Ilmu Kedokteran Tak Tunduk pada Kuasa: Suara Jernih Prof. Djohansjah Marzoeki Menjaga Marwah Kolegium Kedokteran
Oleh: Muhammad Joni, SH., MH.
Dia bersuara karena berani hidup, tak bersembungi di balik pintu bergelimang hidup enak di zona nyaman.
Itu bukan pilihan sang Begawan ilmu kedokteran bedah plastik rekonstruksi estetik. Walau karier kedokterannya paripurna tapi dia tak takut garang bersuara.
Dalam deru gelombang deras kebijakan Menteri Kesehatan yang berupaya mengatur ulang tata kelola profesi kedokteran dengan otoriterian, satu suara lantang dan jernih muncul dari seorang begawan bedah plastik: Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., Sp.B., Sp.BP-RE(K). Suara jernih itu obat, dan larut bersamanya bagai healing alunan musik yang menenteramkan kebuntuan.
Suaranya bukan hanya kritik, tok. Tetapi juga seruan moral untuk kembali kepada akal sehat ilmu pengetahuan: bahwa kebenaran ilmiah tidak boleh tunduk pada eksekutif dan kuasa politik.
Seperti karier kedokteran yang jadi menjadikan hidup sang Ksatria Airlangga itu makin hidup, postulat saya: Prof. Djohansjah Marzoeki bukan tokoh biasa. Ia adalah guru besar bedah plastik dengan rekam jejak panjang, integritas tinggi, dan keberanian tidak biasa-biasa, kalau taknak menyebutnya luar biasa.
Dalam narasi pribadinya, dia menolak tunduk pada kooptasi negara atas lembaga profesi. Ia mengajarkan soal kekuatan sikap yang ori, bahwa kolegium harus tetap “asli”, bukan “plastik” — sebuah metafora tajam yang menohok upaya pembentukan kolegium buatan Menkes di bawah kendali birokrasi kementerian.
Lebih dari itu, dalam buku motivasinya bertitel ‘Hidup Ini’, ia menulis begini:
> “Hidup ini hanya untuk mereka yang berani. Orang-orang takut hanya patut berada di balik pintu.”
Kalimat itu bukan sekadar refleksi personal sang Begawan spesilis bedah plastik rekonstruksi estetik yang termasuk paling senior, tapi deklarasi sikap—terutama di tengah upaya mendegradasi peran kolegium ori sebagai lembaga akademik independen dan mandiri menjadi alat teknokratis belaka. Tak rela kolegium ori dibawah kendali Menkes.
Budaya Ilmiah Tidak Bisa Dikendalikan Kekuasaan
Dalam opini lainnya, Prof. Djohansjah menanggapi kontroversi Vaksin Nusantara dengan mengajukan kerangka penting: budaya ilmiah. Menurutnya, budaya ilmiah adalah tata nilai berbasis kebenaran, data terukur, dan integritas keilmuan yang tak boleh dicemari oleh opini publik, dukungan pejabat, atau kepentingan politik.
> “Ilmu pengetahuan alam tidak mengenal nasionalisme dan politik. Ilmu hanya berpihak pada kebenaran dan prosedur baku,” tegasnya.
Ia lugas kala mengingatkan ilmu adalah ilmu iru sendiri, bahwa lembaga seperti BPOM adalah garda terdepan penjaga integritas kebenaran ilmiah, non intervensi dan free from conflict of interest.
Karena itu, jika publik—termasuk politisi bahkan Menteri— tidak memahami prinsip ilmiah, maka saran Prof Djohansjah Marzoeki yang hobinya berpikir itu; sebaiknya tidak mengganggu kerja para ilmuwan yang justru bekerja dalam diam, dengan budaya ilmiah dan tanggung jawab besar. Yang dikenali kemidian sebagai pengemban mandatori konstitusi hak atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (kesehatan) Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Tegaknya Konstitusi, Tegakkan Ilmu
Apa yang disuarakan Prof. Djohansjah sejalan dengan tiga putusan Mahkamah Konstitusi (No.82/ 2015, No.10/2017, No.13/2025) yang menegaskan posisi kolegium sebagai lembaga ilmiah, mandiri, dan independen. Modalitas mengoreksi upaya Menteri Kesehatan membentuk Konsil Kesehatan Indonesia, Kolegium, atau Majelis Disiplin Profesi di bawah kendalinya. Terbukti terang benderang Menkes mengendalikan kebijakan Kolegium vide Pasal 707 PP Nomor 28 Tahun 2024, dan pembinaan dan pengawasan kolegium oleh Menkes vide Pasal 48 Permenkes Nomor 12 Tahun 2024.
Juga, terbukti jamak orang yang dipasang Menkes namun rangkap jabatan lain-lain dan tak sesuai persyaratan limitatif Kolegium adalah Guru Besar dan ahli ilmu kesehatan Undang-undang.
Menurut takwilnya, kondisi itu tidak hanya menabrak hukum paling tinggi cq konstitusi, tapi juga mengancam kemurnian ekosistem keilmuan. Bukan tidak pemberani jika menanyakan ini: Tak Bahaya tah?
Pun mencari sang Ilmu perintah semesta, kiranya ilmu bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi tentang siapa yang jujur kepada metode dan data.
Dalam bentuk apa pun Negara, ketika memusuhi lembaga ilmiah, mengintervensi kebenaran ilmiah maka tidak akan bisa menjadi negara maju.
Maka, suara Prof. Djohansjah seharusnya menjadi alarm nasional:
Selamatkan kolegium ori. Jaga budaya ilmiah. Dan hormati integritas ilmu. Negara ini tak akan tumbuh sehat jika yang dibentuk adalah birokrasi plastik, bukan lembaga keilmuan yang otentik. Tabik. (Advokat Muhammad Joni, SH.MH)