Imperium, antara Kedelai dan Rumah Rakyat
Hari ini, 2 September 2013, tingkap berita Kompas mewartakan gejolak harga kedelai, seakan lepas kendali. Pedagang tempe dan tahu menyusun siasat mogok. Protes pada abainya Negara menjinakkan kedelai. Pun demikian Republika mengingatkan Negara, akan resiko UMKM melipat tikar: termakan modal. Sudah benar jika media utama dor-doran mengangkat gelisah ekonomi rakyat dalam tingkap beritanya.
Akankah negara berdiam? Atau berhenti dengan keputusan? Setop sebatas sidang kabinet? Bukankah sejahtera alasan konstitusional bernegara? Di lapangan, harga-harga menaik. Lazim, itulah perilaku pasar. Namun, tak lazim jika membiarkan kedelai tak terkendali menjalar-jalar ke pikiran pejabat negeri. Buktinya, beberapa pejabat malah maklum dan dengan naif membuat solusi mudah takluk dan tergoda menaikkan harga-harga. Tak terkecuali rumah rakyat untuk MBR, masyarakat berpenghasilan rendah.
Akankah Pemerintah takluk dan tergoda menaikkan harga rumah rakyat bawah? Tegarkah Pemerintah? Tidak menjadi Imperium?
Di tengah dorongan perhimpunan pengembang mengusul-usulkan naiknya harga rumah 30%. Naik dari semula Rp 95 juta (Jabodetabek) menjadi Rp 124 juta/unit, belum termasuk fasilitas prasarana sarana utilitas (PSU) seperti jalan dan drainase.
Haruskah naik dan naik lagi hanya satu-satunya solusi? Tahun lalu pada akhir Mei 2012, Menteri Perumahan Rakyat menaikkan harga rumah subsidi. Konon, untuk merangsang produsen membangun rumah sederhana/murah, dengan terbitnya Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) No. 7 dan 8 Tahun 2012 yang mengubah Permenpera No. 4 Tahun 2012.
Padahal, menaikkan harga bukan jalan satu-satunya. Jika mengacu Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU Nomor 1 tahun 2011, masih banyak cara cerdas memihaknya negara pada rakyat. Tak hanya takluk pada pasar, harga dan perhimpunan produsen rumah tok. Kemudahan dan bantuan dalam bentuk subsidi, stimulan, insentif pajak, perizinan murah, penyediaan lahan, sertifikasi tanah dan prasarana, sarana dan utilitas, bisa digiat-giatkan optimal. Bertekun-tekun merumahkan rakyat.
Konstitusi adalah kontrak sosial (social contract) antara rakyat yang bersepakat membentuk Negara, dan menugaskan kepada Negara sejumlah kewajiban negara (state obligation) yang konstitusional. Konstitusi menjadi hukum dasar dalam berbangsa dan bernegara. Tak perlu dibantah lagi, hak bertempat tinggal merupakan hak konstitusional (constitutional rights) yang eksplisit dijamin dan dilindungi dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 serta dihormati dan diakui sebagai hak asasi manusia (human rights) yang diatur dalam hukum positif Pasal 40 UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pun demikian, hak atas tempat tinggal juga diakui dalam instrumen hak asasi manusia (HAM) internasional.
Hak atas rumah sebagai tempat tinggal menjadi hak semua orang (for all), yang berarti diberikan kepada “setiap orang” sebagaimana frasa dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 40 UU Nomor 39/1999 dan konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011.
Hak atas rumah sebagai tempat tinggal menjadi hak semua orang (for all), yang berarti diberikan kepada “setiap orang” sebagaimana frasa dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 40 UU Nomor 39/1999 dan konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011. Pemenuhan hak atas rumah tidak boleh dilakukan hambatan dan pembatasan (restriction) karena hal itu adalah diskriminasi terhadap rakyat memperoleh hak atas rumah sebagai tempat tinggal.
Dalam kebudayaan manapun, tidak terbantahkan rumah sebagai tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia, yang kemudian diformulasi sebagai hak setiap orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all) sebagaimana konsideran “Menimbang” huruf b dan d UU Nomor 1/2011 yang menggunakan frasa “layak dan terjangkau”.
Oleh karena itu, dalam keadaan dewasa ini yang masih tingginya defisit rumah atau backlog, masih belum teratasinya tunawisama, meluasnya kawasan permukiman kumuh, absa jika dikembalikan kepada amanat konstitusi.
Diperkirakan, backlog terus meningkat. Menurut Zulfie Syarif Koto, Ketua Hausing and Urban Development (HUD) Institute, backlog tahun 2004 berjumlah 5,8 juta, tahun 2009 mencapai 7,4 juta, meningkat menjadi 13,6 juta (tahun 2010). Jika asumsi permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 per tahun, dengan produksi hanya 200.000 unit rumah, maka ada defisit 700.000 rumah per tahun. HUD Institutute menghitung, angka backlog saat ini telah mencapai 15 juta.
Akankah beban rakyat ditambahkan lagi beratnya setelah kedelai, daging sapi, tempe, tahu dan harga-harga benda konsumsi menjulang-julang tak terkendali? Paslah jika media Kompas dan Republika mengingatkan negara. Agar tak hanya mengurus politik dan kekuasaan, tak hanya menjadi Imperium. Tatkala negara abai dan lunglai mengatasi harga-harga, dan membiarkan rakyat menerima kenaikan harga dengan tanpa usaha kekuasaan negara, hal itu mirip dan bahkan reproduksi pikiran lama yang menelusup akibat relasi yang “tidak senonoh” antara rakyat dengan negara.
Menurut Muhammad Hatta, pembedaan konsep kedaulatan politik dengan kedaulatan ekonomi (sebut saja Imperium versus Dominium), karena produk sejarah yang “tidak senonoh”. [vide Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, No.1, hal.2, dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstiotusionalisme di Indonesia, hal.123]. Sungguh, sejarah yang tidak senonoh lahir dari pemikiran yang tidak senonoh, atau primitifisme relasi negara dengan rakyat.
Dahulu, pemikir memisahkan konsep Imperium versus Dominium secara diametral. Imperium adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. Dominium adalah konsep mengenai “rule over things by individuals”. [Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, hal.121-123].
Dari titah Montesquieu, politik tidak mengurus ekonomi alis kesejahteraan rakyat. Katanya, dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik. Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan, kemauan pribadi, dan daya kompetisinya di arena pasar bebas. Negara tidak mengurus perut dan mulut, tamsil untuk ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kita sadar, ini pikiran kolot yang absurd bahkan primitif sekali.
Bercermin dari kedelai dan rumah, bisa jadi primitifisme relasi negara dengan rakyat itu, terjadi akibat relasi ekonomi yang timpang dan kesempatan yang tidak adil. Membiarkan tak terkendalinya harga kedelai, UMKM melipat tikar, tergoda dan tergopoh Pemerintah menaikkan harga rumah sejahtera untuk MBR, adalah reproduksi primitifisme relasi antara negara dengan rakyat. Reproduksi pikiran kolot yang memisahkan antara Imperium dengan Dominium.
Mari kita menengok ulasan konstitusi. Hak bertempat tinggal atau hunian sebagai hak konstitusional dan HAM, mestinya menjadi orientasi negara dan tujuan pembangunan perumahan rakyat oleh Pemerintah maupun operator. Dengan kata lain, penyediaan hunian komersial bukan domein pembangunan perumahan rakyat. Keliru jika orientasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perumahan justru membangun hunian komersial ataupun mencari laba semata.
Atas dasar itu, pembangunan perumahan rakyat mesti diangkat sebagai isu konstitusi dan HAM. Namun urusan perumahan rakyat dan kawasan permukimanhingga kini masih menggelisahkan karena belum diurus secara sungguh-sungguh (profesional dan proporsional) dan berkelanjutan (baik aspek kelembagaan, pembiayaan dan lingkungan) oleh pemerintah.
Di Indonesia, problem tentang tidak terpenuhinya kebutuhan akan papan begitu mengkhawatirkan karena kecenderungannya yang semakin meluas. Tidak terpenuhinya kebutuhan akan papan tersebut dapat termanifestasikan melalui berbagai macam bentuk, seperti tunawisma, gelandangan, tinggal di rumah kumuh, atau tinggal di rumah tanpa jaminan keamanan bermukim (secure tenure).
Dari ulasan itu, masihkah tergopoh menaikkan harga rumah rakyat dan mengabaikan pengendalian harga kedelai? Masihkah menjadi Imperium?