Integrasi Sosial Asean

Menjelang dasawarsa keempat ASEAN, kohesi negara-negara Asia Tenggara ini masih menyembulkan banyak  isu kawasan yang paradoksal.  Beberapa paradoks ASEAN, misalnya isu Ambalat, buruh migran, ekspor limbah beracun, persembunyian koruptor,  illegal logging, child sex tourisme, ataupun terrorism.

Di sisi lain, Oktober tahun 2004 lalu, pemimpin ekonomi negara-negara ASEAN menyepakati integrasi ekonomi ASEAN.  Kebijakan  itu progresif tetapi bukan tidak luput resistensi.  Selain  kebijakan  integrasi  ekonomi itu elitis versi para pemimpin ekonomi ASEAN,   tetapi juga hadir di tengah mainstream globalisasi perdagangan  – yang secara historis hadir bak reinkarnasi kolonialisme. Karenanya, globalisasi masih menyisakan perlawanan masyarakat sipil.

Idem ditto dengan globalisasi perdagangan,  integrasi ekonomi ASEAN  memang bak “pisau bermuka dua”. Selain mengalirkan arus investasi, modal, transaksi ekonomi internasional, dan industrialisasi dalam skala trans national, namun  tumbuh pula masalah sosial trans-nasional. Misalnya,  isu buruh migran (migrant workers) – dari Indonesia ataupun Philippina di Malaysia, dan Singapura. Atau sindikasi trans-nasional illegal logging asal Malaysia merambah hutan Papua. Perdagangan manusia khususnya anak-anak dan perempuan  (trafficking in persons especially women and children), dan terrorism – yang  mendakwa  jaringan organisasi berlabel agama.

Mari tenelaah isu buruh migran. Meruncingnya konflik buruh migran Indonesia – yang dideportasi menyusul kebijakan Malaysia menggelar Operasi Enyah –  sudah terpolarisasi menjadi konflik horizontal individu  antar warga.  Solusi bilateral goverment to government (G to G),  terbukti belum sempurna. Isu buruh migrant ini bukan hanya pada level Pemerintah (goverment level).

Tesis Integrasi Sosial

Majunya derap kebijakan integrasi ekonomi diasumsikan relevan jika berbasis integrasi sosial ASEAN.  Tumbuhnya harmoni dalam pergaulan sosiologis antar warga ASEAN, pada stadium tertentu efektif mengurangi  resistensi kebijakan integrasi ekonomi ASEAN.  Kepatuhan sosial warga masyarakat ASEAN atas kebijakan/konvensi otoritas formal Pemerintah negara-negara ASEAN dibutuhkan sebagai justifikasi sosiologis  bagi otoritas formal ASEAN.

Jika dikembangkan, bukan mustahil ASEAN menyumbangkan nilai-nilai (values), norma (norm) dan pendekatan (approach), serta pengalaman (experience)  yang produktif dalam membangun tatanan dunia yang  dapat secara otentik diserap dalam  dalam  tatanan pergaulan internasional non ASEAN, dan masyarakat global. Hal ini berguna untuk membangun  citra ASEAN sebagai part of problem solver, bukan hanya  part of the problems.

Dalam konteks itu,  isu buruh migran Indonesia misalnya – tidak lagi dalam perspektif tunggal (single perspective) Kerajaan Malaysia. Selain dimensinya tidak tunggal sebagai isu pelanggaran hukum keimigrasian (Akte Imigressen), karena bersentuhan dengan dimensi kejahatan  trafficking in persons . Bahkan,  proteksi buruh migran diyakini otentik sebagai kepentingan pelaku usaha Malaysia yang menikmati   surplus ekonomi buruh migran.

Globalisasi ekonomi dan pasar bebas sudah pasti  mempengaruhi pola konsumsi warga masyarakat ASEAN.  Globalisasi, menurut pendukungnya,  tidak bisa dihambat dan ditolak secara formal dalam regulasi perdagangan regional ataupun domestik. Menuju suatu konvergensi regulasi.

Skenario konvergensi (convergency)  muncul sebagai prinsip non discrimination, dan  perlakuan yang serupa (national treatment) bagi “pemain” luar memasuki pasar domestik.  Konvergensi regulasi mempengaruhi hubungan dan pola perdagangan – yang tidak bisa absolut dikontrol otoritas domestik – sebagai badan pembuat hukum (regulator body).  Argumentasi ini memperkuat asumsi John Jackson, dalam The Policies Underlying International Economic Relations, bahwa  perdagangan global sebagai interdependensi ekonomi.

Masalahnya, apakah interdependensi ekonomi akan konsisten menciptakan interdependensi sosial dan kemanusiaan?  Dalam banyak kasus, harapan menaiknya kesejahteraan dengan globalisasi ekonomi tidak mutlak terbukti. Paradoks globalisasi muncul dalam bentuk perusakan lingkungan hidup oleh  multinational corporation (MNC),   illegal logging,  perdagangan manusia untuk kepentingan industri pariwisata seksual (sex tourism).  Ringkasnya, globalisasi ekonomi tidak mampu mengeliminasi anasir eksploitasi yang  laten dalam  interdependensi ekonomi  sekalipun.

Kita patut mensinyalir globalisasi perdagangan tidak akan pernah dengan sempurna dimenangkan  ASEAN. Para aktor multy national corporation (MNC) jarang dilakoni pelaku biasa.  MNC mengendalikan 70% – 75%% perdagangan dunia, yang diperkirakan  350 MNC terbesar menguasai 40% perdagangan senilai USD 3.485 miliar, menguasai 75% dari total investasi global. Lantas dimanakah posisi tawar aktor lokal-domestik?  Posisi masyarakat sipil ?

Tesis yang mungkin dikembangkan  Indonesia dan negara-negara ASEAN adalah membangkitkan persatuan sosilogis warga kawasan, yang mendorong watak egaliter dan solidaritas  level grass root ASEAN.  Relevan apabila ASEAN  melakukan integrasi ekonomi berbasis  integrasi sosial ASEAN.

Dengan integrasi sosial  bisa berwujud sebagai gerakan aksi solidaritas yang otentik atas berbagai isu dalam domein kepentingan publik ASEAN.   Berbasis integrasi sosial, ASEAN bisa menyebarluaskan promosi dan konsumsi atas komoditas barang dan jasa ASEAN,  seperti halnya secara negasi  pernah digerakkan tokoh India, Mahatma Gandhi. Dengan tesis swadesi-nya,  Gandhi menganjurkan  masyarakat India  tidak mengonsumsi produk  “made in England”. Gerakan ini, cikal bakal persatuan yang menggerakkan  mesin perjuangan kemerdekaan India melawan kolonialisme-imperialisme Inggris. Resistensi sosial-kultural di India, membangkitkan gerakan “Hindu Revivalist” (“Rashtriya Swayamsewak Shangh”) yang mendesak India memboikot komoditas asing.

Hikmah sejarah India itu mengajarkan revelansi membangun integrasi sosial dari masyarakat sipil di kawasan ASEAN,  sehingga tercipta solidaritas yang otentik  sebagai “need” masyarakat. Bukan sekedar “need”  politis  institusi formal Pemerintah.

Dalam konteks sejarah Indonesia, para pemilik modal Belanda yang bernafsu menguasai pasar Eropah, mengambil langkah kolonialisasi dengan manaklukkan Hindia Belanda (Indonesia).   Proklamator Indonesia, Bung Karno mengemukakan bahwa gerakan ekonomi kolonial industriawan Belanda  tidak bisa dihantam dengan gerakan ekonomi.

Pada setting ekonomi, sosial politik saat itu  bangsa Indonesia  (Hindia Belanda) mutlak marginal sehingga mustahil melawan hegemoni ekonomi kolonialisme–imperialisme di Hindia Belanda dengan gerakan ekonomi pula. Menurut Bung Karno, Indonesia saat itu dalam status “minimum lijtster” (“segalanya minimum”), sebagai efek kolonialisme “finanz capital imperialism”. Indonesia hanya sebagai tempat mengambil “basis grondstoffen” saja.

Dari Mana Mulai ?

Mengambil hikmah globalisasi ekonomi versi kolonialisme-imperialisme,  hanya tesis gerakan sosial-kultural alternatif yang bisa menahan globalisasi ekonomi. Maksudnya? Membangkitkan integrasi sosial ASEAN dengan mendorong dan memfasilitasi  kohesi sosial ASEAN  memulai  debut  gerakan sosial kultural “Asean Communities  in  Collaboration”.

Tesis ini tidak relevan dibandingkan dengan fakta keruntuhan adidaya Uni Soviet.  Kasus Uni Soviet tidak relevan untuk menolak integrasi sosial ASEAN.Pertama, meminjam pandangan tokoh ASEAN yang mantan  Perdana Menteri Malaysia,  Mahatir Mohammad – dalam ‘A New Deal for Asia‘- ASEAN memiliki nilai tersendiri,  kendatipun disparitas karakter nilai-nilai dan budaya domestik relatif berbeda. Namun memiliki common values yang kuat : orientasi kepada keluarga.  Kedua, berbeda  dari eks  Uni Soviet yang selalu menjadi contoh rasionalisasi globalisasi,   potensi Negara-negara  ASEAN yang  cenderung demokratis dan tidak otoriter, efektif membantah  tesis runtuhnya Uni Soviet sebagai akibat langsung  globalisasi yang melanda negeri itu.

Karenanya, relevan menyuburkan komunitas masyarakat  ASEAN, dengan mendorong karakter egaliter dan solidaritas warga ASEAN  sebagai bagian konvergensi ASEAN.  Untuk memulai tesis integrasi sosial ASEAN, beberapa gagasan bisa digarap  otoritas  Pemerintah  di ASEAN dan institusi ASEAN.

Pertama, perspektif otoritas ASEAN  bisa bergeser ke wilayah privat dengan memulai pengembangan partisipasi dan menggalang potensi masyarakat sipil ASEAN. Walaupun pengembangan dimensi integrasi sosial masyarakat ASEAN adalah segmen yang belum terjamah secara formal dan sistematis, karena belum menjadi kebijakan formal ASEAN.  Menerbitkan media, sarana, atau komunikasi arus bawah guna kolaborasi sosial masyarakat ASEAN,  sehingga nilai kekeluargaan ASEAN – yang diyakini Mahatir itu – tumbuh sempurna, meluas dan tersistematisir.

Kedua,    tesis integrasi sosial yang sedemikian yang  relevan nilai-nilai (values) ASEAN, sehingga tidak terlalu sulit  mengemas kebijakan formal ASEAN yang menukik bagi kepentingan publik pada tingkat grass root, misalnya dengan   memfasilitasi  kerjasama  ‘people to people’,  sinergi koperatif antara Non Pemerintah dengan Non Pemerintah pada level dan kawasan ASEAN, ataupun antara Non Pemerintah dengan Pemerintah ASEAN – pada berbagai isu utama di ASEAN.  Langkah sederhana bisa dimulai dengan mendorong dan memfasilitasi  aliansi NGO ASEAN, misalnya untuk mempererat solidaritas buruh migran, menantang ilegal logging,  menantang perdagangan manusia, pencemaran lingkungan hidup dan pembakaran hutan.

Ketiga, otoritas ASEAN mulai melibatkan partisipasi masyarakat sipil ASEAN dalam mekanisme formal perumusan kebijakan ASEAN. Kedudukannya sebagai mitra non pemerintah bagi ASEAN, yang berperan menjadi kontributor bagi perumusan kebijakan ASEAN. Artinya, ASEAN memperluas mitra kolaborasinya bukan saja antara ASEAN dengan mitra non-ASEAN, namun antara ASEAN dengan mitra non govermental organization (NGO) ASEAN dan NON non ASEAN.

Keempat, mengembangkan pemberdayaan masyarakat sipil ASEAN yang menarik mitra kolaborasi  NGO ASEAN dengan skema “ASEAN Aid” dalam kerangka kerjasama badan-badan ASEAN. Termasuk mengagas  pembentukan “ASEAN Children’s Fund”,  ataupun “ASEAN Board on Education”.

Dengan argumentasi itu,  sudah saatnya ASEAN  membuka katub  partisipasi publik yang selama ini masih dinilai formal-elitis dalam mengambil dan mempertimbangkan kebijakan.  Apabila gerakan ini bisa efektif, maka diharapkan memberi kontribusi memperkuat justifikasi sosiologis otoritas formal ASEAN dan negara-negara ASEAN. Sudah saatnya mulai membangun konvensi ASEAN yang produktif mendorong integrasi sosial dalam konteks mendukung integrasi ekonomi di kawasan ASEAN.

*) pernah dimuat pada harian Republika.

Leave a Reply