Iklan Rokok dan Tobacco Kills
Tahukah pembaca, ternyata Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah disomasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Pas hari hak azasi manusia, 10 Desember 2008, tiga orang lawyer dipimpin Muhammad Joni, SH., MH, kuasa hukum Komnas PA mengantarkan surat somasi kepada KPI.
Somasi itu mengingatkan KPI agar segera meninjau dan menghentikan tayangan iklan di televisi. Somasi tersebut, kata Joni, dilayangkan terkait semakin banyaknya iklan, promosi dan sponsorhip rokok yang dilakukan oleh para produsen rokok dalam rangka memancing anak dan remaja melalui media televisi. Somasi itu memang bukan langkah terakhir pegiatan tobacco control. Beberapa waktu kemudian, Komnas PA mengajukan judicial review terhadap Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran. Yang dimohonkan hanya menguji 4 (empat) kata saja, yakni “yang memperagakan wujud rokok”.
KPI masih tidak melarang siaran iklan promosi rokok di televisi. Padahal, kua yuridis, Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran dengan tegas melarang sama sekali promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif. Lebih dari itu, konsideran “Menimbang” huruf a PP Nomor 19/2003, eksplisit menyebut “rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengamanan”.
Penjelasan Umum PP Nomor 19/2003, menegaskan rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, oleh karena dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 zat kimia antara lain nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan kehamilan. Karena itu, sudah kuat dan absah jika melarang siaran iklan niaga promosi rokok dengan Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran.
Lagi pula, de facto saat ini iklan rokok sudah tidak rasional lagi. Sebagai suatu bentuk informasi, iklan rokok yang justru tidak benar atau misleading dimana sejatinya dalam rokok tidak kurang 4000 jenis zat kimia beracun dan 69 diantaranya karsinogenik.
Menurut WHO, setiap 6 detik satu orang meninggal karena merokok. Ahli-ahli kesehatan di dunia membuktikan merokok penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan; penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular); penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS, dan sebanyak 70.000 artikel ilmiah menunjukkan merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut sampai kanker kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma, dan penyakit saluran nafas lainnya.
Studi Lembaga Demografi FE UI menyebutkan konsumsi rokok juga penyebab dari sampai 200.000 kematian setiap tahunnya. [Sri Moertiningsih Adioetomo; dkk., ”Ekonomi Tembakau di Indonesia”, Lembaga Demografi Fakulas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008, h. 12].
Iklan rokok justru sudah bermetamorfosa, atau berubah dengan dicitrakan sebagai suatu yang ”enjoy aja”, ”kejantanan”, ”kebaikan”, ”kebenaran (karena dicitrakan ’bukan basa basi’), ”kebersamaan”, ”bakat dan ekspresi”, dan lain-lain. Seakan-akan merokok sebagai suatu yang biasa atau normal, dan mencitrakan merokok bukan lagi mengkonsumsi 4000 zat yang mengandung zat racun yang berbahaya, zat yang bersifat adiktif, bersifat karsinogenik.
Padahal, iklan rokok memiliki kekuatan mempengaruhi anak dan remaja selaku penerima pesan iklan rokok mengingat penetrasinya bersifat visual, bukan verbal. Aspek emosi lebih berperan daripada aspek kognitif.
Materi ataupun citra iklan rokok dimaksudkan untuk menjangkau anak dan remaja. Dr. Widyastuti Soerodjo, membantah dalih industri rokok bahwa perusahaan rokok tak menyasar perokok remaja dan anak-anak. Dengan tegas Dr.. Widyastuti Soerodjo, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ini menyatakan kiprah iklan dan sponsor itu semuanya untuk kaum muda, bukan untuk kakek-kakek. Belum lagi pemberian rokok gratis. Ironisnya, untuk pembodohan masyarakat seperti ini, pemerintah tutup mata.
Apabila iklan rokok terus dijalankan dan tidak dihentikan KPI maka secara kausalitas akan meningkatkan prevalensi anak-anak merokok, semakin rendahnya usia anak merokok, dan tidak dapat berhentinya anak-anak (dan remaja) dengan segenap implikasinya terhadap hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh dan berkembang anak-anak. Perkiraan tersebut diperoleh dari alasan dan fakta-fakta.
Pertama, adanya kebijakan ”Road Map Industri Hasil Tembakau 2007-2020” yang menentukan prioritas target produksi rokok pada tahun 2007 s.d 2010 sebanyak 240 miliar batang; Kebijakan ini menekankan pada prioritas peningkatan jumlah tenagakerja. Pada 2010 s.d 2015 260 miliar batang, dengan kebijakan prioritas peningkatan pendapatan pemerintah, sedangkan tahun 2015 s.d 2020 tetap sebanyak 260 miliar batang. Namun kebijakan ini menekankan pada prioritas pada kesehatan, tenagakerja, dan pendapatan pemerintah.
Kedua, adanya strategi besar untuk menjangkau anak-anak dan remaja sebagai sasaran bagi perokok baru, yang diperoleh dari dokumen internal industri rokok multinasional Philip Moris yang mempunyai strategi dan misi seperti terungkap dengan pernyataan berikut ini: ”remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok …, pola perokok remaja penting bagi Philip Morris”. (Laporan ke Philip Morris, 1981) [Fact Sheet Depkes dan WHO, 04/2/2004].
Ketiga, adanya kebijakan yang tidak sensitif hak anak, yang terbukti dari kebijakan mengenai tarif cukai atas produk tembakau/rokok yang diberlakukan Pemerintah masih rendah yakni sebesar 37% dari harga jual. Kebijakan ini dinilai tidak sensitif hak-hak anak dan masih terlalu rendah jika dibandingkan regulasi cukai rokok pada negara tetangga maupun prosentase cukai maksimal yang diperbolehkan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai; sehingga fakta itu terbukti menjadi kausalitas meningkatnya prevalensi perokok pemula atau perokok anak.
Fakta ini disebabkan adanya kebijakan tarif cukai sebesar 37% yang masih rendah dan tidak konsisten dengan peraturan perundang-undangan, oleh karena: (1) kebijakan tarif rokok sebesar 37% masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan standar global sebesar 70%; (2) kebijakan tarif rokok sebesar 37% masih dibawah tarif yang bisa ditarik maksimal sebesar 57% yang ditentukan dalam UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai; (3) kebijakan tarif cukai sebesar 37% jauh lebih rendah dibandingkan tarif cukai yang diterapkan di negara-negara lain seperti Filipina sebesar 55%, India sebesar 55%, Thailand sebesar 75%, China sebesar 39%.
Keempat, fakta belum dilakukannya ratifikasi atas Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga Pemerintah RI tidak terikat untuk melaksanakan isi FCTC yang secara tegas mengikat negara peserta untuk melakukan pelarangan komprehensif (total ban) atas iklan, promosi dan sponsor rokok. Walaupun dulunya Indonesia ikut aktif menyusun FCTC itu.
Nasib anak yang terjerat adiksi rokok masih tergadai dan belum ditebus Pemerintah jika berbagai regulasi yang adil dan melindungin dapat segera disahkan. Karenanya, kita mengingatkan KPI agar membuat regulasi yang melarang iklan rokok yang adiktif, karsinogenik dan mematikan (tobacco kills) itu..
[Muhammad Joni, SH., MH: Ketua Indonesian Lawyers Association on Tobacco Control, dan kuasa hukum Komnas PA dalam beberapa perkara tobacco control ke Mahkamah Konstitusi].