Komnas Perlindungan Anak; Koordinator Litigasi untuk Tobacco Control
Melewati debat yang kencang dan larut, akhirnya ijtima’ ulama MUI di Padang Panjang menetapkan fatwa merokok sebagai “khilaf baina makruh wal haram”. Selain itu secara khusus, merokok dipatok hukumnya haram dalam hal (a) di tempat umum; (b) anak-anak; (c) perempuan hamil; (d) pengurus MUI. Hal-hal lain yang dirumuskan dalam draf materi ijtima’ kali ini yang tidak dibahas tim perumus, dianggap diterima sehingga menurut kami, rekomendasi terakhir dari 4 rekomendasi soal rokok itu menegaskan bahwa MUI meminta Pemerintah melarang iklan rokok baik langsung dan tidak langsung juga diterima (lihat draf materi)
Dari sejarah ‘permintaan’ fatwa merokok yang diajukan Komnas PA dan beberapa civil society lain, maksud aslinya adalah untuk perlindungan anak dan remaja dari bahaya merokok. Menurut hemat saya, tema dan arus utama pemikiran hukum yang dimunculkan untuk PERLINDUNGAN ANAK. Absah jika kita memahami fatwa harm merokok itu sebagai fatwa perlindungan.
Maksudnya? Ya itu tadi. Haram di tempat umum (dimaksudkan perlindungan orang/umum dari rokok). Haram bagi perempuan hamil (dimaksudkan, perlindungan untuk ibu dan bayinya), haram bagi anak (untuk perlindungan anak dari bahaya merokok). Yang pasti, fatwa hukum merokok sudah ada yakni HARAM walau untuk 3 segmen yang paling vulnerable. Sehingga ada kemajuan sosiologis karena fatwa haram merokok yang lebih maju, kontekstual dengan perkembangan eksternal, dan bersifat perlindungan kelompok rentan.
Dalam pengamatan kami yang menghadiri langsung di forum ijtima’ tersebut, walaupun pendapat yang setuju HARAM SECARA KESELURUHAN lebih banyak, namun kelompok pro haram bisa memahami, ‘toleran’, dan akomodatif atas pendapat yang berbeda, yakni yang pro makruh merokok, seperti dikumandangkan MUI dari Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI, NTB.
Namun demikian fatwa itu tetap produktif dan fungsional bagi tobacco control. Fatwa merokok haram ini berkontribusi dalam menyeimbangkan posisi tersudut dari anak/remaja dalam relasinya dengan industri rokok yang agresif, mematok eskalasi produksi meningkat (road map industri rokok), kebijakan cukai minimalis, iklan masih dihalalkan, regulasi belum memadai, FCTC belum diaksesi/ratifikasi, KTR belum efektif, dan ditengah karakter permisifisme kita pada asap rokok/perokok di tempat umum.
Kita bahkan dapat menggunakan fatwa sebagai ‘evidence’ untuk banyak hal. Posisinya sebagai justifikasi sosiologis dan konfirmasi moral serta bentuk ‘tention’ publik atas bahaya merokok. Dalam sosiologi hukum, hal-hal itu memang diakui dan dibutuhkan dalam mendesakkan suatu UU baru, atau amandemen UU yang sudah ada namun usang. Tepat sekali jika fatwa itu dipakai untuk advokasi legislasi UU, aksesi FCTC, dan bukti untuk litigasi baik di MK dan peradilan lainnya.
Fatwa haram merokok ini membuka tabir bahaya merokok, sehingga tidak bisa lagi jadikan UU sebagai tempat ‘persembunyian’ kepentingan politik/ekonomi industri rokok. Karena itu, untuk tobacco control kita menerapkan critical legal studies sehingga bisa menembus batas, membongkar mitos-mitos dan merekonstruksi hukum baru pro tobacco control.
Mengapa fatwa perlindungan? Bagaimana peran Negara? Sebagaimana diketahui produk rokok bukan barang bebas seperti halnya air mineral, atau barang dagangan bebas lainnya. Rokok secara ilmiah dan yuridis diakui bersifat adiktif, karsinogenik, dan (menurut WHO) mematikan! Bahkan sudah global epidemic. Jadi karena rokok bukan barang bebas maka kita tidak bisa menggunakan dalil/teori PERSONAL CHOISE, yakni konsumen dipersilakan memilih atau tidak memilih secara bebas untuk merokok atau tidak merokok. Kira-kira demikian.
Bagimanapun, zat yang bernama rokok klasifikasi legalnya sama dengan miras dan alkohol (lihat Pasal 46 ayat 3 huruf b UU Penyiaran). Rokok dan minuman beralkohol dimasukkan dalam satu ‘keranjang’ yakni zat adiktif. Sehingga tidak absah jika diiklankan! Pemerintah tidak boleh pasif dalam mengendalikan barang bukan bebas, namun mestilah bertindak aktif, mengatur (regulasi).
Pemerintah (dengan berdasarkan Pasal 28B ayat 2 UUD 1945) mestinya juga aktif melindungi anak dan remaja (yang menjadi sasaran bahaya rokok) dengan membat regulasi dan menegakkannya. Melarang iklan, promosi dan sponsor, agresif dalam edukasi bahaya rokok, membuat KTR, mengeliminir kebijakan cukai minimalis, mengendalikan produksi & impor rokok, termasuk membangun kesadaran publik agar masyarakat ‘keras’ atau tidak permisif pada perilaku perokok/asap rokok’ di tempat umum. Bukankah passive smoker yang permisif dan toleran juga menghirup 4000 jenis zat berbahaya yang ekuivalen dengan perokok aktif.
Salah besar jika ada yang berdalih merokok adalah hak asasi, karena jelas-jelas sudah membahayakan kesehatan, mengancam kehidupan (WHO; tobacco kills), epidemi global, memiskinkan, dan dalam konteks Indonesia, ’capital out flow’. Merokok mengancam hak hidup, kelangsungan hidup yang merupakan hak utama (supreme rights).
Oleh karena itu fatwa MUI memang perlu diberi arah dan substansi operasional. Upaya melakukan ‘substansiasi’ norma yang dilahirkan MUI dari ijtima’ ulama di Padang Panjang itu yang itu bisa dilakukan pakar dan ahli serta detailis. Disililah advokasi dan penyadaran masyarakat mesti diteruskan.
Sampai disini, kiprah membangun substansi dan mengawal arahnya mesti dilakukan, yang sekaligus berguna menghindari tafsir dan substansiasi dengan arah yang sebaliknya. Merokok adalah haram, namun pilihannya untuk merokok atau tidak bisa saja dianggap sebagai pilihan bebas orang perorangan. Demikian kira-kira tafsir yang menggunakan prinsip personal choise.
Disitulah justru kentara sekali inkonsistensi industri rokok, yang di satu sisi mengakui rokok adiktif dan mengakui tidak ada rokok yang aman (’safe’ cigarettes). Phillip Moris International yang memproduksi merek rokok terkenal dan merupakan market leader di Indonesia mengakui “there are no such thing a ‘safe cigarettes” [www.philipmorrisinternational.com]. Karena itu, absah jika melarang siaran iklan niaga promosi rokok dengan Pasal 46 ayat (3) huruf b UUP. Akan tetapi mereka tidak mencegah orang merokok dan tetap menjual rokok secara terbuka dan bebas karena dianggap pilihan bebas individu konsumen.
Padahal semua orang tahu dan karenanya NOTOIR FEITEN (PUBLIC KNOWLEDGE) bahwa rokok sudah membahayakan dan bahkan menembus dan lebih maju atau lebih keras dari teori hukum konsumen: product defect. Oleh karena rokok membahayakan, (dengan logika itu) Pemerintah mesti mengendalikan rokok dan industri wajib aktif menghentikan penjualannya pada anak/remaja buka pasif dan hanya menghimba), serta menghentikan iklan, promosi dan sponsir rokok. Bukan sekadar pasif berlindung dibalik dalil PERSONAL CHOISE. Fatwa haam merokok iupun dipahami, disubstansiasi sebagai fatwa perlindungan. Itu sebabnya Legal Up Date mengelaborasi “Going Too Far, Exploring the Limits of Smoking Regulaions’ (klik www.tclconline.org).