Kompetensi Global Versus Tarif Lokal: RS Swasta di Tengah Jerat INA CBGs, Pajak, dan Janji Konstitusi
Oleh: Muhammad Joni
Prolog:
Di ruang operasi, seorang dokter spesialis memimpin tindakan bedah laparoskopik. Matanya jeli, tangannya tenang, alatnya—robotik buatan Jerman—bernilai miliaran.
Di ruang manajemen rumah sakit, tangan lain sibuk menghitung tagihan klaim JKN yang belum dibayar tiga bulan.
Di sudut meja, terselip dokumen bea masuk CT-Scan 64-Slices yang dikenai PPN seperti mobil mewah.
Di negeri ini, dokter dituntut kompetensi global. Rumah Sakit (RS) juga berbasis kompetensi dan didesak layanan prima. Tapi tarif dan sistem tetap lokal, sempit, lambat, dan bias fiskal.
Ini bukan lagi soal efisiensi. Tugas dokter dan visi rumah sakit itu tentang nyawa. Dan tentang negara yang berpura-pura hadir di atas kertas, tapi absen di meja operasi terjangkau.
Dialog-1: Kudu Kompetensi, Tapi…
Soal mutu layanan tak bisa disubsidi terus menerus. RS swasta tak lagi hanya bangunan, tapi wajah sistem. Mereka mempekerjakan dokter terbaik, membeli teknologi mutakhir, dan menanggung risiko tertinggi versi Pasal 193 UU Kesehatan baru —tanpa insentif, tanpa proteksi lebih baru canggih seperti CT Scan 64 Slices.
Ohya. Just info: Aplikasi CT Scan 64-slice itu wow canggih: Pemeriksaan Whole Body yang mampu memindai seluruh tubuh, termasuk kepala, leher, dada, perut, panggul, dan anggota tubuh.
Juga, deteksi penyakit: membantu mendiagnosis berbagai penyakit, seperti penyakit jantung, stroke, cedera traumatis, dan kanker. Evaluasi Pembuluh Darah: mengidentifikasi penyumbatan pada pembuluh darah, aneurisma, dan kelainan lainnya. Canggih kali.
Di tengah tuntutan globalisasi layanan dan kompetisi regional, mereka dituntut standar Singapura, tapi dibayar tarif Indonesia.
Tarif INA-CBGs stagnan. Co-payment 0% menjadi retorika manis. Negara menuntut RS melayani semua, tanpa memberi cukup “darah” segar fiskal untuk bertahan melawan ajal gang bisa dicegah dengan “transfusi” kebijakan.
Hasilnya? RS Swasta membatasi pasien JKN secara diam-diam. Kamhan sampai RS soliter ambruk, dan dijual ke investor asing yang ngiler. Dokter spesialis frustrasi, berkemas ke negeri tetangga. Dan kita? Kita pura-pura semua baik-baik saja.
Soal krusial pada tarif Dokter Spesialis. Mereka disebut pahlawan pandemi. Tapi hari ini, dokter spesialis JKN dibayar Rp 25.000 – Rp 150.000 per pasien rawat inap.
Bahkan tindakan operasi mayor hanya dihargai di bawah Rp 1 juta. Tak ada jaminan upah layak. Tak ada perlindungan atas jam kerja brutal, risiko hukum, dan tekanan klinis.
Bandingkan Negara jiran menentukan tarif konsultasi Dokter Spesialis.
Di Indonesia (JKN): Rp 25.000 – Rp150.000. Di serumpun Malaysia: Rp280.000 – Rp900.000. Jiran Thailand: Rp360.000 – Rp900.000. Malah kalah dari Vietnam: Rp190.000 – Rp450.000. Apalagi berkaca ke negeri kota Singapura: Rp1,1 juta – Rp2,9 juta. Tarif dokter kita rendah na.un dituntut kompetensi tertinggi.
Ini paradoks kompetensi. Beda jauh dari jiran ASEAN, walau item jenis layanan intervensi medis sama! Jauh murah dari tarif pajak pembelian CT Scann 64 Slices.
Dialog-2: Paradoks Kompetensi
Paragraf berikut datang dari sahabat saya dr. Zul Asdi Sp.B di Pakanbaru. Dalam hal pembiayaan, tidak ada perbedaan tarif INA-CBGs untuk tindakan bedah yang dilakukan oleh Spesialis atau Subspesialis.
Ketahuilah, biayanya tetap sama. Ada yang mengusulkan Subspesialis diberi kompensasi lebih tinggi karena mereka menangani prosedur bedah yang lebih teknis, canggih, dan berbiaya tinggi.
Namun, dalam praktiknya Subspesialis yang menempuh pendidikan tinggi masih harus melakukan operasi minor yang bisa dilakukan oleh dokter umum. Ini menciptakan ketidaksesuaian antara pendidikan dan praktik di lapangan.
Berikut ini japri kisah pengalaman lapangan dr Zul Asdi, Sp.B (K), sang “Datok” dedengkot IDI dari Propinsi Riau dan pemilik rumah sakit swasta di Pakanbaru.
Keluh anamnesa nya seru, kasihan dokter bedah jika operasi di banyak lokasi misalnya patah tulang multipel di bayar INA CBGs hanya satu. Yaelah, kerja banyak bayarannya hanya satu saja. Jika lebih diancam ini: Fraud oh Fraud.
Dr.Zul Asdi tulus welas-asih pada dokter medikal yang mau periksa penunjang tapi terbatas bisa klaim dana. Mau rawat lebih lama terbatas dana. Dokter dibayar murah. Mereka dituntut mengerjakan operasi bedah minor tapi masuk biaya kapitasi, harga benang tetap mahal. Belum lagi resiko somasi milyaran dan tuntutan ppidana.
Lanjut cerita dr Zul Asdi, regulasi rawat inap pasien BPJS di UGD dibuat Kemenkes dan BPJS, padahal keputusan rawat UGD harusnya murni keputusan dokter sesuai ilmu pengetahuan.
Bagaimana dokter JKN diminta bisa berkomunikasi lama dengan pasien toh sehari pasien bisa 50 sampai 100 orang, jangan sama kan dengan Malaysia dan Singapura.
Selain itu, ada asumsi bahwa asuransi kesehatan turut campur dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh dokter di rumah sakit. Padahal, itu wilayah profesi dan rumah sakit. Bukan asuransi. Sayangnya, pedoman Kementerian Kesehatan belum jelas. Inikah paradoks layanan basis kompetensi? Ditentukan dokter, rumah sakit atau asuransi?
Jika tarif dokter di Indonesia terendah dan tindakan diatur asuransi tapi dituntut layanan tertinggi dengan inceran resiko Fraud kadang tanpa celah klarifikasi. Maka jangan salahkan mereka jika memilih pelabuhan lain. Ini paradoks layanan basis kompetensi, lagi.
Dialog-3: Co-Payment, JalanTengah atau Jalan ke Jurang?
Skema 0% payment dalam JKN adalah janji politik. Tapi di lapangan, pasien sering diminta “biaya tambahan” karena obat tak tersedia, tindakan “di-upgrade,” atau dokter yang budiman diminta “kerja sosial.” Ini praktik yang tak sehat. Menyesatkan publik, dan mencekik rumah sakit.
Hemat amba solusinya bukan membebani pasien tak mampu. Tapi membuka inovasi pembiayaan jalan tengah:
Co-payment 10% yang adil, transparan, dan terbatas: Hanya untuk layanan premium (VIP, non-formularium, elektif). Dengan batasan tarif dan pengawasan ketat. Subsidi silang tetap berjalan untuk pasien rentan.
Tanpa ini, RS Swasta akan mati pelan-pelan. Dan rakyat akan menghadapi layanan yang makin dingin, lambat, sinis dan asing.
Negara tega memajaki layanan kesehayan seakan membeli barang jasa mewah untuk hak dasar kesehatan. Siapa menyiksa profesi penolong sang penyelamat?
Yang lebih ironis: alat kesehatan masih dan masih dianggap barang mewah. Mesin MRI dikenai bea masuk. Alat bedah robotik dikenai PPN. AI diagnostik dianggap komoditas. Seolah alat menyelamatkan nyawa adalah kemewahan, bukan keharusan. Mengapa oh mengapa taknak belajar dari jiran-cim-serumpun Malaysia?
Negara ini bisa membebaskan pajak Spa dan konon juga mobil pariwisata, tapi alahai mengapa tidak untuk ventilator.
Solusinya? Dorong reformasi fiskal Alkes. Opsinya? Bebaskan bea masuk & PPN untuk Alkes strategis. Juga, berikan Zero Tax Rate untuk RS yang melayani JKN. Kombinasikan dengan insentif pembelian produk medis dalam negeri.
Jika tidak, jangan heran RS Swasta hanya jadi “showroom” alat bekas. Dan mutu layanan jadi korban berikutnya.
Dialog-4: Hanya Regulator?
Mandatory Konstitusi sudah tegas dengan
Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Juncto Pasal 34 ayat (3): “Negara bertanggung jawab atas fasilitas pelayanan kesehatan yang layak.”
Artinya, RS swasta anggota ARSSI adalah mitra abadi a.k.a sekutu loyal negara dalam memenuhi kewajiban konstitusional. Bukan sekadar penyedia jasa pasar. Tegaskan mandatory diikutkan JKN BPJS Kesehatan.
Maka, Negara harus aktif-positif untuk agenda konstitusional berikut ini:
(1) Top-Up Insentif a.k.a Reward untuk RS Swasta yang sanggup Kompetensi Tinggi.
(2) Beri tambahan dana untuk RS dengan teknologi tinggi dan dokter unggul.
(3) Skema Aliansi RS Swasta – Pemerintah.
(4) RS Swasta bermitra dengan RS daerah untuk pelayanan bersama berbasis JKN.
(5) Tinjau terus proporsi layanan JKN vs layanan premium.
(6) Reformasi tarif jasa medis.
(7) Tetapkan tarif minimal nasional untuk dokter spesialis JKN sebagai pekerjaan dengan skill spesial yang kudu beda. Rujuk lah Putusan MK.
(8) Jangan biarkan RS menentukan sendiri atas jasa profesi dokter dan tenaga kesehatan juga SDM Kesehatan lain, kudu ada kelayakan dan kepastian.
Epilog: Bukan Dagangan
Di ruang tunggu rumah sakit, pasien tidak peduli siapa pemiliknya—swasta, yayasan, atau negara. Yang mereka butuh hanyalah: sembuh, cepat, dan manusiawi.
Tapi hari ini, RS Swasta dibiarkan bertempur sendirian. Acap kali RS Swasta mitra BPJS Kes gegabah divonis Fraud versi kacamata kuda JKN tanpa pembelaan.
Tak bijak dan adil jika Dokter mengorbankan kompetensi demi bertahan. Pemerintah tutup akal tatkala diminta alat kesehatan mahal tak dibebani pajak barang mewah. Dan, paradoksnya kepada rakyat dijanjikan “gratis” yang semu, yang justru membuat “disrupsi” sistem dari dalam.
Jika negara terus abai, maka RS swasta akan jatuh. Dokter unggul akan pergi. Dan rakyat hanya akan punya pilihan: antre atau mati.
Negara harus memilih: tetap menyandera mutu demi angka statistik, atau menyelamatkan masa depan pelayanan kesehatan yang bermartabat.
Jika pidato Menteri dengan gagah mengumandangkan kompetensi global, itu butuh good will dan keberanian pimpinan nasional. Bukan mematok beleids mengarah over utilisasi. Bukan sekadar bersolek regulasi administratif, tapi keputusan politik strategis reformasi fiskal layanan kesehatan pro RS dan SDM Kesehatan yang tak difasitasi dan bahkan nyaris tanpa proteksi RS domestik khususnya RS soliter kecil yang berjuang menyelamatkan nyawa sendiri.
Untuk menyelamatkan nyawa rakyat, dan RS Swasta soliter itu negara tak boleh lah setengah hati. Negara bukan penjaga malam, namun negara melayani yang bukan hanya utak atik regulasi teknis dan mengatur prosedur, tarif dan koding INA CBGs. CITO, publik menanti “operasi besar” kebijakan strategis atas nama layanan publik kesehatan berbasis kompetensi yang berkeadilan. Karena layanan kesehatan rakyat amanat konstitusi, maka Presiden adalah “Captain of The Team”. Tabik.
(Adv. Muhammad JONI, SH. MH., Founder Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia, Sekjen PP IKA USU).