Konstitusi Mengabdi kepada Cita-Cita Proklamasi (1)
Di selasar kantor saya ada sebuh lukisan kapal dengan layar terkembang. Itu bukan lukisan perihal kesenangan plesiran, namun bertemali dengan letupan pikiran hal ikhwal hukum. Acapkali, setakat patik menengoknya, sudut bidik bola mata melulu tertuju kepada kapal dan samudera, yang berkolaborasi sebagai takdir gambar perjalanan hukum di negeri kaum bahariawan.
Apa jadinya kapal tanpa samudera, yang mengapungkan dan memperjalankannya? Walaupun acapkali samudera begitu bergelora dengan gelombang menjulangnya. Takdir kapal adalah di atas samudera.
Kapal dan samudera sepasang tamsil yang mereproduksi inspirasi ikhwal berjalannya hukum. Pak Earl warren, Ketua Mahkamah Agung USA (1953-1969) pernah berujar, “In civilized life, law floats in the sea of ethics” (dalam kehidupan beradab, hukum mengapung di atas samudera etika). Persis setahun lalu, 18 Agustus 2015, saya menuliskan status, “Belajar kepada samudera, guru yang molek dan bergelora. Hukum mengapung di atas samudera etika. Hukum tak bergerak, jika samudera etika tidak mengalir”. Pesannya, etika adalah kausal berjalannya hukum.
Etika bukan sekadar hal ikhwal adab berjalan dan bertutur kata, namun etika adalah moral yang menjadi nilai yang dipatuhi sanubari manusia bangsa beradab. Moral-etika nucleus-nya hukum, yang terus menerus menjadi picu pemantik yang bekerja dengan cara natural ataupun formal, bermetamorfosis menjadi norma. Norma pun menjadi hukum.
Seperti kita tak menghirup udara yang sama, tak mandi dengan air kemarin, tak terpapar sengat matahari sisa siang kemarin, kehidupan sosial idemditto berubah dan berkembang. Pun demikian hukum terus berkembang dan berubah, karena hukum untuk manusia yang berkembang dan hukum itu memanusiakan manusia.
Kita pun patut bersyukur kepada moral-etika, yang merawat akal budi dan laku manusia beradab. Apa jadinya kalau semua diatur oleh hukum? Etika moral-lah yang lebih banyak membimbing khalayak. Anda tak memarkir mobil di depan pintu rumah tetangga, memberi senyum dan sapa kepada sesama saat berpapasan, menahan diri tak menebar fitnah di media sosial dunia maya, tak mengutil kertas dan inventaris kecil setakat pulang kantor, memberi maaf dan ishlah dengan seteru anda. Itu lebih dipantik moral etika. Bukan melulu soal ketakutan pada sanksi hukum.
Etika-moral pula yang menggerakkan masyarakat sipil dan pegiat HAM bersuara lantang melawan penggusuran paksa kaum marginal perkotaan di Luar Batang, menghardik kekerasan aparat yang terjadi di Sari Rejo, Medan, menistakan kong kali kong aparat dengan sindikat narkoba, membenci pemerkosaan anak yang sadistis tanpa iba, ataupun sekadar menulis status media sosial menyetujui doa “menggemparkan” ala Romo Mohammad Syafie setakat pembukaan sidang paripurna di Senayan yang menuai simpati warga.
Sejatinya, moral-etika adalah garda paling depan menjaga ketertiban, bukan hukum, alih alih hukum pidana yang mengandalkan sanksi badan. Tersebab itu dulu digagas Prof.Hazairin, guru besar Universitas Indonesia: “Negara tanpa Penjara”. Sejurus pandangan itu, pemikir hukum Prof.Hari Chand, dalam “Modern Jurisprudence” bertutur sanksi tidak selalu dibutuhkan.
Katanya, the need for having sanction arises but not necessarily for every law.
Moral-etika adalah isi fundamental konstitusi, yang dibenihkan terus menurus sebagai paham, sebagai isme, yang dititelkan sebagai konstitusionalisme. Agar konstitusi tetap segar bugar dan bertenaga menjaga harkat martabat dan kesejahteraan rakyat.
Kita perlu merawat tenaga samudera etika itu untuk menjalankan kapal hukum. Moral etika itulah yang menjadi nucleus keadilan dalam teks konstitusi. Bukan pula hanya sebatas kalimat-kalimat konstitusi tertulis semata, namun semangat dari dalam (intrinsik) keadilan itu sendiri. Yang oleh Mahfud MD, saat menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) disebutnya sebagai keadilan substantif (substantive justice). Menjawab keadilan substantif itulah, MK dilahirkan untuk mengawal keadilan konstitusional, yang bukan hanya mengabdi kepada konstitusi tertulis semata. Belakangan, Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) juga terinspirasi untuk menggiatkan masyarakat mengawal nucleus konstitusi.
Oleh: Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)