Kewajiban 20% Rusun Umum (2): Vis A Vis Regulasi Lokal?

Oleh: Muhammad Joni – Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, dan Managing Partner Law Office Joni & Tanamas.

La lotta contra la pena”. Berjuang melawan penghukuman. Mungkin adagium itu relevan mengingatkan agar dalam pembuatan hukum tidak semberono membuat sanksi pidana. Namun, dirumuskan dengan norma yang pasti dan jelas, bukan abu-abu alias kabur.

Begitulah mestinya membangun konstruksi perbuatan apa yang dapat dikenakan sanksi pidana terkait kewajiban menyediakan 20% rumah susun (rusun) umum versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun. Yang pelanggrannya diancam sanksi pidana versi Pasal 109 UU Rusun.

Karena rumusan kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun diamanatkan pengaturannya dengan Peraturan Pemerintah (PP), maka patut mengawal konten aturan PP yang jelas, detail, dan pasti. Disarankan, Rancangan PP yang disiapkan bukan hanya mengulangi dan sekadar mengambil alih norma UU Rusun tanpa melahirkan norma derivatif yang mengisi kekosongan, keraguan dan kebutuhan sesuai perintah Pasal 16 ayat (4) UU Rusun.

Mari telaah lagi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun yang menormakan kewajiban menyediakan 20% rusun umum bagi pelaku pembangunan yang membangun rusun komersial. Yakni, menyediakan 20% rusun umum yang dihitung dari total luas lantai rusun komersial yang dibangun pelaku pembangunan.

Namun semenjak disahkan tahun 2011, UU Rusun belum dilengapi dengan PP, sehingga kewajiban 20% versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu tidak efektif. Walau pernah ada upaya mencoba menerapkannya dengan membuat laporan kepada kepolisian, namun tidak dapat dijalankan karena PP belum tersedia.

Bukankah, sesuai asas legalitas ikhwal pelaksanaan kewajiban hukum yang diancam dengan sanksi pidana ataupun sanksi administratif hanya bisa diterapkan jika aturan hukumnya sudah tersedia. Bagaimana bisa menegakkan Pasal 16 ayat (2) Jo. Pasal 97 Jo Pasal 109 UU Rusun, jika PP yang diamanatkan UU Rusun belum tersedia.

Ikhwal penting lain dalam konteks efektifitas hukum, apakah kewajiban versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu menegasikan kewajiban yang timbul dari ketentuan lokal. Misalnya Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 540/1990 dalam hal yang pembebasan tanah untuk memperoleh SP3L (Surat Persetujuan Prinsip Pembebas Lokasi/Lahan) harus memenuhi berbagai persyaratan, termasuk jika lokasi/lahan yang dimohon dengan kondisi lapangan dan/atau menurut rencana kota peruntukannya adalah perumahan yang luasnya 5.000 m(lima ribu meter persegi) atau lebih,

Menurut aturan Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 itu, pemohon diwajibkan membiayai dan membangun rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20% (dua puluh persen) dari areal manfaat secara komersil, dan/atau ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta.

Diwartakan, pengembang masih menunggak kewajiban atas 20% membiayai dan membangun rusun murah versi Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 itu. Pertengahan tahun 2014, media mewartakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih terus menagih pengembang yang belum melunasi kewajibannya, karena baru 428 pengembang yang telah dan sedang melaksanakan kewajibannya. Masih ada 2.545 pengembang yang belum memenuhi kewajiban (kompas.com, 24-08-2014). Perlu dipublikasi secara periodik kepatuhan pengembang dan bagaimana realisasinya, serta perlakuannya dalam perbendahaan daerah.

Jika rusun itu berasal dari kewajiban pengembang atas Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 itu, maka aset rusun itu menjadi perbendaharaan daerah. Tak hanya soal bagaimana tata kelola dan kemajuan penyerahan atas rusun umum yang dibangun, namun bagaimana memastikan peralihan yang akuntabel dan pasti, serta pengelolaan rusun umum itu untuk kepentingan MBR. Di sini isu pengelolaan rusun milik pemerintah daerah mesti diatur dengan detail dalam RPP Rusun.

Andai kata kewajiban itu dialokasikan menjadi uang tunai maka menjadi sumber keuangan daerah. Merujuk UU Keuangan Negara, pendapatan itu menjadi sumber keuangan daerah yang dicatat satu pintu sebagai keuangan daerah. Tentu dengan menjamin akuntabilitas.

Kembali ke soal kewajiban menyediakan 20% rusun umum versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun. Kua normatif, kewajiban itu terpisah dengan kewajiban yang bersumber dari regulasi lokal. Karena kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu terkait pelaksanaan pembangunan perumahan dengan konsep hunian berimbang, termasuk pembangunan rusun.

Namun ada pertanyaan soal keadilan dan kepastian hukum, apakah aturan Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 itu komulatif ataukah alternatif terhadap kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun? Soal ini yang mesti dijawab oleh PP yang sedang disiapkan agar tidak menyisakan persoalan hukum yang menghambat bagi pelaksanaan hunian berimbang oleh pelaku pembangunan.

Jika menelaah Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990 yang menggunakan frasa “membiayai dan membangun” rumah susun murah dan fasilitasnya, yang dibandingkan dengan Pasal 16 ayat (2) UU Rusun yang tidak menyebutkan dengan frasa “membiayai dan membangun”, namun menggunakan frasa “menyediakan” rusun umum. Keduanya konsepsi yang berbeda namun bisa diharmonisasikan ke dalam PP.

Tidak ada rujukannya dalam UU Rusun jika pemaknaan kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu digiring seperti ketentuan Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990, yakni membiayai dan membangun rusun umum seluas 20%. Kita menunggu apakah rezim PP yang sedang digodok begitu pula Peraturan Menteri sebagai turunannya akan bergerak ke arah mana? Sebab itu perlu mengawal agar PP dan Peraturan Menteri tidak menyimpangi UU Rusun dan PP.

Alhasil banyak soal yang perlu dibicarakan dan disinkronisasikan demi kepentingan terbaik bagi MBR dan regulasi yang adil dan dapat diterapkan. Hemat penulis, oleh karena kewajiban menyediakan 20% rusun umum itu terkait norma Larangan (Pasal 97 UU Rusun) dan Ketentuan Pidana (Pasal 109 UU Rusun), maka Pemerintah mesti menyusun PP dan Peraturan Menteri lebih cermat, jeli, tidak menyisakan keraguan hukum, dapat diterapkan. Plus melakukan harmonisasi dengan norma regulasi lokal, agar tidak terjadi kewajiban yang berulang-ulang.

Pastikan, PP Rusun tidak tumpang tindih atau vis a vis dengan regulasi lokal sebab pelaksanaan pembangunan rumah susun itu dilakukan di daerah dengan rezim perizinan daerah. Demi kepastian hukum, mestinya ikhwal kewajiban hukum mesti diatur dengan regulasi bukan dengan diskresi.

Leave a Reply