Indonesia 100: Combating Stunting di Pusaran Biduk Lilin Layar Kertas
Tiga ponakan kecil saya di Medan, –Sulthan Wardhana, Shea, dan Almeer (SSA) tumbuh susul menyusul. Belum genap usia 3 tahun. Masih bayi dan batita lucu.
Tahun 2045 nanti, ketika fase Indonesia Emas Tahun 2045, trio SSA tidak lucu lagi. SSA si anak Medan sudah remaja jelang dewasa. Menjadi generasi Indonesia 100 –ditakar dari tahun ke 100 kemerdekaan Indonesia.
Menengok ke belakang, tahun 1928 nun dari benua Eropah sana Mohammad Hatta muda menggemakan satu manifesto politik yang berpengaruh: Indonesie Vrij, door Mohammad Hatta, voorzitter der Perhimpoenan Indonesia. Sosok Hatta –yang kuliah di Rottredamse Handelsshogeshool– memidatokan Indonesie Vrij saat usia 26 tahun. Hatta tidak hanya membela dirinya, namun bangsanya! Pidato Hatta itu masih relevan hingga kini.
Ketajaman pikir Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka) –yang antitesis kolonialisme-imperialisme — membuat Belanda tak suka dan mencap de Indische studenten telah dihinggapi semangat revolusioner. Hatta tak surut, bak kombatan memerangi kolonialisme-imperialisme di negerinya. Indonesia merdeka 17 tahun kemudian. Narasi itu membuktikan Indonesia merdeka tak hanya angkat senjata. Namun andalkan inteligensia dari kaum yang “terdidik dan tercerahkan”, meminjam Anhar Gonggong.
Sebab itu, perancang konstitusi menyadari pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia masuk sari pati konstitusi bertitel Pembukaan UUD 1945 yang menjadi identitas konstitusi (constitutional identity), yang berarti identitas otentik yang tidak hendak diubah.
Seperti Indonesie Vrij dari Hatta sebagai cita-cita politik yang menyatukan, patut menyatukan langkah bersama melayarkan Indonesia Emas 2045.
Tak ada aral konstitusional bagi Indonesia gigih melindungi anak, termasuk memproyeksi generasi SSA sebagai generasi Indonesia 100 –yang tangguh, terdidik dan segar bugar tercerahkan.
Selain sari pati identitas konstitusi dan dikokohkan dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, maka perlindungan anak itu adalah agenda melayarkan perahu Indonesia 100 yang (sekali lagi) tangguh, terdidik dan segar bugar tercerahan, bukan kaum rebahan!
Meminjam K.C. Wheare yang menyebut konstitusi ialah kehendak membuat langkah segar (desire to make a fresh start), maka melayarkan generasi 100 tak cukup hanya dengan digitalisasi sekolah yang diwartakan seharga 17 triliun, tanpa mengisi jiwanya dengan triliunan moral patriot putra bangsa. Postulat saya, ikhtiar perlindungan anak itu beranjak dari menghidup-hidupkan konstitusi hak anak (sebut saja KHA) –guna menyegarkan jiwa putra bangsa dan identitas bernegara.
Akankah KHA hasil amandemen kedua UUD 1945 yang kini menjejak tahun ke sepuluh sudah signifikan mengubah keadaan anak negeri?
Memang, anak Indonesia masih banyak yang kurang beruntung dan memebutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection/ CNSP). Namun tantangan terbesar dalam bernegara, tak hanya bergelut kasus dan mengurai sengkarut CNSP yang berada di hilir. Namun agenda besar membumikan KHA sebagai konstitusi yang hidup: living constitution. Sebab konstitusi bukan hanya dokumen formal megah karena berpita merah, dan bukan buku menu restoran, yang tertulis ada namun tak tersedia di meja –seperti satire Ewa Latowska, sang juris-konstitusionalis Polandia.
Dunia yang layak untuk anak (world fit for children) yang analog dengan Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030, mengonfirmasi urusan perlindungan anak bersifat universal sehingga Indonesia jangan gagap dalam “tata bahasa universal” hak anak yang kompatibel dengan bahasa menghidup-hidupkan KHA.
Selain amanat konstitusi yang sekaligus hak asasi manusia (HAM) juncto hak anak, dimana child’s rights are human rights, jangan remehkan hak anak seakan HAM “kecil” diantara HAM “besar”. Karenanya, tanggungjawab atas hak anak –sebagai HAM– melampauai aras privat-cum-keluarga, namun tanggungjawab negara terutama pemerintah seperti mandat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Artinya absah menggunakan “mesin” kekuasaan negara demi perlindungan anak.
Disadari, menyiapkan “perahu zaman” menuju pulau bernama Indonesia 100, bukan tanpa tragedi dan ironi. Bukan tanpa hambatan cuaca, cadasnya ombak samudera, ganasnya “bajak laut”, dan keterbatasan energi. Itu metafora menggambarkan cabaran perlindungan anak bagi Indonesia 100, yakni era Indonesia 2045 yang pasti tiba masanya dan tidak bisa ditunda.
Menghidupkan KHA itu tak lain dalam rangka membina dan merawat generasi masa depan ber-DNA Indonesia 100, yang nantinya menjadi kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang fasih mengadvokasi dan pandai berbudaya konstitusi.
Dalam bukunya ‘Menuju Indonesia Emas’ (2019), Faisal Basri dan Haris Munandar memperkirakan dan menyokong lapisan civil society yang tebal dan tangguh mengimbangi dominasi political community dan business community. Sebab itu, demi Indonesia 100 yang tangguh, terdidik dan segar bugar tercerahkan, makin penting prinsip pertimbangan paling puncak (paramount consideration) bagi perlindungan anak dalam tata kelola negara berbasis KHA.
Namun, realitas berujar perih. Keluguan anak-anak bersintuhan tragedi dan disergap ironi. Tak sedikit anak-anak terhambat tumbuh kembangnya dan menyandang CNSP. Bahkan tak sedikit kasus anak yang tiba ke batas toleran dan krusial –yang mengancam hak hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Termasuk indeks stunting anak Indonesia pun tercatat mencorong.
Menurut data, 1 (satu) dari 3 (tiga) anak bawah lima tahun (balita) dalam derita stunting, prevalensiya 30,8%. Indonesia peringkat ke lima tertinggi balita mengalami stunting. Tertinggi di kawasan ASEAN.
Dampaknya, anak mudah sakit, kemampuan kognitif berkurang bahkan mengalami brain stunting, fungsi-fungsi tubuh tidak seimbang, postur tubuh tak maksimal saat dewasa, mengakibatkan kerugian ekonomi 2-3% dari GDP per tahun, dan membiakkan kesenjangan sosial yang parah. Kondisi itu beresiko generasi hilang (lost generation). Jika tak dicegah, itu tragedi dan ironi seperti metafora dari lirik lagu Cindai: ‘biduk lilin layarnya keras, seberang lautan berapi’.
Bobot soalnya tidak hanya isu layanan kesehatan belaka, namun kurang gizi, malnutrisi, stunting anak itu mencecah isu dampak berkepanjangan seratusan tahun atas hak kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak (rights to life, survival and development) –yang bertaut tak terpisahkan. Artinya anak tak hanya asal hidup dan sekadar bisa survival, namun bertumbuh kembang optimal dan mengaktivasi lebih dan lebih banyak lagi DNA baiknya.
Dikuatirkan Indonesia 100 bisa terganggu bahkan gagal jika tidak memerangi stunting (combating stunting). Dengan ragam intervensi sejak fase pra konsepsi, kosepsi, janin bayi dalam kandungan, bayi baru lahir, batita, balita, sapai orang muda belia. Walaupun 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) yang menentukan status stunting. Seribu hari pertama kehidupan yang krusial namun menentukan generasi baru Indonesia 100. Seperti fase critical elevent dalam penerbangan, perlu pilot in command yang andal dalam combanting stunting.
Tidak berlebihan memakai frasa combating stunting. Tengoklah buku saku implementasi Convenstion on the Right of the Child (CRC) yang memandu negara peserta CRC mengambil jurus serupa: combat disease and malnutrition, including in the framework of primary healt, …adequate nutritions food and clean dringking water.
Seilmu-seguru, Manual on Human Rights Reporting memandu upaya maksimum menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak (survival and development of the child) dari Pasal 6 CRC. Termasuk combating diseases and rehabilitating health, providing adequate nutritions foods and clean drink water.
Ikhwal stunting tidak hanya problematika CNSP dan anak penyandang masalah sosial serta kesenjangan layanan kesehatan primer belaka. Namun isu kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan isu itu idemditto penjaga stabilitas cita-cita Indonesia Vrij di era 2045. Menjadi agenda bangsa yang harus dijaga dan digemakan kepada segenap anak bangsa.
Itu bermakna bahwa combating stunting berskala lintas sektor, semua lini, dan semua kita dan kita semua, demi memerangi stunting yang dibayangi resiko lost generation. Tak usah gusar jika penulis tergugah emosi menyebut ikhtiar ini seperti adagium hukum perang: bellum omnium contra omnes –semua lawan semua!
Lagi pula, secara statistikal postur populasi orang yang berdefenisi anak mencapai 30% dari rakyat –yang nota bene pemilik kedaulatan rakyat (constituent power) versi Pasal 1 ayat 2 UUD 1945– sehingga secara politik patut menghidup isme KHA sebagai pertimbangan puncak menelusup ke segenap hukum, kebijakan dan tindakan. Sebab itu, negara terutama pemerintah –termasuk pemerintah daerah– beralasan menjadikan combating stunting sebagai pemangku tanggungjawab.
Dalam aras hukum konstitusi, kegagalan perlindungan dan pemenuhan HAM akan mengancam demokrasi itu sendiri, dan keduanya bertaut sebagai esensi dari negara demokrasi konstitusional yang dianut UUD 1945. Postulat saya, combating stunting patut dibaca sebagai gerakan bersama mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebab itu, mengabaikan 1000 HPK penyebab stunting, sama artinya menggerus KHA dan beresiko bagi Indonesia 100. Combating stunting sebagai perlindungan hak anak mustilah upaya luar biasa (extraordinary effort) dari segenap kekuasaan negara, terutama pemerintah seperti mandat konstitusi Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Termasuk pemerintah daerah? Tentu saja! Bahkan menjadikannya program strategis nasional perlindungan anak. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU 23/2014) musti direvisi. Dengan menambahkan urusan perlindungan anak sebagai urusan konkuren bersifat wajib yang berkaitan kebutuhan dasar pada pemerintah dan pemda. Agar kewajiban pemda dalam hal perlindungan anak –versi Pasal 20 dan 22 UU Nomor 35 Tahun 2014– bisa harmoni dan efektif disokong UU Pemda.
Juga, terobosan combating stunting menyelamatkan ‘biduk lilin layar kertas…’ itu dipatok menjadi program strategis nasional –dengan bekal Pasal 67 huruf f UU 23/2014.
Majelis Pembaca, combating stunting penting bagi Indonesia 100. Yang tak kalah penting dari agenda ease of doing business bagi investasi pembangunan ekonomi. Jika kebangkitan dan kejatuhan bangsa karena manusianya, mengapa tidak gaspol ikhwal pembangunan manusia menuju Indonesia 100? Seperti teladan Soekarno kepada ‘Menuju Indonesia Merdeka’ (1933). Seperti teladan Hatta kepada Indonesie Vrij (1928). Kedua patriot ini contoh betapa tabah dan loyal berjuang tak kikis menjadi ciri anak bangsa demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi tumpah darah Indonesia.
Yth. Majelis pembaca. Melindungi anak dari metafora ‘biduk lilin layarnya keras, seberangi lautan berapi’, adalah monumen prestasi patriot-patriot bangsa. Esai sederhana ini dedikasi kepada generasi SSA –yang dalam pusaran zaman yang kontras berbeda dan tak sederhana.
Perlu stamina tak sederhana bagi Indonesia 100. Sembari menyokong penuh generasi SSA tumbuh dengan “manifesto”-nya bagi Indonesia Emas.
Selamat Hari Anak Nasional 23 Juli 2021. Bahagia anak Indonesia. Mabruk alfa mabruk. Tabik.
Muhammad Joni, S.H., M.H., Advokat, Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).