Keuangan Negara: Amandemen Atau Uji Materil?
Dulu pernah diwartakan, Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) menggerek dukungan amandemen UUD 1945. Apakah substansi konstitusional yang diperjuangkan? Harapannya, bukan sekadar menyiasati wewenang tambahan yang memperkuat DPD RI dengan ‘saudara tua’nya: DPR RI. Berbagai ide kehidupan berbangsa dan bernegara perlu didalami dan diserap menjadi sari pati konstitusi. Sedikit diantaranya mencakup: perihal keuangan negara, independensi Bank Indonesia, peran setara legislasi DPD RI, hak partisipasi anak-remaja.
Opini ini berbasis pada pendapat yang amat terpelajar, guru besar hukum keuangan negara Universitas Indonesia, Prof Dr Arifin P. Soeriatmadja, bahwa isu keuangan negara adalah masalah kedaulatan. Bukan sekadar teknis keuangan negara, atau budget design saja. Karena itu, keuangan negara dan APBN sebagai esensi kedaulatan, tidak boleh lepas dengan analisis konstitusi negara.
Untuk mewujudnya kedaulatan (rakyat), yang menurut pasal 1 ayat 2 UUD 1945 Perubahan Ketiga, dikontruksikan melalui pemilihan umum (pemilu) per lima tahun. Perhelatan Pemilu, sebagaimana Pasal 22 E ayat 2 UUD 1945 Perubahan Ketiga, limitatif memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Anggota Dewan Perwakilan Daerah; Presiden dan Wakil Presiden; Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perihal persetujuan APBN –sebagai wujud kedaulatan rakyat, mekanisme yang dibangun UUD 1945 hanya kolaborasi DPR dan Presiden saja. Kedudukan DPD, yang diakui dalam UUD 1945 hanya sebatas menyampaikan pertimbangan. Posisi yang tidak mengikat jika dibandingkan dengan kedudukan DPR yang dapat bersikap politik: menerima, menerima sebagian, atau menolak rancangan APBN.
Padahal, dalam UUD 1945 eksplisit mengemukakan bahwa Pemilu bukan hanya memilih anggota DPR. Polemik lain, apakah keuangan negara – yang dipertanggungjawabkan hanya ABPN saja atau termasuk APBD, keuangan BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)?
Jika tema kedaulatan masuk sebagai isu dalam penyusunan dan persetujuan APBN, maka sahih pula menggunakan interpretasi sistematis atas UUD 1945. Ada dan kuat sekali benih konstitusional meminta persetujuan DPD tatkala pengesahan APBN. Bukan sekadar pertimbangan atau ‘tepuk tangan’ persetujuan. Maksudnya? Pengesahan UU tentang APBN, konstitusional jika berbeda pakem dengan pengesahan UU non APBN – yang hanya otoritas DPR dan Pemerintah. Ide konstitusional ini relevan dengan Pasal 22 E ayat 2 UUD 1945 bahwa BPK menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara bukan hanya kepada DPR, tetapi juga kepada DPD dan DPRD.
Siapa bertanggungjawab?
Dalam pasal 23 ayat 3 Perubahan Ketiga UUD 1945, ditemukan penegasan tentang siapa pihak yang bertanggungjawab terhadap APBN, yakni secara spesifik disebut dengan Presiden. Berbeda dengan pasal 23 UUD 1945 yang tidak menyebut secara eksplisit Presiden tetapi dengan kata Pemerintah.
Memang Presiden adalah pejabat yang bertanggungjawab terhadap APBN yang diajukan dan kemudian disetujui bersama-sama dengan DPR. Persetujuan dari DPR masih diposisikan sebagai penyerahan otorisasi kepada Presiden untuk mengelola APBN.
Wewenang dan tanggungjawab untuk menjalankan APBN, yang diberikan otorisasinya oleh DPR, hanya terbatas kepada Presiden, bukan kepada eksekutif yang lebih luas. Karena itu, tanggungjawab terhadap APBN itu hanya ada pada Presiden. Tidak dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan. Atau, kepada Gubernur.
Oleh karena hakekat APBN adalah kedaulatan, maka pemberian otorisasi DPR kepada Presiden untuk melaksanakan APBN mesti diatur dengan UUD 1945. Mekanisme, prosedur persetujuan dan pertangungjawaban APBN dalam rangka melaksanakan sistem pemerintahan. Karena sistem anggaran merupakan alat dari pengawasan demokrasi terhadap eksekutif (democratic control over the executive).
Dalam konteks lembaga yang berwenang memeriksa keuangan negara, dalam Pasal 23 E UUD 1945 sudah menentukan secara jelas eksistensi dan fungsi BPK memeriksa tanggungjawab dan pengelolaan keuangan negara. Yang masih belum jelas dan belum terumuskan dalam UUD 1945 adalah pengertian keuangan negara.
Dalam konteks objek pemeriksaan, UUD 1945 Perubahan Ketiga tidak secara eksplisit mendefenisikan hanya APBN saja yang menjadi objek pemeriksaan BPK. Namun, dalam hal siapa yang bertanggungjawab atas keuangan negara, dapat ditafsirkan bahwa Presiden hanya bertanggungjawab terhadap APBN yang disetujui bersama DPR. Tanggungjawab Presiden hanya terhadap APBN, bukan terhadap objek pemeriksaan keuangan negara lainnya, misalnya APBD.
Dengan demikian, Pasal 23 E ayat (2) UUD 1945 Perubahan Ketiga, hanya menentukan tentang objek pemeriksaan BPK. Secara gramatikal dan yuridis dapat ditafsirkan bahwa Pasal 23 E UUD 1945 belum memberi kepastian konstitusional pengertian keuangan negara. Pasal 23 E UUD 1945 hanya tentang apa objek pemeriksaan BPK.
Tetapi, jika berhasrat menemukan objek pemeriksaan BPK, landasan yuridisnya (bukan landasan konstitusional) mengacu UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara Jo. UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
Takrif keuangan negara misalnya, UU No 17/2002 (pasal 2) menentukan objek pemeriksaan BPK menggunakan pengertian keuangan negara dalam arti luas. BPK juga berwenang memeriksa keuangan negara selain APBN. Termasuk APBD yang dikualifikasikannya sebagai penerimaan dan pengeluaran daerah. Lewat topanan norma UU No 17/2003 Jo UU No 15/2004, BPK berwewenang memeriksa pelaksanaan APBN, namun juga non APBN: APBD, BUMN, BUMD.
Tetapi, andai tulen mengacu konstitusi (Pasal 23 E UUD 1945), pendapat bahwa BPK berwenang memeriksa APBD, dan anggaran keuangan BUMN serta BUMD, secara konstitusional belum bisa diterima utuh. Sebab, Pasal 23 E UUD 1945, tidak eksplisit menyebutkan wewenang BPK memeriksa keuangan negara dalam arti luas. Yakni meliputi APBD, keuangan BUMN, serta BUMD.
Oleh karena itu, rumusan Pasal 23 E ayat (2) yang menentukan bahwa BPK juga menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan kepada DPD dan DPRD, selain kepada DPR RI, tidak konsisten dengan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan Ketiga. Wilayah ini bisa diperiksa dan menjadi obyek pengujian materil ke Mahkamah Konstitusi.
BPK Daerah
Berdasarkan Pasal 23 G UUD 1945 Perubahan Ketiga, maka BPK mempunyai jajaran perwakilan sampai ke tingkat propinsi. Dengan demikian, BPK juga memiliki lingkup pemeriksaan terhadap keuangan negara di propinsi, yakni APBD.
Hal ini memberi landasan wewenang BPK memeriksa objek keuangan negara selain APBN. Oleh karena keuangan negara pada tingkat propinsi adalah APBD, maka objek pemeriksaan BPK di propinsi adalah APBD. Sebenarnya wewenang ini mengacu kepada atau dipengaruhi oleh UU No 17/2003 dan UU No. 15/2004.
Jika dikaitkan dengan Pasal 23 E ayat (2) yang menentukan bahwa hasil pemeriksaan BPK antara lain diserahkan kepada DPRD, maka dapat ditafsirkan bahwa tanggungjawab terhadap APBD diberikan kepada DPRD. Dengan mengacu kepada Pasal 23 G ayat (1), maka pada tiap Propinsi akan dibentuk perwakilan BPK yang berwenang memeriksa pelaksanaan APBD. BPK Perwakilan Propinsi menyampaikan hasil pemeriksaannya atas APBD kepada DPRD.
Oleh karena pada tingkat Pemerintahan Propinsi dipegang oleh Gubernur, secara analogis hanya Gubernur yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan APBD. Pertanggungjawaban keuangan negara atas APBD dari Gubernur tersebut disampaikan kepada DPRD.
Rumusan Pasal 23 G ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga tersebut menentukan bahwa BPK dapat memeriksa objek keuangan negara di propinsi: APBD. Presiden tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas APBD. Kendatipun, pemeriksaan atas APBD berada pada wewenang BPK yang merupakan lembaga tinggi negara.
Rasional dari tanggungjawab Presiden tidak dapat dimintakan atas APBD, karena mengenai memang tidak ada pengaturannya dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga. Presiden tidak menerima otorisasi dari DPRD, seperti halnya Presiden menerima otorisasi keuangan negara atas APBN dari DPR. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 25 ICW 1925 bahwa Pemerintah Pusat hanya bertanggungjawab atas APBN, tidak termasuk APBD.
Jika dibandingkan dengan Pasal 23 G UUD 1945, dimana BPK sebagai badan negara yang memeriksa keuangan negara mempunyai perwakilan di daerah, sehingga objek pemeriksaannya juga termasuk keuangan negara di daerah. Tidak diperoleh penjelasan apakah yang dimaksudkan adalah keuangan negara dalam APBD atau termasuk pula keuangan negara dalam BUMN.
Berdasarkan Pasal 23 E UUD 1945, tidak terdapat pengertian yang jelas tentang keuangan negara, maka secara konstitusional kewajiban BPK melakukan pemeriksaan keuangan daerah tidak ditemukan dasarya dalam Pasal 23 E UUD 1945. Sumber wewenangnya hanya UU No 17/2003 dan UU No 15/2004. Bukan dari konsitutusi negara.
Bukan mustahil, dengan dukungan kekuasaan pihak BUMN menolak untuk diperiksa oleh BPK, dengan alasan bahwa BUMN bukan masuk dalam kualifikasi keuangan negara, karena secara perdata telah merupakan suatu badan hukum yang terpisah (split legal entity) dari badan hukum publik – yang tunduk dibawah UU Perseroan Terbatas. Hal sedemikian bisa juga terjadi, dimana pemerintah propinsi ataupun pemerintah kabupaten/kota menolak pemeriksaan dari BPK, oleh karena tidak terdapat dasar konstitusional BPK memeriksa APBD.
Demi kepentingan pengelolaan keuangan negara berdasarkan good governance, patut mengembangkan gagasan guna mekanisme pemeriksaan APBD yang terintegrasi dan konstitusional dengan Pasal 23 E dan Pasal 23 G UUD 1945.
Dari bedahan Pasal 23 UUD 1945 Perubahan Ketiga, terdapat berbagai ruang kosong yang sudah diisi oleh UU No 17/1003 dan UU No 15/2004. Apakah norma dalam kedua UU tersebut bermuasal dari konstitusi ataukah justru tidak memiliki landasan konstitusional, dapat diuji dalam mekanisme Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi yang sah. Atau, mengagendakannya dalam amandemen kelima konstitusi.