Kabar Baik dari MK: Kolegium Kedokteran Diakui dan Otentik, Ditjen AHU Dibantah IDI, Siapa Terjungkal?

by: Muhammad Joni

Kabar baik  dinanti pasien dari dokter. Di tengah represifisme rezim regulasi kesehatan, datang  kabar baik ikhwal Kolegium Kedokteran. Kabar yang perlu diedarkan ke publik, walau bukan surat edaran. Kabar baik otentik itu datang, tak perlu bersabar 5 tahun lagi.  Mahkamah Konstitusi  (MK), Selasa, 5 Nopember 2024, menyidangkan perkara pengujian materil Nomor 111/PUU-XXII/2024. Itu perkara mempertahankan Kolegium Kedokteran, Pemohonnya  Prof.Dr.Djohansjah Marzoeki, Sp.B.,Sp.BP RE, sendirian saja, walau dalam  basis pikirannya yang teguh.

Walau pakar bedah plastik rekonstruksi estetik itu masih terafiliasi Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi Estetik yang sudah berdiri sejak proklamasinya tahun 1980,   mengikuti Kolegium Ilmu Bedah (1955) yang pertama berdiri, setelahnya Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia (1963), jauh sebelum UU Praktik Kedokteran (2004), UU Kesehatan (2023), sebelum hari Kesehatan Nasional (1964), sebelum ada bank man…. (1998), pun Ditjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham.

Pembuat Undang-undang kudu mengerti dalil hukum ini, tersebab  Kolegium Kedokteran berdiri dan menjadi kenyataan hukum atau living law, lantas diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan UU Praktik Kedokteran (2004), maka tak ada dalil legal dan hak historis menghilangkan  legitimasi Kolegium eksisting yang berdiri jauh sebelum UU Praktik Kedokteran (2004), UU Kesehatan (2009), bahkan omnibus UU Kesehatan (2023).

Usah diragukan legal standingnya kokoh, perannya pada ilmu kedokteran terbukti puguh, karena Kolegium mengampu ilmu kedokteran dengan tulus tanpa subsidi negara ataupun utang bank dunia. Negara berutang jasa kepada Kolegium Kedokteran. Kolegium independen dan otentik mustinya disanyang, bukan dihilangkan.  Prof. Djo yang pendiri dan masih Dewan Penasihat/ Pertimbangan Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia tahun 2023 sampai  saat ini adalah Ksatria Airlangga yang melakukan  ikhtiar “quick win” yang konstitusional dan mulia: mengembalikan legitimasi Kolegium yang terampas ke forum MK. Prof. Djo yang berusia lebih dari umur Proklamasi 1945. Kesatria Ilmu Kedokteran  itu  mengajak  eksponen  Kolegium aseli  bersinergi, dan tabah serta ambil tindakan “CITO”. Prof. Djo memberi teladan, dia langsung turun gelanggang. Prof. Djo pun  lugas mengemakan  langkah “non koperatif” pada kolegium yang bukan Kolegium, dengan caranya  bergiat aktif-positif mempertahankan “proklamasi” Kolegium yang  semenjak berdiri dijamin konstitusi dan diakui NKRI. Lebih dari sekadar kritik-diagnostik. Dia mencontohkan judicial activism demi memulai operasi rekonstrusi estetik regulasi kesehatan yang menjadi kepakarannya.

Terbang dari kota Surabaya setiap jadwal sidang, Prof. Djo yang pakar bedah plastik rekonstruksi estetik dari FK UNAIR itu menguji dua jenis norma: eksistensi dan independensi Kolegium, dan norma etika dan disiplin profesi. Mengapa? Karena UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) membuat norma yang mencabut eksistensi  legal-formal Kolegium tanpa sekerat alasan, tanpa sepotong-pun amar putusan pengadilan. Prof. Djo percaya dengan etika dan disiplin profesi dalam menjaga integritas  sebagai ilmuwan kedokteran pun profesional kedokteran.

Kembali ke sidang MK. Tatkala  memimpin sidang mendengarkan keterangan DPR, Ketua MK Suhartoyo  mengedarkan kabar baik. MK menerima  dua (2) Kolegium (Kolegium Akupuntur Medik Indonesia, dan Kolegium Bedah Saraf Indonesia). Keduanya masuk ke dalam perkara. Diakui sebagai Pihak Terkait di forum sidang MK yang mulia.

Kenyataan hukum itu adalah pengakuan atas  eksistensi, legalitas dan legitimasi Kolegium Kedokteran. Secara yuridis formal dan bahkan yuridis konstitusional mempunya kedudukan hukum (legal standing) di muka MK. Namun, menurut saya eksistensi legal dan pengakuan Kolegium  itu otentik karena  sudah diterima  tembus lebih jauh lagi sebelum UU Praktik Kedokteran (2004), bahkan sebelum ada UU Kesehatan (2009) yang digantikan UU Kesehatan (2023) yang hanya perkakas justifikasi legal formal antara saja.

Mengapa penerimaan Kolegium sebagai Pihak Terkait itu penting? Berikut ini 3 (tiga) alasannya:

Pertama,  dengan menyisipkan Pasal 451  UU Kesehatan, Pemerintah tidak mengakui Kolegium yang sudah ada.  Pasal 451 itu menjadi kausal tak diakuinya Kolegium pada organisasi profesi. Organisasi profesi tetap eksis.  Ada 38 Kolegium pada organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang terdampak langsung. Karena mengalami kerugian, baik nyata, yuridis formal maupun yuridis konstitusional atas eksistensi, legitimasi dan fungsi Kolegium yang academi body profesi. Ironis, 38 Kolegium Kedokteran itu terancam hak hidupnya. Belum kagi Kolegium dalam/pada profesi dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, dan lebih banyak lagi.

Tak berlebihan, fakta ironis  otoriterianisme norma Pasal 451 itu berubah menjadi tragedi, tak berlebihan menyebutnya “genoside” Kolegium, mematikan nyala api tunggu ilmu kedokteran, karena menurut Putusan MK Nomor 10/PUU-XVII/2017, Kolegium adalah academic body profesi, yang berjasa mengampu ilmu tanpa dibayar namun dicabut paksa legitimasinya. Apapun alasannya,  mematikan instiusi, legitimasi, dan fungsi pengampu ilmu itu tidak sehat.

Padahal Kolegium Kedokteran itu sehat wal afiat mengedarkan ilmu kedokteran berbasis Kaidah Ilmiah. Prof. Djo yang mengak punya hoby berpikir itu seperti olahraga baginya. Dia berpandangan teguh bahwa: ”Ilmu kedokteran  itu mengenai benar dan salah. Bukan baik atau buruk”.  ”Dalam ilmu, benar tidak identik dengan baik. Dan salah tidak sama dengan jelek”. bahwa: “10 + 5 = 15. Itu benar. Bukan baik. Tapi 10 – 3 = 9, itu salah. Bukan jelek”. Menurut Prof. Djohansjah Marzoeki, Kaidah Ilmiah memilik 4 unsur: rasional; kebenaran  ilmiah berbasis bukti (Evidance Base Medicine/EBM),  mandiri; dan tanpa conflict of interest.

Kedua, tergopoh menindaklanjuti Pasal 451 UU Kesehatan yang tengah diuji di MK, Menteri Kesehatan berlompa waktu membentuk dan mengangkat Kolegium baru –yang tidak independen walau dilabel indepnden karena menjadi nyata-nyata dinormakan  Kolegium itu alat kelengkapan Konsil.

Mengapa? Karena kolegium seakan Kolegium yang dibentuk dadakan itu dalam kendali penuh Menteri Kesehatan. Buktinya? Dengan wewenang dari PP Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 707 ayat (1) dan (2), Menteri Kesehatan  bisa mengutak atik, mengubah beleids kolegium. Ajaib,  kini kolegium hanya alat kelengkapan  Menteri Kesehatan. Ketentuan hukum yang tipikal represif dan otoriterian itu turuna dari  jargon yang diusung: ‘Goverment to Govern’, padahal beleids pemerintah tunduk pada hukum dan konsitusi, bahkan etika bernegara.

Ketiga, terbitnya surat Ditjen AHU Kemenkumham Nomor: AHU-AH.01.252 tanggal 30 Oktober 2024, dengan kop surat Kemenkumham. Jangan baca langsung isinya.  Periksa dari kop surat saja sudah ajaib, karena  Kemenkumham menjadi Kementerian Hukum sejak 21 Oktober 2024. Surat Ditjen AHU yang diteken Direktur Jenderal AHU itu, meminta agar Kolegium dikeluarkan dari Perhimpunan organisasi profesi dalam tenggat waktu 14 hari dengan ancaman pemblokiran.

Atas surat Ditjen AHU itu, sontak PB IDI membuat surat menguji keabsahan  surat itu  kepada Menteri Hukum. PB IDI menangkis substansi Surat  Ditjen AHU itu. Ramai sokongan tokoh kedokteran menyoal tendensi surat Ditjen AHU dan berseru  melangkah secara hukum. Menteri Hukum kudu menjawab tuntas, dan menindak yang salah: maladministrasi. Siapakah yang terjungkal?

Dengan 3 keadaan itu maka penerimaan dan pengakuan 2 Kolegium Kedokteran sebagai Pihak Terkait, itu kabar baik yang memiliki arti penting. Itu adalah tonikum pengakuan eksistensi, keabsahan dan  legitimasi Kolegium eksisting.

Hemat saya, hal ini fakta hukum beralasan diedarkan sebagai pembelajaran, dan sebagai menyokong kesejawatan.  Dari penerimaan MK atas Pihak Terkait Kolegium, maka  Kolegium Kedokteran  eksisting adalah sah wal absah. Pun, menjadi bukti Kolegium memiliki hak hukum (legal rights) secara kelembagaan  bertindak di hadapan hukum pun di forum sidang MK. Pengakuan itu tidak bisa diabaikan, karena mengakui  hak-hak kelembagaannya oleh hukum dan konstitusi, apalagi hanya surat Ditjen AHU yang terkesan gegabah hendak menjungkalkan Kolegium bukan hanya dari aturan formal (yang represif) namun dari panggung sejarah (yang otentik).

Bahkan Kolegium Kedokteran yang sah wal absah tak bisa dinihilkan Ditjen AHU yang entah dibawah Kemenkumham atau Kementerian  Hukum.  Tak ada alasan hukum mengeluarkan  paksa dari Kolegium eksisting dari Perhimpunan Kedokteran yang juga sah dan konstitusional. Sah menurut hukum oleh pemerintah dan organisasi profesi, begitu ditegaskan Ketua Umum PB IDI menulis suratnya kepada Menteri Hukum.

Karena itu, surat dari Ditjen AHU Kemenkumham, tanggal 30 Oktober 2024  adalah tidak berdasar. Yang patut diduga kuat perbuatan sewenang-wenang, dan perbuatan melawan hukum. Justru, penerimaan dan pengakuan MK itu pada Kolegium adalah menyalakan eksistensi Kolegium. Kolegium yang takkan terjungkal dengan elan perjuangan. Kabar baik selalu datang bagi orang berintegritas dalam ilmu yang berbuat kebaikan. Demi menyehatkan kesehatan Indonesia.  Siapa bakal terjungkal? Tabik.

(Muhammad Joni, SH.MH, advokat, kuasa hukum Prof.Dr. Djohansjah Marzoeki, Sp.B., Sp.BP_RE).

Leave a Reply