Ibu Kandung Menculik Anak Sendiri, Adakah Sifat Melawan Hukum?
Rabu, 14 Desember 2011, aura di Pengadilan Negeri (PN) Bandung sedikit berbeda dari hari bisa. Di sana, sejak pagi hari sejumlah ibu-ibu dan aktifis ramai mengerubungi selasar PN Bandung. Hari itu sidang perdana Fransisca, 44 tahun, yang didakwa menculik anak kandungnya sendiri, Jason, sekarang 11 tahun. Gemuruh suara makin terasa tatkala sesi mendengarkan pembacaan surat dakwaan Jaksa Pintauli Sihombing, yang hanya 3 halaman.
Fransisca didakwa Pasal 330 ayat (1) KUHP Jo. Paal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP sebagai dakwaan pertama. Dakwaan kedua, Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Jika membaca kedua pasal itu, aha, sangat mengerikan bagi masa depan ibu-ibu asuh yang mengasuh anak dengan ikhlas di panti sosial, rumah penampungan, dan tempat penuh kasih sayang lain, yang justru dikelola dengan swadaya.
Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Pasal 83 Undang-udang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berbunyi “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Benarkah ibu kandung bisa didakwa menculik anak sendiri? Adakah sifat melawan hukum dalam jika Fransisca melakukan hal sedemikian?
Untuk itu, mestinya mengacu kepada Undang-undang. Ibu kandung adalah yang berhak bahkan berkewajiban mengasuh, memelara, dan mendidik anaknya. Mandat alias kekuasaan hukum yang diberikan Undang-undang. Tak hanya hukum formil, bahkan itu adalah kekuasaan yang diberikan hokum alam. Mana mungkin bisa dihapuskan nasab anak dengan ibunya?
Kua-juridis, ibu kandung tidak dapat dikualifikasi sebagai subjek atau orang yang melakukan Pasal 330 ayat (1) KUHP ataupun Pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002, oleh karena ibu kandung secara hukum mempunyai kekuasaan dan sah bahkan berkewajiban melakukan pengasuhan dan pemeliharaan terhadap anak.
Berikut ini dalil-dalinya:
Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menormakan bahwa kendatipun orangtua bercerai namun tetap berkewajiban (lebih dari sekadar hak, karena kata/frasa yang dipergunakan adalah “berkewajiban”) memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Untuk lebih terang dikemukakan bunyi Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, “Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya” selanjutnya ayat (2) berbunyi “Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus”.
Yang dimaksud dengan “orang tua” dalam pasal 14 UU Perlindungan anak adalah adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 UU Perlindungan Anak yakni :“Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat”;
Tak cuma itu, UU Perlindungan Anak juga idemditto. Pasal 26 (1) UU Perlindungan Anak berbunyi, “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; danmencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Nah, kalau ibu berkuasa mengasuh, memeliara dan mendidik atas anaknya sendiri, dimanakah adanya sifat melawan hokum tersembunyi pada pasal penculikan yang didakwakan kepada ibu kandung sendiri?
Sidang akan dilanjutkan hari ini, Rabu, 21 Desember 2011 dengan agenda pembacaan eksepsi atas surat dakwaan Jaksa. Perjuangan membela ibu yag mengasuh anak masih berlanjut namun dengan sepenuh keyakinan di Keadilan masih ada di dunia. Keadilan itu pulalah yang bersemayam di hati majelis Hakim yang untuk sementara menangguhkan penahanan Fransisca yang sempat mendekam selama 14 hari. Bravo PN Bandung, kami yakin masih ada keadilan.