Hunian Berimbang, Aturan Bimbang

Jika anda menengok hasil karya pengembang, kompleks perumahan atau real estate tak melulu eksklusif dihuni kelas berpunya, tak hanya membangun rumah mewah dan menengah, namun juga rumah sederhana.

Konsep ini dikenal sebagai hunian berimbang dalam UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Hunian berimbang diatur dalam Pasal 34, 35, 36 UU Nomor 1/2011.

Kalau dulu komposisinya adalah 1:3:6, kini menjadi 1:2:3 dengan  terbitnya Peraturan Menteri Perumahan Rakyat   Nomor 10 Tahun 2012 (Permenpera No. 10/2012”)  sejak 7 Juni 2012. Maksudnya? Pengembang wajib membangun permukiman dengan komposisi 1:2:3 untuk rumah mewah, rumah menengah dan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso mengatakan REI merasa keberatan dengan beberapa peraturan terkait konsep hunian berimbang yang dirasa masih belum berpihak pada pengembang. Dalam Permenpera Nomor 10/2012,  batasan hunian berimbang  suatu kawasan hunian dikatakan perumahan bila di dalamnya terdapat sekurangnya 50 hingga 1.000 hunian.

Alhasil, realisasi hunian berimbang masih tidak berjalan efektif dan bahkan Permenpera Nomor 1/2012 dianggap masih abai memfasilitasi pengembang.

Apakah maksud  asli dari hunian berimbang? Tak lain adalah untuk membantu Pemerintah dalam menyediakan rumah untuk MBR dan mengatasi defisit perumahan alias backlog. Kementerian Perumahan Rakyat  meminta pengembang  mematuhi aturan  hunian berimbang dalam rangka mempercepat mengatasi kekurangan backlog perumahan  yang mencapai 13,6 juta per tahun di Indonesia.

Artinya? Ya, hanya membatu kewajiban Pemerintah merumahkan MBR, yang diamanatkan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”. Sekali lagi, frasa yang digunakan adalah “wajib”, bukan “harus” dan bukan “dapat”.

Andai kewajiban merumahkan rakyat dalam hal ini MBR adalah kewajiban Pemerintah, dan  hunian berimbang dimaksudkan untuk mengatasi backlog, maka wajar dan absah jika Pemerintah menyiapkan diri dan melaksanakan prasyarat itu. Dengan kata lain, hunian berimbang sebagai subsisten dalam  skenario merumahkan MBR, mesti didukung dengan sistem pendukung.

Bahkan,  jika merujuk Pasal 54 ayat (2) UU Nomor 1/2011, Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah wajib kemudahan . Maksudnya? Ya kemudahan untuk merumahkan MBR.  Pasal 54 ayat (3) huruf  a  s.d  h  UU Nomor 1/2011 menyebutkan secara limitatif bentuk kemudahan dan/atau bantuan, termasuk subsidi, penyediaan lahan, prasarana, sarana dan utilitas umum.

Kalau logika hukum ini dijadikan acuan, maka Pemerintah/Pemerintah  Daerah wajib menyediakan fasilitas kemudahan dan/atau bantuan dimaksud. Sekali lagi, hal itu adalah kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Wajib adalah perintah, tidak  keraguan disana. Karena frasa  yang dipakai adalah “wajib” bukan frasa “dapat” yang bisa “iya” bisa “tidak”.

Anehnya, dalam konteks hunian berimbang, norma  Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 1/2011 justru mereduksi kewajiban Pemerintah itu. Entah mengapa suatu hal yang wajib berubah menjadi dapat. Penormaannya, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah  dapat memberikan insentif kepada badan hukum mendorong pembangunan perumahan hunian berimbang.

Lha, kalau Pemerintah/Pemerintah Daerah tak menyediakan insentif itu, tentu saja bertentangan dengan norma Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU Nomor 1/2011 yang justru merupakan kewajibannya? Dari kedua norma itu terlihat adanya ambiguitas setidaknya  kebimbangan Pemerintah, sehingga regulasinya masih labil.Tidaklah bijaksana jika  ujug-ujug Pemerintah mendesak pengembang dan mengancamnya  tidak mengeluarkan  izin membangun proyek perumahan. Bukankah justru Pemerintah sendiri yang justru menurunkan target pembangunan rumah rakyat dari 600 ribu unit menjadi 130 ribu unit. (Kompas, berjudul “Target Rumah Rakyat Direvisi Lagi”, 6 Agustus 2012).

Belum lagi jika dikaitkan analisisnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-X/2011 yang menyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011. Mengapa? Karena Permenpera Nomor 10/2012 masih menggunakan defenisi rumah sederhana sebagai rumah dengan luas lantai minimal 36 meter persegi, yang sudah dibatalkan MK pada 3 Oktober 2012 lalu.

Singkat kata, Permenpera Nomor 10/2012 itu harus direvisi bahkan diganti total. Karena hanya mengatur tatacara dan kewajiban pengembang, dan tidak mengatur kewajiban Pemerintah/Pemerintah Daerah mendukung hunian berimbang untuk MBR, sebagaimana Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU Nomor 1/2011. Mungkin saja  Pemerintah bimbang soal hunian berimbang.

Leave a Reply