Kolegium ‘Nucleus’ Profesi Dokter (2)
Pilot pesawat penerbangan sipil wajib diuji lagi skills terbangnya 6 bulan sekali, demi keselamatan terbang. Tak musti ke kampus lagi!
Pun demikian dokter. Apalagi dokter berkaitan dengan tubuh (dan jiwa) manusia.
Benarkah kehendak mengeluarkan Kolegium Kedokteran ataupun Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)?
Bisakah memisahkan profesi dokter dari pendidikan profesi kedokteran? Tepat dan bijakkah menjadikan Kolegium Kedokteran di luar IDI dan tidak lagi inheren bagian Organisasi Profesi (OP)?
Semisal mempersilakan pendidikan profesi Hakim kepada Fakultas Hukum? Haruskah dokter kembali ke kampus Fakultas Kedokteran (FK) lagi untuk resertifikasi kompetensi. Ikhwal kompetensi beda dengan pendidikan lanjutan magister kedokteran.
Atau, ikhwal pendidikan menaikkan kompetensi dokter itu tetap menjadi domein pendidikan profesi kedokteran seperti sudah sah dan ajeg sampai saat ini?
Mari periksa UU Prakdok yang mengatur profesi dan praktik kedokteran.
Kolegium Kedokteran adalah bagian dari sub sistem praktik kedokteran dalam UU Prakdok. Kolegium tidak muncul dalam norma dan sistem UU Dikdok. Namun mengakui OP, walau tidak eksplisit menyebut IDI.
Beralasan kuat jika yang dimaksudkan OP dalam UU Dikdok adalah IDI. Jika tidak, siapa lagi? Karena sesuai dengan UU Prakdok dan relevan Pasal 50 ayat 2 UU Tenaga Kesehatan (UU Nakes) serta putusan MK perihal pengujian Pasal 50 ayat 2 UU Nakes yang amar putusan MK mempertahankan hanya satu organisasi profesi tenaga kesehatan (Nakes).
Lha kalau Nakes saja musti hanya satu OP, konon pula dokter yang merupakan ‘captaint of the team’ dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Tersebab itu, imaji menghendaki pisahnya Kolegium dari IDI dalah kehilangan ontologis, ahistoris, vis a vis formal-juridis UU Prakdok, UU Dikdok, UU Nakes.
Keliru jika hendak memisahkan Kolegium Kedokteran ataupun MKKI sebagai bukan inheren OP lagi. Memosisikan kolegium sebagai hanya Badan Hukum Pendidikan biasa alias bukan OP lagi. Hal itu justru merugikan kepentingan ‘patient savety’ dan ‘profesional trust’. Mau berapa banyak kolegium sebagai percabangan ilmu kedokteran hendak dibentuk?
Posisi Kolegium Kedokteran ataupun MKKI pada OP sudah berjalan ajeg dan sahih diakui UU Prakdok.
Soal pemisahan ini isu lama yang diangkat lagi. Sebab isu pemisahan Kolegium Kedokteran itu sudah tuntas juga dibahas final dengan kajian paripurna tatkala pembahasan RUU Prakdok menjadi UU Prakdok.
Lagi pula profesi dokter menjadi istimewa seperti pertimbangan MK karena terkait kompetensi atas tubuh manusia yang musti terus ditambah ilmu pengetahuan dan skills nya. Hanya langkah mundur dan kemunduran yang diraih karena pemisahan Kolegium dari OP.
Kehendak memisahkannya dari OP, kua konseptual adalah kehendak yang ahistoris, tidak aktual, lepas kontekstual, dan berbahaya karena langkah besar kemunduran praktik kedokteran.
Mengapa? Karena jika menghilangkan anasir pendidikan dan peningkatan kompetensi profesi dari OP, maka hal itu mencabut ruh OP. Dan tentunya merugikan hak konstitusional rakyat atas pelayanan kesehatan.
Kekeliruan frontal jika membuat OP cq IDI sebagai organisasi biasa, selayaknya organisasi kemasyarakatan (ormas), alias tak berbeda dengan asosiasi pekerja biasa.
Padalah, dokter bukan pekerjaan biasa, tetapi profesi yang terikat dengan Sumpah Dokter, norma etika, nirma disiplin, dan norma hukum.
Justru dokter menjadi istimewa karena terikat dengan 3 norma itu: etika, disiplin dan hukum sebagaimana pertimbangan putusan MK No.14/PUU-XII/2014.
Bagaimana dengan IDI?Jelas dalam AD IDI ditentukan bahwa Kolegium Kedokteran bagian dan inheren IDI sebagai satu kesatuan dalam “Satu Tubuh” dalam IDI.
Artinya, mengikuti UU Prakdok, Kolegium Kedokteran adalah domein profesi dan inheren OP, bukan akademi dalam arti pendidikan tinģgi kedokteran yakni Fakultas Kedokteran.
Kolegium Kedokteran adalah domein pendidikan profesi kedokteran, sebagaimana diksi dan norma dalam Pasal 24 ayat 2 ART IDI.
‘QUARTA POLITICA’, BUKAN SUB ORDINAT
Apakah Kolegium sub ordinat Pengurus Besar (PB) IDI? Pertanyaan itu mirip dengan pertanyaan apakah DPR ataupun MA ataupun MK ataupun BPK adalah sub ordinat Presiden?
Mari merujuk sumber otentik dan acuan pertama yakni Pasal 14 ayat 1 AD IDI. Keberadaan Kolegium Kedokteran ataupun MKKI dalam IDI adalah setara dengan PB IDI dalam “Satu Tubuh” IDI.
Dalam tubuh IDI, yang pada kekuasaan tertinggi terdiri atas PB IDI, MKKI,MKEK, MPPK. Sehingga dalam perspektif kekuasaan (power) ada pemisahan kekuasaan (separation of power) setidaknya pembagian kekuasaan (division of power) antara PB IDI, MKKI, MKEK, MPPK.
Hal mana dituangkan eksplisit dalam pasal 14 ayat 1 AD IDI yang notabene hasil proses demokrasi dari aspirasi arus bawah melalui forum Muktamar.
Tentunya sarjana hukum memahami perbedaan tioritis antara kekuasaan (power) dengan kewenangan (authority).
Kua formal-juridis, kekuasaan PB IDI tidak membawahi MKKI, MKEK, MPPK tetapi setara sebagai Pimpinan Tertinggi tingkat pusat IDI.
Kua formal-juridis, kelembagaan dan kekuasaan MKKI tidak sub ordinat PB IDI. Tak perlu ‘waswas konstitusional’ apalagi dianggap tidak konstitusional pembagian kekuasaan antara PB IDI dengan MKKI, MKEK dan MPPK.
Pembaca, sampailah kita pada titik kesimpulan bahwa Kolegium Kedokteran ataupun MKKI adalah domien profesi, bagian inheren OP Kedokteran cq.IDI.
Pembagian kekuasaan antara PB IDI dengan MKKI, MKEK dan MPPK sudah tepat dan bukan posisi sub ordinat. Bukan atasan dengan bawahan.
Seperti halnya Presiden bukan sub ordinat DPR. Juga, DPR bukan bawahan Presiden. Demikian pula kekuasaan yudikatif bukan sub ordinat eksekutif.
Kalau dalan konteks bernegara dikenal Trias Politica, kiranya postulat pembagian kekuasaan pada IDI sebagai OP menjadi PB IDI, MKKI, MKEK, MPPK layaknya “Quarta Politica”. Demi ‘patient savety’ dan ‘profesional trust’. Wawlahualam (MJ)