Kisruh Bantuan PSU 2024: Ayo Review Lebih Cepat, Bahagia Rakyat Lebih Tepat
Oleh : Muhammad Joni. Sontak anjlok dana PSU (Pra Sarana, Sarana, Utilitas) itu bagai deru yang mengguncang. Begitu saya menakwil ekses dipangkasnya pagu indikatif bantuan PSU tahun 2024, yang melorot drastis dari Rp382 miliar nyaris habis kikis ke Rp9 miliar.
Timbanglah suara media online industriproperti.com yang menurunkan berita bertitel: ‘PSU Dipangkas, Komitmen Kabinet untuk Rumah MBR Dipertanyakan’. Walau warta yang dituliskan Oki Baren itu tanpa vidio-audio, pun derunya menyerukan kritik bertenaga, bagai bebatuan gunung melongsor kencang; menyeruakkan suara kengerian.
Merujuk berita di atas, suara Endang Kawidjaja Ketua Umum HIMPERRA menyebut pagu PSU 2024 bak bom waktu dan potensi kisruh. Ngeri juga, Ketua Endang. Alokasi PSU dipangkas, Junaidi Abdillah Ketua Umum APERSI mempertanyakan keseriusan pemerintah menjalankan program sejuta rumah (PSR). Zulfi Koto Ketua Umum The HUD Institute bagai jurist menyuarakan hukum, bahwa anjlok bantuan PSU itu berpotensi menabrak Pasal 54 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP).
Opini ringan ini tidak hendak menambah deru, namun menitipkan pentingnya kebajikan atau virtue dari pelaku (stakeholder) nomor satu: pemerintah dan Pemda –untuk menderukan aktivasi perumahan rakyat/ MBR sebagai misi pro keadilan yang fair (justice as fairness). Dengan misi antara: perumahan rakyat dilabel sebagai program strategis nasional.
Ulasan ini kepo, tepatnya penasaran mencari sebab rasional disebalik anjlok bantuan PSU 2024, ya.. untuk memperoleh derjat kebenaran paling presisi dan makin anyar.
Premis perdana opini adalah: pasti ada kausal juncto hal penting dan kepentingan disebalik pagu bantuan PSU Perumahan MBR 2024 –yang melorot tajam.
Klisenya, karena menyempit dan menyempilnya ruang fiskal bantuan PSU? Atau timpangnya atensi teknis dan nihilnya pengawalan beleids bantuan PSU –yang patut lebih menderu dari semustinya? Atau tata kelola PSU yang tak terkonsolidasi dengan laju inovasi pembiayaan? Atau, melorotnya reputasi performa PSU untuk MBR sebagai faktor pengurang harga beli MBR –dalam “war room” mempertahankan alokasi APBN untuk bantuan PSU?
Namun, apapun dari kwartet asumsi itu, nyaris kikis PSU itu tidak bisa didiamkan.Jangan dianggap selow. Tanpa auto review kebijakan PSU. Apalagi sunyi keterangan kepada publik subsider rakyat/ MBR pun pengembang, sebagai wujud akuntabilitas beleids yang disajikan di ruang publik. Menteri Keuangan pun perlu diadvokasi soal-soal mendasar perumahan rakyat, dengan deru yang lebih kencang dari semustinya.
Tersebab bantuan PSU mandatori UU PKP, maka instrumen PSU bukan sembarangan beleids. Namun kewajiban hukum dan berlaku umum (erga omnes). Bukan kebijaksanaan –yang dirancang seakan dari sikap pangreh yang budiman.
Sekali lagi, PSU memiliki landasan hukum yang perkasa, karena tak pernah diuji dan tak dibatalkan MK RI. Norma PSU menderu dalam Pasal 54 ayat (3) UU PKP.
Penting ditegaskan, PSU itu bukan kebijaksanaan “filantropis” bersifat privat dari rasa baik hati dan budiman pejabat yang menjabat, namun res publica –sebagai hak rakyat/ MBR dalam wujud kewajiban Pemerintah dan Pemda –yang sudah mengikat dengan UU PKP.
Instrumen kebijakan sosial bertitel bantuan PSU itu mengikat. Juga, terkoneksi dan sepaket dengan fasilitas subsidi pembiayaan perumahan MBR dalam satu sistem norma yang sama: Pasal 54 ayat (3) UU PKP. Sebab itu sepatutnya diberi atensi dan dibaur bersama inovasi pembiayaan perumahan rakyat bersubsidi. Dan, tersistem!
Instrumen intervensi bantuan PSU yang digagahkan ke dalam Pasal 54 UU PKP sebagai kewajiban Pemerintah dan Pemda, perlu dikembangkan tandem dengan inovasi pembiayaan perumahan MBR. Bahkan inheren; embodied dengan items bantuan dan kemudahan lainnya.
Dalam jamak diskursus PSU, saya menjaring ragam isu perihal sediaan data konkrit dan situasi PSU perumahan MBR, status hukum PSU dalam relasi dengan Pemda dan pengembang serta warga. Juga, soal kepastian penyerahan dan pengelolaan Pemda, termasuk realitas keterlantaran, kesenjangan pengelolaan, dan tanggungjawab serta beban biaya pemda. Jamak hamparan PSU –yang dulu dikenali dengan fasos (fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum)– terlantar dalam waktu lama, kumuh, menjadi beban lingkungan dan kota, bahkan warga.
Selain itu, lingkup persoalan PSU adalah ketiadaan dan ketidakpastian aturan dalam hal: penyelenggaraan, pembangunan dan pengelolaan, penyerahan, keberlanjutan PSU dalam dengan infrastruktur dasar atau PSU luar. Terjadinya mismacht dalam hal pembiayaan PSU dengan pembiayaan MBR yang dikaitkan dengan akad kredit menjadi persoalan tersendiri sehingga perlu klik.
Agar instrumentasi bantuan PSU bisa menjadi alibi kehadiran Pemerintah dan Pemda dan faktor pengurang harga beli MBR, dan harga jual di pasar, maka pemerintah musti melakukan review cepat-cepat dan pembenahan utuh-menyeluruh penyelenggaraan, pembangunan, pengelolaan dan keberlanjutan PSU. Yang dimulai dari langkah mudah: pendataan, kepastian status hukum, sebaran lokasi, gambaran kondisi, jumlah dan luas, eksisting penggunaan, pemanfataan, peralihan barang inventaris tetap bertitel PSU.
Majelis pembaca. Sekali lagi, bantuan PSU bukan hanya normatif belaka, namun instrumen kebijakan keadilan yang fair pro rakyat/ MBR.
Apapun sebab disebalik curam-tajamnya statistik bantuan PSU 2024 untuk perumahan MBR yang nyaris habis kikis ke angka Rp 9 miliar, hanya 820 unit, atau hanya 0,00082 dari PSR, jangan anggap enteng! Karena jika PSU tidak bangkit sedia kala, akan mengikis habis salah satu pintu akses keadilan yang fair pada perumahan rakyat/ MBR dengan intervensi bantuan PSU.
Akibatnya, akan auto mengerek semakin mahal harga beli MBR, akibatnya susulannya panjang! Namun, itu pun dengan asumsi permanen –yang harus dikawal– bahwa bantuan PSU itu faktor pengurang biaya produksi dan harga beli MBR/ konsumen di pasar rumah MBR bersubsidi.
Tidak berlebihan pak Endang Kawidjaja memberi prediksi adanya kisruh, di tengah belum disetujuinya koreksi harga baru rumah MBR.
Begitu-lah mustinya belieds bantuan PSU langsung ke MBR itu sebagai ujud institusi keadilan yang fair. Drastis anjloknya bantuan PSU itu mengguncang kisruh minat pengembang pejuang –yang aktor utama PSR, atau meniadakan faktor pengurang harga yang membebani harga beli MBR? Keduanya tantangan bagi akses pada keadilan yang fair.
Soalnya menjadi makin serius, tak salah bertanya justice as fairness kepada begawan tiori keadilan John Rawls, bahwa keadilan adalah virtue pertama dalam institusi sosial, termasuk perumahan MBR. Patut jika pak Junaidi Ketua APERSI mempertanyakan komitmen PSR. Epilog ini bukan cawe-cawe, pemerintah kudu auto review cepat-cepat. Bangkit lebih cepat, bahagia rakyat lebih tepat. Tabik.
[Muhammad Joni, Advokat perumahan rakyat, menulis buku ‘Ayat-Ayat Perumahan Rakyat’, dan ‘Ayat-Ayat Kolaborasi Jakarta Habitat’].