Hukum Yang Melawan Perut
Hukum apapun dibuat mengamini permintaan rakyat, kebutuhannya alias pasar. Pasar adalah potret kemampuan keuangan dan sangat riil . Pasar itu jujur dan tidak neko-neko. Aha, dalam survey dan pendapat pelaku usaha, rumah dengan luas lantai 21 meter persegi atau atau tipe 21 masih dibutuhkan oleh pasar perumahan khususnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendh (MBR).
Idemditto dengan pangan dan sandang yang harus tersedia di pasar, Pemerintah mesti merespon pasar. Bukan justru melawan pasar. Kebutuhan rakyat, seperti sembilan bahan pokok (sembako) adalah mutlak yang takkan tergantikan termasuk apabila dengan larangan Undang-undang sekalipun.
Perut rakyat harus diisi, kebutuhannya adalah nasi yang terjangkau daya beli. Mereka takkan sudi melirik restoran yang bertarif lebih tinggi, karena harganya takkan terbeli. Begitu jugalah dengan komoditas rumah. Masih jutaan warga miskin dan kelompok MBR yang cuma mampu membeli rumah sederhana, luas lantai 21 meter, yang seiring dengan masa dan kempuan ekonomi akan dikembangkan terus, perlahan tapi pasti. Itulah konsep rumah tumbuh. Ya, mereka butuh rumah tumbuh.
Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar bahwa “keluarga muda tidak perlu rumah seluas 36meter persegi tetapi membutuhkan rumah tumbuh . Seiring dengan peningkatan pendapatan dan perkembangan keluarga, rumah itu bisa dibangun sendiri secara bertahap” (Kompas, “Luas Rumah Direvisi”, 25 November 2011).
Hal itu sesuai Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat (Rs. Sehat) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002. Kebutuhan luas lantai minimum bangunan untuk rumah sederhana sehat (Rs. Sehat) adalah untuk 3 (tiga) jiwa, yang diperlukan rumah minimal luas lantai 21,6 meter persegi dengan luas lahan minimal 60 meter persegi.
Pemerintah selaku eksekutif yang berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah MBR dan selaku regulator yang patuh kepada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, tidak boleh tidak melayani ketersediaan rumah sesuai kebutuhan (need) dan kemampuan rakyatnya. Kebutuhan rumah dengan tipe 21 masih cukup besar di daerah daripada masyarakat bertempat tinggal di kolong jembatan. Hal ini yang disuarakan kalangan Real Estate Indonesia (REI) Sulawesi Selatan (AntaraNews, “Masyarakat Sulsel masih butuh rumah type 21”, 9 Mei 2010).
Karena itu, pembatasan rumah sederhana minimal 36 meter persegi akan memberatkan pengembang kecil yang membangun rumah tipe 21 meter persegi. Pasar tipe 21 masih sangat besar dan perlu diserap dengan ketersediaan rumah (Bisnis Indonesia.com, “Kemenpera kaji batasan rumah tipe 36”, 03 November 2011).
Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 yang mewajibkan luas lantai 36 meter persegi untuk rumah tunggal dan rumah deret, akan menghambat orang mengakses rumah, dan bagi yang tak mampu akan menjadi tuna wisma atau sedikitnya tetap bertahan di kawasan kumuh. Pada tahun 2004 saja luas permukiman kumuh 54.000 hektar, menjadi 57.800 hektar pada tahun 2009 (Kementerian Perumahan Rakyat RI, “Rencana Strategis Tahun 2010-2014”).
Kalau Undang-undang melarang membeli rumah dibawah type 36, apakah lantai Pemerintah menyediakan subsidi menutupi kekurangannya? Bukankah defisit perumahan saja terus meningkat dan tak bisa diatasi? Butuh 68 tahun mengatasi defisit perumahan. Lantas, kalau rakyat membangun tipe bawah 36, haruskah mereka inggal di kolong jembatan? Kalau tanpa Pemerintah rakyat hanya mampu membeli nasi bungkus warung mengisi perut, mengapa hukum harus melawan (gejolak) perut? Kuatkah hukum melawan perut?