Inalum, Nasionalisasi atau Sentralisasi?
Pas 9 Desember 2013, dengan bangga Menteri Perindustrian menandatangani pengakhiran kerjasama Indonesia dengan Nippon Asahan Aluminium (NAA), konsorsium industriawan Jepang. INALUM kembali utuh ke Indonesia, utuh menjadi milik pusat. Tanpa Sumatera Utara. Pak Menteri, bukankah air sungai Asahan itu tidak mengalir di Jakarta? Air danau Toba dan pantai Kuala Tanjung tak terhampar di Jakarta? Menyitir filsuf hukum John Rawls, gagasan keadilan adalah fairness dan tumbuhnya struktur egaliterian di masyarakat. Masih kita merasa itu fairness dan egaliter, jika menopoli masih membingkainya?
Adilkah nasionalisasi PT. Indonesia Asahan Aluminium (“INALUM”), mengambil alih tuntas 58,1% saham NAA Jepang menjadi milik Pemerintah Indonesia dengan tanpa menyisakan hak konstitusional rakyat Sumatera Utara? Pertanyaan itu masih tersisa bagi MKI di penghujung detik-detik nasionalisasi INALUM. Kalau Master Agrrement yang diteken di Tokyo, 7 Juli 1975 oleh AR. Soehoed (Menteri Perindustrian saat itu) mengakui keberadaan air sungai Asahan, mengapa rakyat lokal dan pemerintah daerah tak diberikan andil oleh Negara sebagai pemilik INALUM? Padahal Master Agreement mengakui dalam konsirenednya bahwa “The Asahan river and its water power potential constitute and important natural recources…”.
Divestasi tahap akhir 58,1 % saham NAA Jepang adalah rangkaian pengembalian INALUM kepada ibu pertiwi. Awal pembentukannya, komposisi saham Pemerintah Indonesia dan NAA adalah 10% dengan 90%, menjadi 25% dengan 75% (Oktober 1987), menjadi 41,13% dengan 58,87% (Juni 1987), menjadi 41,12% dengan 58,88% (Februari 1998). Dari data itu, sejak awal Master Agreement dan pendirian INALUM, dengan sadar dirancang tidak untuk dimiliki rakyat domestik dan pemerintah daerah Sumut. Walaupun menerima Annual Fee yang kecil Rp.74 Miliar.
Untuk divestasi tuntas INALUM, Negara menganggarkan Rp.7 Triliun, termasuk Rp.5 Triluan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2013. Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2013 tentang Perubahan APBN Tahun Anggaran 2013, Rp. 5 Triliun dianggarkan ambil alih INALUM. Posisinya dalam APBN sebagai Pembiayaan Anggaran untuk mata anggaran Dana Investasi Pemerintah (vide Penjelasan Pasal 17 ayat (3) angka 2.4.4.). Tepatnya, Investasi Pemerintah Pusat bukan Pemerintah Daerah di Sumatera Utara, tempat sungai Asahan dan danau Toba terhampar.
Padahal, potensi hidrolistrik dari INALUM bisa menghasilkan energi untuk industri peleburan aluminium berkapasitas 400.000 ton per tahun. Tak hanya itu, di Kuala Tanjung, Batubara, Sumatera Utara, terbangun pabrik peleburan aluminium seluas 200 hektar, yang mampu memproduksi aluminium hingga 240.000 ton per tahun. Menurut data, 60% produksi aluminium diekspor ke Jepang, hanya 40% untuk kebutuhan dalam negeri. Andai dihitung penghasilan INALUM atas listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga, dengan asumsi dijual 4,6 sen US Dollar (USD) per kilowatt hour (kWh), keuntungannya hingga 120 juta USD per tahun atau Rp.12 triliun setahun. Andai pembagian keuntungan 10% saja, ada potensi Rp. 1,2 Triliun per tahun untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat Sumut. Selain itu, jika skenario pemilikan pemerintah daerah itu berjalan, maka efektif mengalami krisis listrik di Sumut.
Legitnya penghasilan dari INALUM menjadi alasan berminatnya Pemerintah Indonesia menguasai sendirian. Walau sejak awal disebutkan dalam master Agreement, potensi itu bersumber dari bumi, air sungai Asahan dan tentunya danau Toba. INALUM tak hadir karena kekuatan modal dan kecanggihan teknologi serta manajemen, namun karena kekayaan alam Sumut. Walaupun jika tidak dimanfaatkan, adalah air sungai Asahan dan danau Toba sebagai sumber tenaga hidrolistrik akan sia-sia juga. Sejak sebelum merdeka, minat mengelola potensi itu sudah terbersi tatkala kolonial Belanda sejak 1905 meneliti, dan bahkan menamakan air terjun Sigura-gura dengan ‘Wilhelmina-falls’. Tegasnya, dengan modal bumi dan air sungai Asahan dan danau Toba, INALUM menjadi industri yang cinklong. Berdasarkan data dari www.otorita-asahan.go.id berikut ini.
Bendungan Penadah (Intake) Tangga berbentuk busur dibangun 1978-1982, berfungsi membentuk tinggi energi yang diperlukan untuk membangkitkan tenaga di Stasiun Pembangkit Listrik. Tinggi bendungan 82 meter dari dasar sungai Asahan, dengan volume 4.880.000 m3. Bendungan Pengatur (Regulating Dam) Siruar, sebagai pengendali ketingggian permukaan air Danau Toba dan debit air yang mengalir ke Sungai Asahan, guna dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga listrik di PLTA Siguragura dan PLTA Tangga. Bendungan Pengatur Siruar berjenis struktur Concrete Gravity dengan tinggi bendungan 39 meter dari dasar sungai Asahan.
Bendungan Penadah (Intake) Siguragura, terletak 23,3 km dari hulu sungai Asahan (Danau Toba), atau 8,8 km dari bendungan Siruar atau 1 km di hilir Air Terjun Siguragura. Bendungan ini berfungsi untuk menjamin ketersediaan volume air dan besarnya energi air yang diperlukan bagi pembangkit tenaga listrik di PLTA Siguragura. Bendungan Siguragura berjenis struktur Concrete Gravity dengan tinggi bendungan 46 meter dari dasar Sungai Asahan, dengan volume 6.140.000 m3.
Stasiun Pembangkit Listrik Siguragura, dibangun 200 m dibawah permukaan tanah, terdiri dari dua ruangan besar, yaitu ruang pembangkit listrik dan ruang ttransformator utama. Dengan 4 perangkat pembangkit tenaga listrik (turbin), Siguragura dapat menyediakan tenaga listrik sebesar 206 MW.
Singkatnya, bendungan dan stasiun pembangkit listrik serta peleburan aluminium itu, berada di Sumatera Utara dan berasal mula dari ekosistem Sumatera Utara, yang memiliki relasi eksistensialis dengan masyarakat sekeliling sungai Asahan dan danau Toba.
Kini zaman reformasi. Setelah 30 tahun mayoritas pemilikan INALUM dikuasai NAA Jepang, tepat jika pemilikan INALUM dinasionalisasi, tentunya dengan adil dan bijak konstitusi. Bijak jika pemilikan INALUM tidak tunggal dikuasai Pemerintah Pusat melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP), badan investasi dibawah Menteri Keuangan. Pun demikian, tidak elok pula jika menjadi BUMN tanpa menyertakan Pemerintah Daerah Sumatera Utara sebagai pemegang saham.
Karena itu, kua yuridis konstitusional, keliru andai Pemerintah Pusat penguasa saham tunggal INALUM minus Pemerintah Daerah di Sumut khususnya pemerintah daerah sekitar sungai Asahan dan danau Toba. Apalagi kemudian menganggapnya sebagai “orang lain” atau partner korporasi biasa dalam relasi kepemilikan INALUM paska nasionalisasi. Sebaliknya, tidak tepat jika Gubernur Sumut mengambil posisi bagai peniaga swasta dengan langkah korporasi “berkeinginan berpartisipasi membeli saham INALUM”. Bukankah air sungai Asahan dan danau Toba, serta pantai pelabuhan dan pembangkit listrik berada di kawasan Sumatera Utara? Bukankah “hak ulayat” masyarakat setempat diakui dan dijamin dalam konstitusi? Bukankah air itu mengalir tidak di Jakarta, tanah itu tak bertapak di Jakarta, danau toba tidak terhampar di Jakarta, sungai Asahan dan bibir pantai pelabuhan Kuala Tanjung itu tidak di bawah langit Jakarta?
Dengan basis hak konstitusional masyarakat lokal itu, Gubernur Sumut mestinya memperjuangkan saham INALUM dari Negara untuk rakyat Sumut, bukan bertindak seakan “orang lain” atau peniaga swasta yang memohon kebaikan hati Pemerintah Pusat menjual 30% saham INALUM. Istilahnya berpartisipasi memiliki saham INALUM sebesar 30% [www.kabarbumn.com]. Gubernur Sumut mestinya berjuang mengembalikan “hak ulayat” kepada rakyat, bukan berposisi “membeli milik sendiri”. Bukankah air, tanah, danau, sungai, pantai dan lingkungan yang dimanfaatkan adalah barang atau “hak ulayat” milik rakyat Sumatera Utara sendiri?