Intercountry Adoption : Kasus dan Implikasi Hukum

BERBAGAI ISU, BERBAGAI KASUS

Masih ingat heboh adopsi anak pasca tsunami Aceh? Atau kasus  praktik bidan sekaligus yang menjualbelikan bayi di Bekasi? Atau beberapa selebriti yang sembarangan dalam mengasuh dan mengangkat anak?

Adopsi anak bukan hal sederhana, dan bukan soal kepedualian sosial saja. Namun, yang lebih penting, adopsi anak adalah masalah hukum. Bahkan ketat dengan kepatuhan hukum.

Pengangkatan anak atau adopsi  anak secara yuridis formal merupakan perbuatan hukum yang mengubah atau mengalihkan hak dan status legal seorang anak, dari lingkungan kekuasaan orangtua  biologisnya atau wali yang sah, atau oranglain yang bertanggungjawab kepada lingkungan keluarga orangtua angkatnya dengan putusa atau penetapan pengadilan.

Adopsi anak  karenanya adalah masalah hak dan  legal status seorang sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, proses dan materi hukum adopsi anak diatur dalam materi UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam UU Nomor 23/2002,  adopsi anak diberikan persyaratan yang eksplisit, dan perintah membentuk Peraturan Pemerintah mengenai tatacara pengawasannya.
Oleh karena itu, adopsi anak, sangat ketat dalam (1) kepatuhan hukum atas syarat/ketentuan  normatif adopsi anak, dan (2) konsistensi dalam proses tata cara penyelenggaraannya.

SEKILAS NORMA HUKUM

Dengan disahkannya UU No 23/2002, maka terlahirlah norma hukum (legal norm) baru yang mengikat – termasuk dalam  hal anak-anak yang diadopsi.  Secara normatif, dalam UU No. 23/2002  mengatur tentang :

  1. UU No 23/2002 Pasal 39 dan 40  (mengatur  tentang syarat, kriteria dan prosedur adopsi).
  2. UU No. 23/2002 Pasal 41 (mengatur kewajiban/tanggungjawab Pemerintah i.c. Dep. Sosial melakukan bimbingan (counselling); pengawasan (supervision, controlling) atas adopsi anak;
  3. UU No. 23/2002 Pasal 41 ayat (2)  memerintahkan pembuatan  Peraturan Pemerintah (PP)  pengasuhan dan pengangkatan anak.

Selanjutnya saat ini sudah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Ketentuan PP No.  54/2007 ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan pasal 39 s/d pasal 41 UU No 23/2002.   Dalam PP No 54/2007 diatur mengenai berbagai hal :

a)    Ketentuan Umum termasuk prinsip  pengangkatan anak yang dilakukan dengan prinsip:
(1)  seagama antara anak dengan orangtua angkat (Pasal 3);
(2)  dilakukan untuk kepentigan terbaik bagi anak (Pasal 2);
(3)  tidak memutuskan hubungan darah anak dengan orangtua kandungnya (Pasal 4);
(4)  pengangkatan anak intercountry hanya uaya terakhir (Pasal 5), dan;
(5)  Kewajiban  memberitahukan asal usul anak (Pasal 6).

b)    Jenis Pengangkaan anak, yakni domestik dan antar Negara (Pasal 7 s/d pasal 11);
c)    Syarat-syarat engangkatan Anak (pasal 12 s/d pasal  18);
d)    Tatacara Pengangkatan Anak (Pasal 19 s/d Pasal 25);
e)    Bimbingan dalam Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Pasal  26 s/d Pasal 31);
f)     Pengawasan Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Pasal 32 s/d Pasal 38).
g)    Pelaporan (Pasal 39 s/d pasal 42)

ANALISIS MASALAH HUKUM ADOPSI ANAK

Masalah yuridis sekaitan dengan adopsi anak (lokal ataupun intercountry), sangat kompleks,  dan dalam beberapa sisi prosesnya rawan bagi adanya penyeludupan hukum.

Disamping itu, isu adopsi anak yang rawan penyeludupan hukum ini    menjadi isu hukum yang terkait dengan dinamika  kejahatan transional  misalnya perdagangan anak (child trafficking), penjualan anak (sale of children), illegal transplantasi organ anak (transfer organ), eksploitasi seksual komersial (ESKA).

Pergeseran atau delegasi kewenangan pemerintahan dalam urusan kesejahteraan sosial ditenga  dinamika otonomi  daerah, khususnya kebijakan pelayanan sosial anak, di dalam prakteknya telah menimbulkan:

1)    Inkonsistensi kebijakan/hukum adopsi anak (misalnya ada putusan PN mengesahkan adopsi intercountry tanpa perijinan Menteri Sosial);

2)    Kekosongan hukum (tidak ada peraturan lokal di daerah), dimana petugas Dinas Sosial mengesampaingkan atau tidak menerapkan   Kepmensos No. 13/HUK/1993 Jo. No. 2/HUK/1995; dan SEMA No. 6/1983;

3)    Proses adopsi intercountry yang dilakukan secara melawan hukum (KHA, UU No. 23/2002, dll.).

4)    Saat ini, dengan adanya  norma hukum   baru, yakni Pasal 39 dan Pasal 40 UU No. 23/2002,  yang berbeda dengan norma sebelumnya. Karenanya perlu amandemen atau penyesuaian Kepmensos No. 13/HUK/1993 Jo. No. 2/HUK/1995; dan SEMA No. 6/1983.

Beberapa Isu Hukum

Dalam adopsi anak, khususnya dalam intercountry adoption, beberapa isu hukum – yang ditemukan dan dielaborasi dalam praktek adopsi anak – muncul beberapa isu hukum yang krusial antara lain:

1.    Masalah hukum  mengenai proses adopsi anak yang tidak menggunakan ijin Menteri Sosial, namun hanya mengajukan pemohonan Penetapan kepada Pengadilan, atau menggunakan proses “sungsang” (ijin diperoleh/diajukan setelah Penetapan Pengadilan);

1.    Masalah hukum mengenai  kekosongan hukum (rechts vacuum) dalam persyaratan dan tatacara memperoleh ijin Menteri Sosial untuk adopsi anak;

1.    Masalah hukum mengenai  kepatuhan atas seluruh surat-surat atau dokumen  administrative adopsi anak;

1.    Masalah hukum atas kepatuhan  kronologis proses permohonan dan pengasuhan fisik terhadap anak adopsi;

1.    Masalah hukum  mengenai pelaksanaan permohonan adopsi oleh yayasan atau lembaga tidak berwenang;

Refleksi Kasus-kasus Intercountry Adoption

Dalam pengalaman  sebagai aktifis hak anak, advokat maupun anggota Tim Pertimbangan Ijin Pengangkatan Anak (Tim PIPA) pada Departemen Sosial RI, secara pribadi penulis memiliki beberapa refleksi berikut ini.

1.    Dalam ketentuannya,  langkah hukum untuk adopsi anak intercountry adoption secara berurutan terdiri atas dua tahap, yakni :
a.    Memperoleh Ijin Menteri Sosial, dan
b.    Penetapan Pengadilan negeri berkompeten;
Namun, dalam banyak kasus, Penetapan Pengadilan diajukan oleh pemohon tanpa dilengkapai dengan Ijin Meneteri Sosial. Dalam kasus tertentu, permohonan Ijin Menteri Sosial diajukan setelah memperoleh Penetapan Pengadilan Negeri. Konsekwensinya, secara yuridis adalah cacat hukum, dan dapat dimintakan pembatalannya.

Dalam prakteknya, beberapa Negara seperti Amerika Serikat tidak mengijinkan pemberian visa masuk ke Amerika Serikat apabila tanpa adanya Ijin Menteri Sosial, kendatipun sudah adanya Penetapan Pengadilan.

2.    Dalam kasus tertentu, permohonan Ijin Menteri Sosial, tidak dilengkapi dengan dokumen sebagai orang asing yang menetap dalam waktu lama, seperti tidak adanya KITAS. Padahal, de facto, calon orangtua angkat (pemohon) sudah tinggal di Indonesia lebih dari syarat yang ditentukan. Apakah tidak adanya KITAS dapat menghalangi permohonan Ijin Adopsi?.

3.    Dokumen yang disiapkan  di negeri asal pemohon, tidak dilegalisasi Kedutaan Besar, kendatipun sudah dilegalisasi otoritas setempat, seperti Notaris – di Indonesia.

4.    Dalam banyak kasus, pemohon calon orangtua angkat (COTA) dalam keadaan:

a.    COTA sudah mengasuh anak lebih dulu sebelum mengajukan permohonan kepada Menteri Sosial karena seakan dilakukan secara “private adoption”, atau ;

b.    COTA mengajukan tidak melalui Yayasan adopsi yang memiliki Ijin Menteri Sosial, sehingga mesti menggunakan “jasa” lembaga/yayasan berijin.  Karenanya, kronologi prosesnya menjadi “sungsang” antara pengasuhan  anak dan pengajuan permohonan adopsi.  Implikasi hukum menjadi luas dan kompleks, apabila ijin Menteri Sosial tidak diberikan dalam hal syarat tidak terpenuhi, misalnya tidak seagama, atau sudah memiliki anak, dan syarat-syarat lain. Sementara itu, secara sosial-ekonomi, orangtua biologis sudah tidak sanggup dan tidak berkenan lagi, sebaliknya secara piskologis anak sudah dekat dan memiliki ikatan batin dengan COTA.

5.    Dalam kasus tertentu, COTA sudah mengubah nama dan identitas anak dengan nama barunya. Hal ini memliki implikasi hukum, karena belum ada perubahan status hukum anak tersebut. Apalagi, bisa berbenturan dengan ranjau-ranjau hukum pemalsuan identitas anak;

6.    Dalam kasus tertentu, adakalanya COTA  beristrikan perempuan WNI yang tinggal di Indonesia atau di luar negeri. Apakah masuk ke dalamintercontry adoption? Atau COTA, beristrikan perempuan eks WNI (lahir dan tinggal cukup lama di Indonesia dan memiliki kerabat di Indonesia), namun sudah menjadi WNI.

7.    Dalam kasus tertentu, COTA sebelumnya (dalam waktu yang cukup lama) pernah tinggal di Indonesia, namun pada saat memohonkan adopsi tidak lagi bertempat tinggal di Indonesia.

8.    Dalam kasus tertentu, anak berasal dari Yayasan yang tidak memiliki ijin (de facto menyerahkan langsung kepada COTA), namun menggunakan jalur yayasan berijin. Sehingga  terkesan hanya untuk menjustifikasi proses adopsinya saja.

9.    Permohonan ke Pengadilan diajukan tidak langsung, tetapi melalui yayasan atau lembaga tidak berwenang.  Padahal, wewenang yayasan atau lembaga bukan termasuk dalam litigasi permohonan adopsi anak di Pengadilan. Hal ini untuk menghindari CONFLICT OF INTEREST dalam proses dan tatacara adopsi anak.  Adakalanya, yayasan atau lembaga pengangkatan anak, memasuki wilayah proses litigasi untuk memperoleh penetapan Pengadilan. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 18/2003 tentang Advokat.

Rekomendasi  Pengembangan Kebijakan

1. Re-regulasi Adopsi Anak

Oleh karena norma hukum dalam pasal 39 dan Pasal 40 UU No 23/ 2002 adalah norma hukum   baru (new norm), maka   Pemerintah mesti melakukan revisi terhadap syarat, kriteria, tatacara, dan prosedural adopsi anak, sesuai  Pasal 39-40 UU No. 23/2002, termasuk  misalnya isu yang “debatable” mengenai  adopsi anak harus seagama   (vide Pasal 39 ayat 3); dan perihal adanya norma  wajib memberitahuan asal usul anak (vide Pasal 40 ayat 1).

Dalam hal adopsi antar Negara (intercountry adoption),  perlu didorong kebijakan “one system on intercountry adoption”, yakni hanya melalui persetujuan (SK) dikeluarkan Menteri Sosial. Dengan kata lain,  dalam hal menentukan status hukum anak adalah wewenang yang tidak diserahkan (otonomisasi),   maka perlu dikukuhkan kembali  “sentralisasi perijinan” dalam adopsi anak  intercountry.

Namun, dalam pelaksanaan wewenang tersebut, termasuk  penyediaan dan pemeriksaan atas syarat-syarat dari pengangkatan anak, dapat  dilaksanakan dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah tertentu – yang khusus menanganai intercountry adoption.

Dalam pengalaman penulis sebagai anggota Tim PIPA Departemen Sosial, dalam berbagai kelemahan teknis dan adminsitratif serta kompetensi dalam mempersiapkan berkas adopsi anak mengakibatkan lambannya penanganan adopsi anak antar Negara.

Oleh karena itu, perlu diadvokasi adanya pemisahan peran (splitsing) berdasarkan keahlian/kompetensi kelembagaan, yakni:

(1) Proses dan prosedur pengurusan ijin (SK) Mensos, diajukan oleh Yayasan Sosial (registered, dan kompeten);

(2) Proses dan prosedur pasca SK, yakni permohonan penetapan Pengadilan Negeri oleh Asosiasi Hukum Perlindungan Hak Anak (registered, kompeten).

Selain memperkuat prosedur standar  di dalam pemberijian ijin adopsi anak, maka sejalan dengan amanat UU No 23/2002 Pasal 41, dengan cara:

(1)   Mengembangkan mekanisme bimbingan  masyarakat dan calon orangtua angkat (pra dan pasca adopsi).

(2)   Mengembangkan mekanisme pengawasan dan sanksi (pasca penetapan adopsi).

(3)   Mengembangkan mekanisme kerjasama (untuk maksud pengawasan) antar negara (atau via kedutaan asing), antar sektor, utamanya sektor/departemen luar negeri, kehakiman, dan badan peradilan.

2. Kedudukan Departemen Sosial dan Badan Pendukung

Pemerintah i.c. Depsos berwenang sebagai lembaga pemberi ijin (licencing body), pembuat peraturan (regulator body) dalam adopsi anak.   Selain itu,   Depsos bertugas sebagai pelaksana dalam bimbingan (conselling), dan controlling, dan bisa mendorong pengawasan publik (semacam adoption watch).
Untuk menjamin hak-hak anak dan pelaksanaan UU No 23/2002, maka Pemerintah perlu bekerjasama dengan lembaga masyarakat dan atau profesi untuk menciptakan proses pengangkatan anak yang credible.   Dalam hal ini perlu didorong kebijakan untuk:

(1) Pemerintah membangun kolaborasi  dengan Yayasan di bidang kesejahteraan anak untuk memastikan lembaga tersebut memiliki kredibilitas dalam pengasuhan dan pengangkatan anak.

(2) Pemerintah mendorong agar yayasan atau lembaga yang mememiliki ijin untuk melakukan pengasuhan dan pengangkatan anak, tidak boleh melakukan litigasi dalam Permohonan Pengangkatan Anak di Pengadilan. Jadi, lembaga tersebut mesti bekerjasama  dengan lembaga litigasi hak anak untuk menangani dari aspek litigasi di Pengadilan.

3. Peningkatan Kapasitas dan Reakreditasi

Untuk efektifitas pelaksanaan Pasal 39 dan 40 UU No 23/2002, dan   memperbaiki prosesdur serta kinerja Pemerintah (sebagai licensing body) pengangkatan anak,  perlu melakukan beberapa hal:

(1) Melakukan peningkatan kapasitas, menilai kepasitas, dan reakreditasi terhadap lembaga-lembaga masyarakat yang sudah mendapatkan ijin dari Menteri Sosial melakukan pengasuhan anak dan pengangkatan anak;

(2) Melakukan akreditasi dan kolaborasi dengan lembaga litigasi/bantuan hukum yang berkompeten (menurut UU No 18/2003 tentang Advokat) dalam memberikan pelayanan hukum pengangkatan anak.

(3) Segera dalam  amandemen  Kepmensos No. 2/HUK/1995, dengan memasukkan penunjukan/akreditasi advokat atau lembaga bantuan hukum anak untuk  intercountry adoption.

SANKSI PIDANA

Adopsi anak selain berdimensi kesejahteraan sosial dan memberikan keluarga alternatif bagi anak, namun juga memiliki aspek hukum dan implikasi hukum, bahkan ancaman sanksi pidana. Karena itu perlu mewaspadai dan kepatuhan prosedur dan syarat serta penyelengaraan adopsi anak. Jika tidak bisa terjebak ke berbagai resiko ancaman sanksi pidana,  baik dalam Pasal 79 UU No. 23/2002, maupun  Pasal 5 dan 6 UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta berbagai ketentuan hukum lainnya.

Berikut ini dikutip ketentuan hukum pidana terkait kejahatan adopsi anak.

Pasal 79 UU No. 23/2002:  “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39  ayat  (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda  paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);

Pasal 5 UU No. 21/2007 berbunyi : “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud unuk dieksploitasi, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama  15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.0000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”;

Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2007 berbunyi sebagai berikut, “Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan ara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama  15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.0000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”;

Penutup

Adopsi anak berbeda dengan isu pelayanan sosial anak lainnya seperti anak jalanan, pendidikan anak, dan atau masalah buruh anak. Adopsi selain berdimensi kesejahteraan sosial dan memberikan keluarga alternatif bagi anak, namun juga memiliki aspek hukum dan implikasi hukum bak perdata maupun pidana.
Dengan demikian kepatuhan prosedural dan syarat serta penyelenggaran adipsi anak perlu ditegakkan, demi melindungi anak-anak Indonesia.

Leave a Reply