“Itu Kejahatan”: Perampasan Kemerdekaan Secara tidak Sah
Siapapun dia, termasuk Hakim, Jaksa dan Polisi, tak sah merampas kemerdekaan tanpa dasar yang sah. Perampasan kemerdekaan, apakah itu penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan wajib dengan perintah yang sah. Jika tidak, perampasan kemerdekaan itu kejahatan dan melanggar HAM. Pertanyaannya, bagaimana jika perampasan kemerdekaan karena kelalaian penegak hukum itu sendiri? Lalai menerbitkan abstrak putusan, atau lalai melepaskan tahanan yang lewat masa penahanan?
Menjelaskan ihwal ini dapat dipinjam tamsil delik penculikan. Apakah penculikan (mengambil seseorang dari kekuasaan orang lain yang sah) merupakan delik? Penculikan apakah merupakan kejahatan. Secara fisik, “perbuatan inti” dari penculikan adalah perampasan kemerdekaan.
Pasal 328 Jo Pasal 330 ayat (1) KUHP melakukan kriminalisasi terhadap penculikan yang dilakukan terhadap anak. Demikian pula Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara eksplisit melakukan kriminalisasi terhadap penculikan anak. Relevan dengan penculikan, Pasal 79 UU Nomor 23 Tahun 2002 memberikan kriminalisasi terhadap pengangkatan anak (adopsi anak) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ringkasnya, perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan secara sah atau dengan dasar legalitas. Sebaliknya, perampasan kemerdekaan anak tidak bisa dilakukan apabila tanpa dasar yang sah atau tanpa legalitas. Oleh karena itu, apabila terjadi perbuatan tidak melakukan suatu perbuatan (omisi) yang mengakibatkan terjadinya perampasan kemerdekaan anak, maka perbuatan tersebuat sama saja dengan penculikan. Perampasan kemerdekaan secara tidak sah atau tanpa legalitas adalah kejahatan yang tepat, objektif, dan adil apabila dikriminalisasi.
Syarat-syarat
Secara yuridis konstitusional Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945 adalah hak konstitusional atas hak asasi manusia (HAM). Dalam semangat dan norma konstitusi, setiap orang adalah bebas merdeka tanpa ada halangan dalam menjalankan kemerdekaan, tentunya sesuai peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, konstitusi menjamin tidak dilakukannya perampasan kemerdekaan setiap orang.
Alih-alih perampasan kemerdekaan (deprived liberty) seperti penangkapan, penahanan ataupun pemenjaraan sewenanag-wenang, lebih daripada itu perbuatan perlindungan kekerasan terhadap anak justru sudah dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan mengacu kepada konstitusi lebih utama lagi Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit menjamin hak konstitusional anak, maka secara yuridis konstitusional Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dimaksudkan melindungi dan mencegah perampasan kebebasan (deprived liberty) sewenang-wenang, apakah itu penangkapan (arrest), penahanan (detention) ataupun pemenjaraan (imprisonment). Perampasan kemerdekaan sewenang-wenang, walaupun untuk masa yang amat pendek sekalipun adalah pencideraan HAM/hak anak.
Dengan dasar Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sudah terang bahwasanya konstitusi menjamin tidak terjadinya perampasan kemerdekaan anak kecuali sesuai dengan hukum. Jika dibandingkan dengan norma Undang-undang yang secara tegas membatasi dan membuat syarat-syarat untuk perampasan kemerdekaan. Oleh karena kemerdekaan adalah HAM, dan perampasan kemerdekaan merupakan pelanggaran HAM (juga pelanggaran hak konstitusi) jika dilakukan secara sewenang-wenang.
Pasal 66 ayat (4) UU HAM dan demikian pula Pasal 16 ayat (3) UU Perlindungan Anak, mensyaratkan perampasan kemerdekaan HANYA dpaat dilakukan apabila (a) “sesuai dengan hukum yang berlaku” dan (b) “hanya data dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Jika mengacu Pasal 66 ayat (4) UU HAM dan Pasal 16 ayat (3) UU Perlindungan Anak, 2 (dua) syarat inilah sebagai titik acuan mencermati apakah suatu perampasan kemerdekaan dilakukan sewenang-wenang atau tidak, apakah perampasan kemerdekaan yang dilakukan secara sah atau tidak sah? Jawabannya sudah jelas bahwa perampasan kemerdekaan tidak dapat dilakukan secara gtidak sah dan tanpa legalitas. Perampasan kemerdekaan yang sedemikian adalah kejahatan.
Lebih dari itu, masalah hukum perampasan kemerdekaan (deprived liberty) merupakan masalah hukum yang universal dan mengikuti asas hukum universal bahwa perampasan kemerdekaan hanya dilakukan dengan syarat-syarat yang pasti.
Sebagai bagian dari bangsa-bangsa beradab Indonesia sudaah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak (KAH) atau UN’s Convention on the Rights of the Child dan karena sudah diikuti dan diratifikasi paling banyak negara anggota PBB sehingga merupakan hukum internasional yang diterima secara universal.
Berdasarkan Pasal 37:B Konvensi hak Anak (KHA), penangkapan (arrest), penahanan (detention) ataupun pemenjaraan (imprisonment) hanya dapat terjadi jika bersesuaian dengan hukum (conformity with the law), upaya terakhir (the last resort) dan untuk jangka waktu paling pendek (for the shortest possible time). Bahkan hanya untuk kasus-kasus yang eksepsional (limited to exceptional cases) saja, jika merujuk United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty.
Jika dibandingkan, Pasal 37:B KHA mengandung 2 (dua) substansi norma yang sama perihal syarat-syarat perampasan kemerdekaan, yakni bersesuaian dengan hukum (conformity with the law), dan upaya terakhir (the last resort).
Lebih maju dari kedua UU tersebut, KHA menambahkan syarat ketiga yakni untuk jangka waktu paling pendek (for the shortest possible time). Larangan perampasan kemerdekaan secara tidak sah atau tidak bersesuaian dengan hukum sebagaimana syarat dalam UU HAM, UU Perlindungan Anak dan berbagai instrumen internasional hak anak seperti KHA. Namun bersesuaian pula dengan ketentuan instrumen HAM lain.
Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dengan UU No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). (tanggal 28 September 1998).
Asas Legalitas
Terhadap suatu tindak pidana atau delik berlaku asas legalitas. Sehingga, asas legalitas juga berlaku dalam persoalan hukum perampasan kemerdekaan. Ringkasnya, hanya dengan asas legalitas saja dapat dilakukan perampasan kemerdekaan. Tanpa legalitas, perampasan kemerdekaan tidak dapat dilakukan. Apalagi perampasan kemerdekaan terhadap anak yang dalam evolusi kapasitas (evolving capacities) yang rentan dan membutuhkan perlindungan khusus sesuai hak konstitusional Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Jika mengacu kepada ajaran asas legalitas yang terdiri atas elemen Lex Scripta, Lex Certa, Non Retroactif, dan Larangan menggunakan konstruksi termasuk analogi. Maka, secara yuridis konstitusional Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang menganut asas legalitas (“…hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut”), maka asas legalitas adalah hak konstiotusional (dan HAM), sekaligus merupakan hak konstitusional “…yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Demikian bunyi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, perampasan kemerdekaan anak tidak dapat dilakukan tanpa adanya legalitas formal atas penangkapan, penahanan, pemidanaan, ataupun pemenjaraan. Dengan demikian, apabila suatu perbuatan melakukan sesuatu (komisi), atau perbuatan tidak melakukan sesuatu (omisi) yang merampas kemerdekaan anak adalah perbuatan yang dilarang, atau tercelakan.
Dalam hukum pidana, suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuataan ketentuan perundang-undangan pidana yang sudah ada [Komariah Emong Sapardjaja, S.H. “Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia”, Alumni, Bandung, 2002, hal. 5.].
Dengan adagium “nullum delictum noella poena pravia sine lege poenali”, yang bermaksud bahwa undang-undang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana mana yang dijatuhkan kepada pelakunya.
Hamel (1927) dan Noyon-Langemeyer, menyatakan bahwa straf baar feit sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidanakan dengan kesalahan. [Martiman Prodjohamidjojo, “Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2”, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996, h. 15].