Independensi BI, Bukan “State within State”

Pengujian kelayakan dan kepatutan calon  Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) pada tanggal 5 dan 6 Desember ini.  Pengambilan keputusan berlangsung pada tanggal 7 Desember 2011,  keesokan harinya.   Diwartakan KONTAN,   dua kursi yang diperebutkan oleh  empat calon:  Perry Warjiyo, Direktur Riset dan Kebijakan Moneter BI, bersaing dengan koleganya dari BI, Ronald Waas, Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran.

Calon lain, Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Riswinandi versus incumbent, Deputi Gubernur BI, Muliaman D. Hadad. Jika Muliaman kembali terpilih, ini adalah periode keduanya.  Sementara bagi Riswinandi, jika akhirnya terpilih, menjadi orang pertama non-BI yang mengisi jabatan deputi gubernur. Menurut sumber media,  bankir senior Krisna Wijaya pernah dua kali gagal meruntuhkan mitos itu.

Walaupun nama diusulkan Presiden, pejabat  BI itu bukan pejabat yang diangkat langsung leh Presiden. Inilah salah satu produk reformasi kebanksenralan di Indonesia.  Pada era reformasi,  sejarah perbankan di Indonesia mencatat perubahan status dan kedudukan BI  yakni dengan disahkannya BI  sebagai lembaga negara yang independen.

Reformasi BI: Independensi

Perubahan status dan kedudukan BI  yang independen ini membawa konsekwensi kepada kebijakan moneter yang dikeluarkannya, dan larangan melakukan campur tangan Pemerintah, DPR dan pihak lain dalam menjalankan tugas-tugas selaku bank sentral.  Jika dibandingkan norma hukum yang mengatur tentang bank Indonesia pada masa  Pemerintahan  orde baru,  –  tepatnya sejak tahun 1968 –  dengan disahkannya  Undang-undang Nomor  13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral  ditemukan adanya penerapan politik hukum yang membatasi eksistensi dan wewenang BI  selaku bank sentral dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan moneter. Bank Indonesia  hanya menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh Dewan Moneter yang berwenang sebagai policy making body yang dipimpin oleh Menteri Keuangan.

Dasar dan argumentasi belum adanya ketegasan status independen BI  dapat ditemukan dalam Penjelasan UU No. 13/1968,  yang secara eksplisit mengemukakan bahwa BI  sebagai Lembaga Negara yang bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan kebijakan moneter. BI  sebagai bank sentral tunduk dengan kebijakan moneter yang dirumuskan Dewan Moneter, kendatipun bank sentral memiliki keleluasaan untuk memilih cara guna mencapai tujuan yang ditetapkan.

Dengan alasan yang sedemikian, Dawam Raharjo menyebutkan bahwa BI  pada masa penerapan UU No. 13/1968 mempunyai independensi yang bersifat relatif.

Konsekwensinya, BI  adalah bagian dari Pemerintah dan merupakan sub ordinat Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden. Dalam periode Pemerintahan Orde Baru,   kedudukan dan jabatan Gubernur BI  adalah pembantu Presiden yang statusnya merupakan menteri negara dalam susunan kabinet Pemerintahan. Mulai sejak Kabinet Pembangunan II tahun 1983, Keputusan Presiden pengangkatan Gubernur BI  disebutkan bahwa Guburnur BI  adalah pejabat tinggi yang disamakan dengan menteri negara. Dasar pemikiran yang memberikan wewenang kepada Dewan Moneter untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan moneter didasarkan kepada UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan pemerintahan berada ditangan Presiden, sedangkan para menteri adalah pembantu Presiden yang bertanggungjawab kepada Presiden.  Untuk menjalankan wewenang pemerintahan dalam bidang moneter, maka Presiden membentuk Dewan Moneter yang keanggotaannya termasuk Gubernur BI.

Pada masa itu, keberadaan Dewan Moneter  yang dibentuk sebagai organ yang membantu Presiden dalam kebijakan merumuskan moneter, sama artinya dengan  meniadakan independensi  BI  atau hanya memiliki independensi yang bersifat relatif karena BI  tunduk dengan kebijakan Dewan Moneter yang dipersiapkan dan kemudian ditetapkan Presiden.

Kedudukan BI  sebagai bagian dari kekuasaan Pemerintah merumuskan kebijakan moneter,  sudah barang tentu mempunyai konsekwensi hukum mengenai tanggungjawab kebijakan moneter yang keluarkan. Misalnya kebijakan Pemerintah mengenai bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikeluarkan pada saat BI  masih terikat dan diatur dengan berdasarkan UU No. 13/1968.  Lepas dari perbedaan pendapat tentang bagian mana yang menjadi tanggungjawab keuangan atas pelaksanaan BLBI dan tanggungjawab kebijakan BLBI, namun sepanjang berdasarkan UU No. 13/1968, kebijakan moneter merupakan wewenang Pemerintah. Pendapat yang berdasarkan kepada UU No. 13/1968 sedemikian  juga disimpulkan dari Panitia Kerja (Panja) Komisi IX DPR tentang BLBI. “…kebijakan BLBI jelas merupakan kebijakan Pemerintah dan menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun tentang tanggungjawab finansialnya, bank Indonesia tidak bias melepaskan tanggungjawabnya”.

Istilah BLBI sendiri dikenal sejak 15 Januari 1998 yang ditemukan dalam Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah dengan International Monetary Fund (IMF), dimana Pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) Bank Indonesia kepada perbankan.    BLBI terdiri atas semua fasilitas bank Indonesia yang tersedia bagi perbankan di luar Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).    Sehingga, menurut laporan  Bank Indonesia,  BLBI merupakan program  Pemerintah yang di –acknowledge oleh  IMF  bahkan menjadi conditionality yang ditetapkan IMF.

Padahal, Gubernur BI  pernah mengajukan usul kepada Presiden agar dilakukan likuidasi dan mencabut izin usaha perbankan nasional yang dinilai bermasalah yang dinilai  insolvent.  Usulan itu disampaikan pada Presiden Suharto pada Oktober 1996 dan April 1997, yakni jauh hari sebelum Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menugaskan Gubernur BI  dan Menteri Keuangan untuk membantu perbankan nasional yang sedang mengalami kesulitan likuiditas dalam sidang kabinet terbatas bidang Ekku Wasbang dan Prodis tanggal 3 September 1997.

Usul  yang diajukan Gubernur BI  itu ditolak dengan bukan dengan rasionalitas ekonomi yang obyektif namu dengan alasan politis yakni untuk  menjaga stabilitas keamanan menjelang pemilihan umum 1997 dan Sidang Umum MPR tahun 1988.

Krisis ekonomi dan moneter yang dialami Indonesia yang kemudian menggelinding sebagai momentum pergantian kepemimpinan nasional yang mengubah tatanan pemerintahan, termasuk ke  dudukan BI sebagai bank sentral. Dengan menggunakan momentum reformasi hukum di Indonesia terjadi realisasi perubahan mendasar dalam kedudukan independensi bank sentral yang semula memosisikan BI  sebagai sub  ordinat Pemerintah dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan moneter.
Pada era Presiden B.J. Habibie,  kedudukan BI  sebagai bank sentral berubah secara mendasar, yakni melegalisasi  independensi BI  dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Legalisasi secara yuridis terhadap sifat independen BI  ke dalam hukum positif secara khusus dan eksplisit dapat ditemukan dalam norma hukum  Pasal 4 ayat 2 UU No. 23/1999.  Norma hukum  Pasal 4 ayat (2) UU No. 23/1999 itu menegaskan bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lainnya. Secara lengkap disebutkan bunyi Pasal 4 ayat (2) UU No. 23/1999 sebagai berikut: “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk  hal-hal  yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini”.

Pada  berbagai  negara di dunia,  kedudukan bank sentral dan jabatan Gubernur Bank Sentral, memainkan peran yang vital dalam pembuatan kebijakan moneter.   Bahkan, pada negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat dan Jerman, bank sentral merupakan lembaga yang mempunyai wewenang membuat kebijakan ekonomi dan moneter yang sama sekali lepas dari pengaruh dan intervensi Pemerintah.
Di Amerika Serikat (AS), publik meyakini Gubernur Federal Reverse,  memiliki pengaruh yang lebih kuat dari Presiden AS dalam menentukan kebijakan ekonomi dan moneter AS. Beberapa kali pernyataan dalam pidato Gubernur Federal Reverse mempengaruhi aktifitas ekonomi moneter  dan arus investasi global.  Misalnya isyarat kenaikan suku bunga Federal Reverse menguatkan nilai kurs dollar AS di pasar uang dunia.  Kenyataan ini menggambarkan kuatnya kedudukan The Fed selaku bank sentral AS yang independen dan lepas dari intervensi Pemerintah AS dalam menentukan kebijakan ekonomi dan meneter.

Di Indonesia, penegasan independensi BI  yang secara yuridis formal tertuang dalam ketentuan UU No. 23/1999 baru berjalan beberapa tahun, namun  justru sudah mengalami kritik, cobaan.  Dalam perjalanan yang relatif pendek UU No. 23/1999 mengalami banyak intervensi dan tantangan yang datang dari eksekutif maupun legislatif.    Ulasan ini  pernah dikemukakan  H. Ahjar Iljas, “Independensi BI Mengalami Ujian”, Harian Warta Ekonomi, No. 38/Th XI/7 Februari 2000.   Demikian juga  Rijanto, “’Pertikaian’ BI – Pemerintah”, Majalah Forum  Keadilan, No. 42, 30 Januari 2000.

Secara juridis-formal Pasal 9 ayat (2) UU No. 23/1999 memuat norma hukum yang mewajibkan Bank Indonesia untuk menolak campur tangan Pemerintah dan pihak lain dalam menjalankan tugas-tugas Bank Indonesia.Pasal 9 ayat (2) berbunyi sebagai berikut: “Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan  segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya”.  Namun, masalah ada atau tidaknya intervensi terhadap BI  bukan masalah yang sederhana.    Menurut mantan Gubernur BI, J. Soedradjat Djiwandono, ada atau tidaknya intervensi yang dilakukan pihak luar termasuk Pemerintah terhadap BI  tidak bisa hanya dilihat secara juridis formal saja, dan penilainnya hanya dilakukan dengan menginterpretasikan  pasal-pasal secara terpisah.  Akan  tetapi     menurut      J. Soedradjat Djiwandono penilaian ada atau tidaknya intervensi  harus dilihat secara mendasar dari falsafah  dilahirkannya ketentuan perundang-undangan (J. Soedradjat Djiwandono, “Independesni BI Sedang Dipermasalahkan”,  Kompas, 19 Juni 2000).

Tema Hukum  yang kompleks

Independensi BI  dari Pemerintah, menurut  pendapat   J Soedradjat Djiwandono, tidak berarti bahwa keduanya boleh jalan sendiri-sendiri. Pemerintah tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas BI  namun sebaliknya BI  tidak dibenarkan mengabaikan upaya pemerintah di dalam menyelenggarakan kegiatannya. Dalam keadaan sedemikian,   maka isu hukum mengenai independensi BI  sebagai bank sentral  dan pengalaman BI  dalam menerapkan UU No. 23/1999 merupakan wacana ilmu hukum yang penting dan menarik untuk dielaborasi secara mendalam.

Argumentasi yang menyetujui penerapan prinsip independensi  bank sentral   (central bank independence) – dalam uraian berbagai literatur – dimaksudkan untuk menjaga objektifitas perumusan dan pembuatan kebijakan moneter, termasuk pengawasan perbankan  dari masuknya kepentingan politik jangka pendek. Untuk merumuskan kebijakan moneter yang kompleks, rumit, dan bersifat kondisional, membutuhkan mekanisme perumusan kebijakan moneter yang solid dan professional pada bank sentral.

Rosa Maria Lastra dalam bukunya Central Banking and Banking Regulation mengatakan,  penerapan sifat independensi bank sentral berguna untuk menghindari  the manipulation of monetary policy for short-term political ends. (Rosa Maria Lastra, “Central Banking and Banking Regulation”, Financial Markets Group London School of Economics and Political, London, 1996, hal. 18.Lihat juga  Robert Elgie dan Helen Thomson, “The Politics of Central Banks”, Routledge, London and New York, 1998, hal.  21.)

Disamping itu,   patut pula dikutip pendapat Robert Elgie dan Helen Thomson yang menyebutkan,  kendatipun istilah independen itu mengandung paradoks karena independensi bank sentral itu diberikan oleh Pemerintah, namun menurut keduanya penerapan independensi bank sentral menghindari tekanan Pemerintah. “independence  enable  a  central bank  to resist pressures from its government …”.

Namun, dapat pula dikemukakan pendapat Alan S. Blinder (Alan S Blinder, “Central Banking in Theory and Practice”,  The MIT Press Cambridge, Massachusetts London, England, 1998, hal. 54), bahwa independensi yang melekat pada bank sentral bermakna adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan moneter dan bagaimana mengejar pencapaian kebijakan dimaksud. “…central bank independence means two thinks: first, that central bank has freedom to decide how to pursue its goals and , second, that its decisions are very hard for any other branch of government to reverse”.

Dalam konteks independensi bank sentral di Indonesia,  dengan pengesahan  UU No. 23/1999 maka  secara juridis formal  status dan kedudukan BI  sebagai lembaga negara yang independen  dimaksudkan untuk menanggulangi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya.   Oleh karena itu, guna menjamin penerapan  prinsip pokok bank sentral yang efektif diberikan independensi BI  untuk  mencegah campur tangan Pemerintah dan DPR terhadap BI  dalam menjalankan tugas-tugasnya.  Secara teoritis, upaya-upaya intervensi bank sentral  memasuki   wilayah  yang    disebut   oleh  Rosa Maria   Lastra  sebagai the manipulation of monetary policy.

Sekaitan dengan argumentasi tersebut, untuk kasus bank sentral di Indonesia bahwa penegasan tentang perlunya menerapkan  independensi bank sentral, yakni BI  yang mandiri dan bebas dari campur tangan Pemerintah –  yang dimaksudkan untuk mengelola dan mendayagunakan devisa –  juga diterima dan ditemukan dalam rumuskan Penjelasan Umum UU No. 23/1999. “Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, sebagaimana amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Republik Indonesia tersebut diharuskan membangun system kelembagaan yang kuat dan independen  dalam mengelola dan mendayagunakan devisa. Dalam rangka pengelolaan keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia sebagai bank sentral  harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lainnya, serta kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan”.

Sejalan dengan argumentasi dimuka, BI  telah diakui secara yuridis (berdasarkan Undang-undang)  menjadi lembaga negara uang independen.  Karenanya, BI  sebagai lembaga negara yang independen, berada dalam suatu mainstreamyang dikonstruksikan ke dalam ketentuan  UU No. 23/1999.

Dalam konstruksi UU No. 23/1999 yang secara jelas memberikan independensi BI, juga membangun mekanisme bagaimana mengelola hubungan antara BI  dengan  Pemerintah dan hubungan  dengan parlemen (DPR) sebagai bagian integral dari penerapan independensi bank sentral.

Disamping itu, dalam UU No. 23/1999 memuat pula norma hukum yang mewajibkan BI membuat dan menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang bank Indonesia setiap 3 (tiga) bulan kepada DPR.  BI  juga mempunyai kewajiban menyampaikan informasi secara terbuka kepada masyarakat mengenai rencana kebijakan moneter dan evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan moneter tahun sebelumnya.

Secara demikian, dalam UU No. 23/1999 pada pokoknya terkandung norma hukum yang mengatur tentang akuntabilitas BI  dan termasuk mengenai pengelolaan anggaran BI.   Oleh karena itu,   argumentasi utama yang menantang independensi BI  karena pemberian independensi menciptakan adanya “negara dalam negara” (“state within state”) dapat diperdebatkan  dengan  cara mengelaborasi   dan  membandingkan  argumentasi “state within state”  dimaksud dengan teks norma hukum UU No. 23/1999,  dan ataupun  konteks dan falsafah independensi bank sentral yang terkandung dalam rumusan UU No. 23/1999.

Dengan demikian,  independensi BI  berdasarkan  UU No. 23/1999  tidak dapat dilepaskan norma hukum yang terkandung dalam UU No.23/1999 yang didalamnya  juga menyediakan norma hukum mengenai mekanisme  akuntabilitas BI.

Oleh karena itu,   penelaahan    terhadap UU No. 23/1999 menyangkut isu hukum tentang bagaimana wujud dan mekanisme dari penerapan independensi, pola hubungan kerja operasional dengan Pemerintah dan DPR, dan bagaimanakah wujud dan mekanisme akuntabilitas dan pertanggungjawaban BI.

Leave a Reply