB.

Postulatnya: tiap orang absolut dalam relasi institusi. Bersintuhan banyak institusi. Bisa jadi anda berpotensi terikat dan dipengaruhi/mempengaruhi banyak institusi. Dalam bentuk aturan (rules) dan pengaruh Structur-nya. Dimana tempat yang anda pilih untuk janjian sarapan pagi, menentukan kontrak bisnis anda. Di negeri sono, relasi antara menu sarapan dan putusan Hakim sudah ada yang meneliti.

Vitalitas Rules and Structure pun terus diuji setiap pagi. Bersintesis. Dinamis. Bertumbuh dan hidup. Menjadi Living Rules and Structure.

Tiap hari orang-orang diuji, dibimbing, berhitung, berkalkulasi dan mengambil keptusan dalam frame institusionalism yang bersintesis, dinamis dan hidup itu. Menjadi Living Rules and Structure (“LRS”). Tergantung variabel mana yang paling memagnit daya inklusi.

*

Institusi, menurut ajaran institusionalism, ringkasnya adalah Rules and Structure. Orang sangat mungkin lekat jamak institusi: keluarga, sosial, ekonomi, politik dan hukum.

Institusi menjalankan Rules and Stucture-nya. Dimensi dan jangkauan pengaruhnya bisa bervariasi. Melebar atau menyempit. Menguat atau melemah. Indeks itu sesuai daya gerak dan akseptasinya selaku LSR.

Alhasil, ikhwal Rules and Structure tak hanya domein formal institusi negara. Alkisah, bahkan pun sepotong gosip, diakui James Scott punya peran dalam politik yang memiliki LSR sendiri.

Posting pesan yang viral ataupun percakapan hot topic dunia maya era revolusi industri 4.0 kini, tak terelakkan masuk dalam analisis keputusan kepala desa.

Rules and Structure ada dan bergerak dalam sejarah. Karena itu perubahan dan gerak institusi pada sejarah menguatkan pendekatan Historical Institusionalism.

Kaum institusionalis percaya, bahwa institusi mempengaruhi jalannya Rules and Structure. Yang kemudian menciptakan Culture. Mirip ajaran Friedman, sistem hukum dibangun atas 3 unsur legal: Substance, Structure and Culture.

Khathleen Thelen dan Sven Steinmo percaya, political science is the study on institutions. Soal krusialnya, apakah institusi menjadi extractive atau memilih watak inclusive? Pilihan itu akan menentukan takdir umumnya. Menentukan bentuk LSR.

Ikhwal krusial ini juga berlaku bagi institusi bernama Indonesia. Atau maskapai civil aviation berlogo kepala singa. Juga, lembaga negara bernama DPD, KY, pun bahkan institusi pemberantasan korupsi bertitel KPK.

Pun demikian KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) juncto KPAD yang disebut dalam Rules bertitel UU 23/2002 Jo.UU 35/2014.

Bagaimana membangun Rules and Structure pengawasan perlindungan anak, tentu memiliki relasi kuat dengan pelembagaan mandat institusinya: KPAI Jo.KPAD.

Mandat moral/etik dari konstitusi ikhwal perlindungan anak perlu dilembagakan. Mengikuti filsuf Aristoteles, pelaksanaan etik baru sempurna jika dilembagakan dalam negara. Manusia sendiri-sendiri tak dapat melaksanakannya.

Maksud Aristoteles, jika tanpa institusi negara akan sia-sia? Walau belum tentu begitu kiranya. Bagaimana pola relasi negara adalah indikator jatuh atau bangunnya.

“The most common reason why nations fail today is because they extractive institution”, ungkap Daron Acemoglu dan James A.Robinson.

Ujaran ini penting untuk menganalisis urgensi institusi, termasuk institusi bertitel KPAI Jo. KPAD. Demikian juga KKI, BI, DPD, BPN, PTPN, KNKT, USU, yang tak lepas dari aspek His-Inst yang menarik dipelajari. Patik memetik ajaran Historical Institusionalism dari Jimly Asshiddiqie, ‘Gagasan Konstitusi Sosial’, 2015.

Dengan menjajal perspektif “His-Ins”itu saya semakin percaya, bahwa kemajuan perlindungan anak misalnya, tersebab karena kuatnya institusi perlindungan anak. Saat diskusi dengan KPAI, 16/11, saya mengujarkan bahwa mandat perlindungan anak butuh “pelembagaan”. Butuh institutionalisasi mandatory. Apalagi mandat itu dari 3 norma konstitusi.

Alhasil pandangan dan ajaran “His-Ins” menjadi penting tatkala menguji konstitusionalitas norma institusi seperti KPAI Jo.KPAD. Menjadi Rules and Structure untuk perlindungan anak dari mandat konstitusi Pasal.28B ayat (2) UUD 1945.

Idemditto pendekatan “His-Ins” penting jika hendak semakin memahami Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jo. MKKI, MKEK, MPPK untuk pelembagaan mandat konstitusi pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945) untuk justifikasi praktik kedokteran berbasis kompetensi.

*

Pun demikian dibangunnya kota baru, misalnya ‘xyzkarta’, adalah institusi.

Membangun kota tak hanya membangun tubuh kota. Tak hanya City Engineering. Namun membangun Rules and Structure dari pendekatan “His-Ins” yang tadi itu.

Tak terelakkan, membangun Rules and Structure idemditto membangun relasi kuasa. Bahkan karena ada wilayah yang meluas alias kawasan, maka ada sintesis relasi kuasa dengan relasi kawasan. Ada geliat mesin ekonomi dari institusionalisasi urusan kepemilikan. Urusan kepengelolaan. Bahkan urusan kepenghunian.

Karenanya ada sintesis trias relasi kuasa-kawasan-(geliat) perekonomian.
Plus, ada relasi penguasaan tanah dalam skala besar. Sempurna.

Kalau kaum institusionalis mengakui jamak dan lebarnya varian dan geliat institusi, maka proyek kota baru metropolitan itu bukan hanya membangun hunian belaka di atas wilayah. Namun membangun relasi kuasa-kawasan-perekonomian, dalam skala kota yang dilabel metropolitan.

Kalau disodorkan soal-soal itu, hemat saya gren analisisnya adalah relasi kuasa-perekonomian-kawasan (dan pertanahan). Analisisnya sebagai kota bukan sebagai satuan bangunan hunian. Begitu sorot memahami konflik konsumen-produsen (developer) kota metropolitan. Beyond consumers law.

Tiga serangakai relasi itu makin erat berkelindan karena menyebut dirinya metropolitan. Sekali lagi, analisisnya bukan penyediaan komoditas hunian atau properti belaka.

Kota dalam kajian sejarah klasik berkembang menjadi Polis. Polis adalah… negara kota.

*

Jika bermaksud mengukuhkan mandat moral/etik menjunjung kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dalam konteks kota metropolitan dibangun, maka jalannya musti tak abaikan ajaran Aristoteles, bahwa negara institusinya.

“Menurut Aristoteles pelaksanaan etik baru sempurna di dalam negara”, dipetik dari ‘Alam Pikiran Yunani’, Mohammad Hatta. Negara musti hadir, walau civil society jangan salah duga hanya menonton, ngopi dan diskusi saja.

Kalau hendak membangun kota demi mandat kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial juncto memberdayakan warga, maka otoritas kota bekerja menjadikan kota yang inklusif (inclusive city). Pemanfaatan tanah dan ruang pulau-pulau reklamasi untuk pantai terbuka bagi publik menarik diulas dari sisi policy Jakarta menjadi inclusive city.

Kehadiran negara bukan hanya cap dan alibi minimalis dengan memberi izin-izin. Lebih dari itu menjadi inclusive institution, bukan extractive institution. Menjadi inclusive state, bukan extractive state.

Jika tidak? Tanyakan kepada Daron Acemoglu, ‘Whay Nations Fail Today. Institutions, institutions, institutions’. Tabik. (Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia/MKI).

Leave a Reply