Ketika Hak Milik Tanah Tak Genap 36M Persegi

Dalam konstitusi, Negara mengakui hak milik pribadi. Benarkah hak milik pribadi bisa dipertahankan? Tatkala hak itu  dihambat oleh norma Undang-undang,  bisakah dikalahkan,  atau dihambat pemanfaaannya?   Norma itu sahih-kah konstitusionalitasnya?

Tepatkah jika, misal kata seseorang hanya punya warisan hak milik atas tanah yang luasnya tak  genap 36meter persegi, lantas tak boleh membangun rumah tapak di atasnya?

Menjelang tutup tahun 2011, saya terlibat kesibukan menelaah hukum perumahan.  Tepatnya UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Beberapa teman pengembang perumahan yang tergabung dalam APERSI, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia,  sebagai stakeholder urusan perumahan rakyat  menelaah dengan  intens implikasinya ke dalam praktik bisnis  rumah rakyat dan efeknya kepada  daya beli kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR.

Mengulangi kegundahan di muka,  jika anda punya lahan terbatas,  tak genap 36meter persegi, sejak ada UU No.1/2011 ini berhati-hatilah.  Lahan itu takkan bisa dijadikan  tapak rumah,  setelah diberlakukannya UU No.1/2011.  Menurut Pasal 22 yat (3),  luas lantai rumah tapak apakah itu rumah tunggal atau rumah deret,  dipatok minimal 36 meter persegi.

Yang memiliki lahan kecil biasanya di kawasan perkotaan yang padat penduduk, permukiman kumuh dan naris berhimpitan. Baik karena mahalnya harga tanah atau karena warisan Cuma sekian, atau kelangkaan lahan. Tak semua memiliki anah luas menjadi tapak rumah.

Alhasil bisa mendongkrat permukiman kumuh karena ta dioptimalkan. Hasil penelitan UNDP, United Nations Development Programme, mengindkasikan terjadiya perluasan permukiman kumuh mencapai 1,37% setiap tahunnya. Tahun 2009 luas permukiman kumuh 57.800 Ha, meningkat dari 54.000 Ha di tahun 2004 [Majalah “Inforum”, Kementerian Perumhan Rakyat, Edisi 1/2010, hal. 7].

Walaupun tanah itu  milik anda sah dan  bersertifikat,  bisa jadi takkan diberikan IMB-nya.  Alhasil menjadi kapital mati, atau aset menganggur jika tidak dimerger dengan lahan tetangga  sebelah menyebelahnya.   Artinya, hak milik  pribadi anda terancam  untuk  didayagunakan dan dikembangkan menjadi rumah.

Padahal,  kua konstitusi  setiap orang berhak  bertempat tinggal  yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945:  “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Tak cuma hak konstitusi atas tempat tinggal,  memiliki  hak miliki pribadi  dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.

Dengan demikian  setiap orang atau warga masyarakat  mempunyai hak konstitusional untuk membangun, membeli dan memiliki  sebagai hak milik pribadi atas unit rumah, dalam segala bentuk apapun, apakah itu rumah tunggal ataupun rumah deret, ataupun rumah susun (Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2011).

Demikian pula halnya  hak konstitusional  atas hak milik pribadi yakni atas  rumah, tak soal  apakah   membangun sendiri alias  rumah swadaya, ataupun  rumah umum bagi kalangan MBR atau justru  rumah komersial, rumah khusus dan rumah negara.

Dengan berdasarkan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tidak ada halangan secara juridis konstitusional bagi setiap orang   memiliki  rumah dengan jenis apapun dan dengan bentuk apapun,  dengan luas lantai berapapun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

Sebagai pemilik tanah atau lahan berhak menggunakannya untuk membangun rumah tempat tinggal, dengan luas tanah/lahan berapapun, sehingga adanya ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011,  bukan saja menghalangi menggunakan dan memanfaatkan hak milik pribadi yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, akan tetapi juga mengakibatkan:

  1. Tidak termanfaatkan atau menganggurnya lahan dengan luas dibawah 36meter persegi, sehingga menjadi kapital mati atau mengangur (idle)  yang tidak bisa dioptimalkan nilai ekonominya, dan karenanya  menimbulkan ketidakadilan dalam kesempatan memperoleh pendapatan.
  2. Menganggurnya lahan  dibawah 36meter persegi, sehingga akumulasi  lahan abai guna itu  sangat mungkin menjadi kawasan permukiman kumuh dan  tidak bisa dioptimalkan nilai ekonominya. Dalam perspektif juridis konstitusional menjadi kausal terganggunya hak atas perlindungan harta benda yang berada dibawah kekuasann setiap orang atau warga masyarakat yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Jika  mengacu  Pasal 28H ayat (4) UUD 1945,   tidak ada alasan konstitusional  menghalangi dan mencegah atau melarang setiap orang  membangun, membeli dan memiliki rumah dengan luas lantai berapapun,  asalkan dilakukan dengan/atas  alas hak dan kepemilikan yang sah.

Apalagi hambatan itu muncul dengan adanya norma hukum Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011  yang berbunyi  “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.”. Justru disinilah persoalannya, karena dinormakan dalam Undang-undang sehingga menjadi isu konstitusional.

Secara konstitusional tidak boleh  membuat  pembatasan yang  menghambat hak setiap orang  memperoleh hak milik pribadi atas rumah  tempat tinggal.  Hak atas milik pribadi tersebut  merupakan hak konstitusional yang dijamin Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Sejalan dengan itu, Pasal  36 ayat (1)  UU  Nomor 39/1999 menegaskan  setiap orang berhak mempunyai milik pribadi sebagai HAM.  Dalam hal apabila setiap orang atau warga masyakat hanya  mempunyai lahan tanah yang  kuang dari  36meter persegi,  maka  tidak boleh  dihambat atau dikurangi  untuk membangun  rumah dalam jenis dan ukuran luas lantai berapapun.

Pembatasan  kemerdekaan setiap orang atau warga negara memiliki secara pribadi atau hak milik pribadi atas rumah hanya boleh dengan luas lantai minimal 36meter persegi, adalah melanggar hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UD 1945.

Leave a Reply