Kehilangan Objek, MK Memutuskan dan (Tak) Mengadili Perpu

Masih ingat polemik kencang hal ihwal darurat memaksa Mahkamah Konstitusi (MK)?  Ini kelanjutan kisahnya.  Di tengah pro-kontra  kadar darurat memaksa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) soal MK,  dan pro-kontra ihwal kewenangan MK menguji Perpu mengenai lembaga MK sendiri, sebagian pegiat konstitusi mengambil pilihan solusi ke jalur mahkamah. Pilihan  paling diterima akal dan dibenarkan hukum.

Walau analisa dan penjelasannya bisa panjang-lebar dan bersisi jamak,  teori dan argumentasi akademis segudang bisa dikunyah dan dicernakan, namun inilah bagian dari akhir episode  polemik konstitusional status, alasan dan keberadaan Perpu.

Pelajaran apa hendak diraih? Kemajuan ilmu apa hendak digiat-giatkan? Kelakuan kritis apa hendah ditunjukkan? Setidaknya, inilah  ihtiar  santun guna mendewasakan kesadaran berkonstitusi dan (tentu!) menyumbang kepastian hukum konstitusi di negara hukum Indonesia.

Jelang petang, Kamis, 30 Januari 2014, sekitar jam 15.30 WIB saya menghadiri undangan MK membacakan putusan uji materil Perpu MK. Laman website mahkamahkonstitusi.go.id mengumumkan agenda sidang pembacaan putusan ihwal  pengujian  Perpu Nomor 1/2013. Empat putusan serupa.

Sejarahnya, Perpu Nomor 1 /2013 itu terbit menyusul heboh tertangkapnya Akil Mukhtar.  Mengapa Presiden menerbitkan Perpu?  “…untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik …”, demikian bunyi konsideran Perpu itu.  Adakah pertemaliannya dengan partai politik? Kua normatif, Perpu hendak menetralisir efek pertemalian  politik  itu.   Keterlibatan anggota partai politik  dikurangi agar tak terlalu leluasa memasuki wilayah profesional jabatan  Hakim Konstitusi.  Disyaratkan, hakim Konstitusi  bukan lagi anggota partai politik selama 7 (tujuh) tahun setelah mundur dari parpol. Demikian bunyi Pasal 15 ayat (2) Perpu.

Soalnya tidak sebatas  kedua norma itu, karena  ada 11 norma lain  diajukan pegiat konstitusi yang bergabung dalam masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya ke MK. Tercatat resmi dalam register perkara Nomor 94/PUU-XI/2013.

Kehilangan atau Metamorfosa Objek

Pas jam 16.00 WIB, sidang dimulai. Ketuk pembukaan sidang dijatuhkan Ketua MK Hamdan Zoelva yang meminpin para “jubah merah”,  dihadiri lengkap dengan 7  Hakim Konstitusi lain. Di barisan penjaga konstitusi  “jubah merah” itu tampak pula  Patrialis Akbar dan Maria Farida yang pengangkatannya masih tersangkut gugatan tata usaha negara.

Di barisan pemohon tepat di depan Ketua MK, beberapa pegiat MKI hadir sebagian:   Muhammad Joni, Fakhrurrozi, Zulhaina Tanamas, Triono Priyo Santoso dan Baginda Dipamora Siregar.   Hadir juga dari jajaran Kementerian Hukum dan HAM, dan  DPR. Hampir satu setengah  jam  para Hakim Konstitusi bergantian membaca 4 putusan ihwal Perpu yang sudah diperkirakan hasil akhirnya paska DPR menerima Perpu.  Menjadi Undang-undang.  Suasana lengang dan tenang tanpa usik yang berarti. Polemik telah usai, perkara  Perpu sudah berhenti.

Siang itu ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tak terlalu ramai. Berbeda dengan polemik dan debat sebelum Perpu diterbitkan. Tak seramai dan seriuh pemungutan suara setakat  sidang paripurna DPR menerima Perpu, 19 Desember 2013 lalu.  Dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Pramono Anung Wibowo,   voting terpaksa ditempuh karena  4 (empat) fraksi:  PDIP, Partai Hanura, Partai Gerindra dan PKS menolak memberikan persetujuan  Perpu MK itu ditetapkan menjadi Undang-Undang. Seterunya,  4 (empat) fraksi lain:  Partai Demokrat, Golkar, PAN, dan PKB bisa menyetujui penetapan Perpu MK menjadi Undang-Undang. Adapun Fraksi PPP tidak memberikan kesimpulan yang jelas.

Sangat kentara, itu sebuah keputusan politik. Sudah biasanya, keputusan parlemen kerap dicap sebagai keputusan berdasarkan kepentingan!   Bukan tak beralasan pikiran sedemikian. “DPR menyetujui (Perpu), itupun lewat voting dan sifatnya politis, tidak diuji secara akademis”, tutur Fakhrurrozi, salah seorang pegiat MKI yang menguji Perpu MK.

Ihwal Perpu MK, ada 4 perkara yang diajukan pihak berbeda, walau utamanya kaum advokat. MKI menguji itu dengan mempersoalkan konstitusionalitas 13 norma Perpu. Paling banyak diajukan dibanding  dengan  3 pemohon lain.

Walau tenang dan lengang,  kami tetap khusuk mendengar apa bunyi pertimbangan dan amar putusan MK.  Hasilnya?  MK memutuskan permohonan tidak diterima. Dalam pertimbangannya, Perpu Nomor 1/2013 telah disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 sehingga permohonan aquo kehilangan objek. Demikian pertimbangan MK, pertimbangan tunggal. Walau sebenarnya tidak hilang, objek permohonan sudah bermetamorfosa menjadi norma UU Nomor 4 tahun 2014. Bukan norma Perpu lagi.

Sebelumnya, MK mempertimbangkan lebih dahulu kewenangannya menguji Perpu. Itu bagian  paling penting bagi MKI. Apakah menyetujui dalil MKI atau mengamini pendapat  yang dikumandangkan pakar hukum tata negara ternama.   Menurut dalil MKI, sudah ada preseden MK mempunyai wewenang memeriksa dan mengadili Perpu. Selain mendalilkan bahwa MK pernah memeriksa dan mengadili Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dengan perkara register Nomor 138/PUU-VII/2009.  MKI mendalilkan pula,  jenis dan hirarkhi Perpu idemditto dengan Undang-undang. Hal itu eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c UU Nomor 12 Tahun 2011.

DALIL MKI JELAS DAN NORMATIF, BUKAN SUBYEKTIF-AKADEMIS. DALIL YANG MENGACU PRESEDEN PUTUSAN MK DAN PASAL 7 AYAT (1) HURUF C UU NOMOR 12 TAHUN 2011.  ALASAN YANG PENTING. MENGAPA PENTING?   MENURUT PAKAR HUKUM TATA NEGARA PROF. YUSRIL IHZA MAHENDRA (YIM). “MK TIDAK BERWENANG MENGUJI PERPU! UUD 45 SECARA TEGAS MEMBEDAKAN BENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ANTARA UNDANG-UNDANG (UU) DENGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU). WALAUPUN SECARA SUBSTANSIAL PERPU BERKEDUDUKAN SETARA DENGAN UU, NAMUN DARI SUDUT PROSES PEMBENTUKANNYA, TERDAPAT PERBEDAAN ANTARA KEDUANYA”, TULIS YIM PADA DINDING FACEBOOK-NYA.

INILAH URGENSI MKI MENGUJI PERPU MK.  DISAMPING ITU UNTUK MENANGKIS KEKUATIRAN SEBAGIAN ORANG, APAKAH MK JUJUR MENGADILI NORMA MENGENAI DIRINYA SENDIRI? WALAUPUN MK SUDAH PERNAH MENGADILI PASAL 50 UU MK DAN NORMA HUKUM MENGENAI KEWENANGANNYA MENGUJI NORMA ULTRA PETITA.  MK TETAP MEMILIKI KEWENANGAN MEMUTUS PERKARA WALAU  MELEBIHI YANG DIMOHONKAN PEMOHON ALIAS ULTRA PETITA. DEMIKIAN SALAH SATU PUTUSAN MK  DALAM SIDANG UJI MATERI UU  NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.  DEMIKIAN YURISPRUDENSI YANG DILAHIRKAN  DARI PUTUSAN MK.   WALAU ADA YANG BERPENDAPAT, MESTINYA MK MENOLAK MENGADILI ITU DENGAN MEMPERTIMBANGKAN PRINSIP UNIVERSAL  NEMO JUDEX IN CAUSA SUA, ATAU HAKIM TIDAK MENGADILI HAL-HAL YANG TERKAIT DENGAN DIRINYA SENDIRI. LANTAS, SIAPA DAN BAGAIMANA MENGADILI NORMA MK SENDIRI? JIKA BUKAN MK, MAKA TERBITLAH KEKOSONGAN HUKUM YANG TIDAK BOLEH TERJADI, DEMI KEPASTIAN KONSTITUSIONALITAS NORMA.
KEMBALI KE SOAL MK MEMUTUSKAN PERPU.   DENGAN TERBITNYA EMPAT PUTUSAN MK  ATAS UJI MATERIL PERPU, MAKA MK KONSISTEN DENGAN PUTUSAN SEBELUMNYA, DAN MEMBUAT YURISPRUDENSI TETAP BAHWA: “MK BERWENANG MENGUJI PERPU”. ALASANNYA DENGAN MENGAMBIL ALIH ALASAN SEPERTI PUTUSAN PERKARA  NOMOR 138/PUU-VII/2009. KELOP SEPERTI DALIL MKI.

SOAL LAIN, KARENA MK MENILAI PERMOHONAN MKI KEHILANGAN OBJEK, MAKA MK TIDAK MENGUJI MATERI ALIAS POKOK PERMOHONAN LAGI.  OBJEKNYA SUDAH HILANG.   ALASAN YANG SESUAI HUKUM ACARA, DAN BISA DITERIMA.  NAMUN, PUTUSAN MK ITU TIDAK MENGHAMBAT-HAMBAT  ALASAN  MENGUJI KONSTITUSIONALITAS NORMA PERPU YANG KINI SUDAH MENJADI UU NOMOR 4 TAHUN 2014.  KARENA BELUM ADACONSTITUSIONAL REVIEW ATAS NORMA PERPU SEKARANG UU NOMOR 4 TAHUN 2014 ITU, NORMA ITU TERBUKA DIUJI LAGI. TENTU HAL ITU BUKAN  NEBIS IN IDEM.

KARENA ADANYA KEKOSONGAN JAWABAN DARI PUTUSAN MK, YANG BELUM MENJAWAB  KEKUATIRAN KONSTITUSIONAL MKI APAKAH NORMA-NORMA UU NOMOR 4 TAHUN 2014 ITU KONSTITUSIONAL ATAU TIDAK?   BAGAIMANAPUN, KEKOSONGAN ITU HARUS DIJAWAB MK, DEMI MENDEWASAKAN KESADARAN BERKONSTITUSI. “DEMI KEADILAN SUBTANTIF. KITA BERANGKAT  KE MAHKAMAH LAGI.

Leave a Reply