Hukum dalam Penyamaran Kepentingan
Tak lama setelah fatwa haram merokok dikabulkan sebagian oleh ijtima’ ulama MUI, status hukum iklan rokok diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun MK, masih memperkenankan iklan rokok di negeri ini. Walaupun putusan diambil ditandai dissenting opinion dengan komposisi 4 menerima versus 5 menolak. Padahal, dalam UU Penyiaran itu sendiri melarang siaran iklan zat adiktif.
Seragu apakah hukum menjustifikasi rokok sebagai zat adiktif? Bukankah kua-akademis sekitar 70 ribu artikel dan jurnal ilmiah haqqulyaqin rokok berbahaya dan bersifat adiktif? Menurut WHO, organisasi kesehatan se dunia, wabah tembakau sudah epidemi global dan penyebab kematian (tobacco kills). Setiap 6 detik, tercatat 1 orang meninggal karena penyakit terkait merokok.
Industri rokok sendiri sudah buka kartu, rokok bersifat adiktif, dan tak ada yang aman. Philip Moris International yang memproduksi merek rokok terkenal dan merupakan market leader di Indonesia mengakui “there are no such thing a ‘safe cigarettes” [www.philipmorrisinternational.com].
Hukum mempunyai logika sendiri, demikian seorang teman mengingatkan. Pikiran lincah saya pun meloncat ke jurus pak Urger. Lengkapnya Roberto M. Urger penulis “Teori Hukum Kritis”. Di benak pengusung critical legal stadies (CLS), hukum merupakan tempat yang nyaman penyamaran kepentingan politik (law is politics in disguise). CLS berargumentasi bahwa metodologi hukum konvensional sudah dikontrol nilai-nilai politik, utamanya kapitalisme. Tak sulit menduga bahwa hukum kesehatan publik tercemari intervensi kepentingan (ekonomi) politik. Laporan SEATCA bertajuk “Tobacco Industry Interference to Public Health Policy in ASEAN Countries” cermat mengurai bagaimana cara dan bentuk konkrit intervensi industri rokok.
Bagaimana Indonesia? Dengan sedikit legal audit dan komparasi kritis ala CLS, pembaca mudah mengendus kepentingan ekonomi dibalik hukum. Tak sulit mencerna adanya ‘politic in disguise’ saat mencerna PP No 19/2003 yang mengakui rokok sebagai zat adiktif, karsinogenik dan membahayakan kesehatan. Baik dalam konsideran maupun Penjelasan Umum PP No.19/2003 dan tafsir sistematis Pasal 1 butir 1 dan 2. Penjelasan Umum PP 19/2003, menegaskan ”Rokok merupakan salah satu zat adiktif… dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 (empat ribu) zat kimia antara lain nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik …”
Simpangsiur normatif bermula dari UU No 32/2002 (“UUPenyiaran”), tepatnya Pasal 46 ayat (3) huruf c yang menyimpang dari pasal yang sama dalam huruf b. Kua-normatif, zat adiktif masuk dalam ‘keranjang’ yang sama, idemditto dengan minuman keras yang dilarang diiklankan (Pasal 46 ayat 3 huruf b). Anehnya, tanpa rasio legis yang jelas, UUPenyiaran berbalik arah dengan terbitnya norma ajaib menghalalkan iklan promosi rokok yang tidak memperagakan wujud rokok. Seakan-akan rokok bukan zat adiktif.
Kembali ke norma ajaib. Penyamaran kepentingan di balik hukum dapat disidik dengan kajian hukum kritis yang disumbangkan CLS. Pertama, jelas sekali inkonsistensi UUPenyiaran Pasal 46 ayat (3), antara huruf b dengan huruf c, yang saling meniadakan. Logika sehat manakah bisa menolak rokok adalah zat adiktif, kecuali kepentingan industri rokok. Kedua, frasa ‘memperagakan wujud rokok’ dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c itu, tidak ditemukan konsepsi dan ratio legisnya dalam UUPenyiaran. Defenisi rokok sendiri tidak mengenal konsep ‘wujud rokok’ karena PP No 19/2003 hanya disebut rokok sebagai hasil olahan tembakau terbungkus, atau wujud lainnya. Ketiga, adanya perluasan norma Pasal 17 PP No 19/2003 dibanding UUPenyiaran Pasal 46 ayat (3) huruf c, sehingga tiada kepastian atau malah jungkirbalik norma, rokok seakan bukan adiktif. Keempat, dalam UUPenyiaran tidak ditemukan argumentasi mengabsahkan penyimpangan Pasal 46 ayat (3) huruf c dari sistem norma UUPenyiaran yang dibagian awal melarang iklan zat adiktif.
Begitu rapuhkah logika awak parlemen dan eksekutif pembuat UUPenyiaran tersengat ‘politics in disguise’ yang dikuatirkan kaum pengusung CLS? Dimanakah nurani dan platform akademis sektor kesehatan saat mendisain PP No 19/2003 yang tak meluluskan norma bahwa rokok merupakan zat adiktif?
Manfaat ekonomi dari industri rokok kerap dibungkus bak mitos yang membenarkan eskalasi produksi rokok, termasuk menghalalkan iklan. Buktinya,roadmap industry rokok sampai tahun 2020, peningkatan produksi rokok sampai 260 miliar batang. Data AC Nilsen, kwartal 1 tahun 2007, market shareterbesar industri rokok di Indonesia adalah Sampoerna (24,2%) yang kini dikuasai Phillip Morris, sehingga tak ayal lagi keuntungan bisnis rokok diterbangkan ke pundi-pundi asing. Di sisi lain, perokok yang terjangkit aneka penyakit tetap tinggal di Indonesia dan berobat di dalam negeri dengan menggunakan skim jamkesmas versi APBN yang berpagu 5-6 triliun, atau skim kartu miskin yang tidak lain juga uang rakyat.
Tak sulit menebak ironi industri rokok yang eksploitatif. Uang hasil dagang rokok terbang ke luarnegeri, sementara pesakitannya yang bumi putera, tetap tinggal di Indonesia dan mesti dirawat dengan biaya APBN. Ironis, APBN kita ‘tercuri’ dahsyadnya epidemi rokok dan mesin ekonomi industri rokok yang dikawal tobacco law yang permisif dan pro industri.
Mitos pendapatan gemuk dari cukai juga tidak benar. Buktinya, rezim penarikan cukai rokok bersifat minimalis, karena cukai rokok di sini cuma 37%. Padahal UU Cukai memberi mandat mengeruk cukai alias sin tax (pajak dosa) itu sebesar 57%. Bandingkan cukai Negara tetangga misalnya Thailand yang mematok lebih 63%. Tak benar jika cukai rokok memberi dana jumbo.
Kalau mau mengenjot pendapatan, naikkanlah cukai rokok! Negara akan memperoleh dua keuntungan ganda sekaligus. Pertama, menikmati pendapatan cukai yang melimpah ruah, Kedua, menekan prevalensi perokok karena rokok menjadi mahal dan tak terjangkau anak/remaja serta orang miskin, sehingga menotong alur “tercuri’nya APBN dari epidemi tembakau dan mesin ekonomi eksploitatif via industri rokok. Ternyata mitos keuntungan ekonomi tembakau dan jungkirbalik hukum pengendalian tembakau itu, menjadi jelaga beningnya relung etik hukum yang sudah teradiksi ‘asap’ intervensi kapitalisme. Hukumpun menjadi tempat penyamaran kepentingan.