Konstitusi Mengabdi kepada Cita-Cita Proklamasi (3): Informalitas Rakyat
Kembali ke soal Proklamasi. Satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, 18 Agustus 1945 lantas disahkan UUD 1945, yang bersifat ringkas dan sementara. Proklamasi itu memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan, lepas dari belenggu kolonialisme. Merdeka menjadi bangsa yang sejahtera, tersebab sejahtera alasan mengapa kita bernegara. Pasukan tentara republik yang berjuang, pun semula berasal dari rakyat sebagai tentara keamanan rakyat. Yang semula informal berasal dari rakyat kemudian menjadi formal sebagai tentara keamanan rakyat sampai akhirnya kini menjadi TNI.
Ternyata, bangsa dan negara ini bermetamorfosa dari yang informal kepada formal. Dari rakyat kepada Negara. Kalau bangsa Indonesia rupanya belum selesai dari informalitas dan marginalitas itu, mengapa tergopoh dan arogan membenahi kota untuk memanjakan kaum yang berada di sektor formal semata? Bukankah masyarakat dunia justru menggemakan kota inklusif? Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) rajin membahas Agenda Baru Pembangunan Perkotaan (New Urban Agenda-NUA). Salah satu dasar isu penting yang diangkat adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yaitu “No one left behind”(tak seorangpun yang akan tertinggal).
Penting ditambahkan, konferensi Habitat III yang bertemakan Leave Noone Behind, Urban Equity and Poverty Eradication maka kota dituntut untuk berpihak pada semua kalangan terutama kaum kaum marginal. Pembangunan perkotaan tidak hanya memihak pada pemilik modal dan kaum elite saja. Namun juga semua penduduk sehingga kota tidak hanya menjadi kepemilikan sebagian golongan saja. Untuk dapat membangun kota secara berkelanjutan, perlu mewujudkan kota inklusif.
Tahukah pembaca, figur kependudukan rumah tangga Indonesia itu seperti vas bunga. Besar dibagian bawah (28,59 juta orang atau 11,22%, naik 0,86 juta orang dibandingkan September 2014 sebesar 27,73 juta orang atau 10,96%). Postur penduduk “vas bunga” itu mengecil di tengah dan membesar lagi ke atas. Artinya, ada kesenjangan pendapatan. Bagian terbesar berpendapatan rendah, dan bekerja (dan tinggal) di sektor informal. Rakyat kita masih terseok di aras informalitas dalam jumlah signifikan.
Kaum yang terjerat informalitas itu acap tersisihkan dengan sistem formal, apakah jaminan sosial, perbankan, pencatatan tanah, perumahan rakyat, bahkan jurus mengurus kota. Saat ini, seakan membeli rumah layak huni hanya disediakan pasar rumah formal melalui pengembang, pun termasuk pengembang plat merah. Padahal, bagian terbesar membutuhkan dan rakyat membangun sendiri dengan swakarsa yang dikenal sdebagai rumah swadaya. Soal jaminan kesehatan, baru 5 tahun ini Indonesia memiliki Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ala BPJS untuk semua (for all) dan bersifat nasional. Sebelumnya parsial dan menjamah sektor formal.
Dalam kondisi rakyat kita yang informal dan marginal seperti itu, dimana logika dan moral etika ketika sontak hendak mendandani kota dengan jurus elitis yang disebut sahabat saya Jehansyah Siregar, pengajar ITB sebagai “beutifikasi” kota, yang menyingkirkan orang kecil, kaum informal-marginal. Kota pun menjadi eksklusif, padahal dunia mengemakan kota inklusif bagi segala kelas warga.
Sedana itu, Parwoto, pakar perumahan komunitas, menyebutkan kota lebih banyak mengeluh dan mem-punish warganya dengan menggusur, digaruk dengan operasi justisi. Kota perlu inklusif kepada semua kelas warga. Otoritas kota perlu membuat kawasan pemberdayaan yang mendidik warga agar menjadi good citizen dan kemudian produktif, ungkap Parwoto saat diskusi perumahan rakyat yang digelar The Housing and Urban Development (HUD) Institute, 11 Agustus 2016, di Ancol, Jakarta.
Ditengah informalitas rakyat Indonesia, dengan bukti figur kependudukan seperti vas bunga, dengan penduduk miskin yang masih signifikan namun kelompok menengah masih kecil belum kuat bertenaga, akankah moral etika membenarkannya jika negara dikelola hanya untuk kepentingan sekelompok formal semata? Hanya kelompok yang berada di atas, dan memaksa kelompok menengah terengah-engah seakan naik ke lapisan sosial atas dengan konsumtifisme sehingga menghabiskan pendapatan sebagai konsumen atas kesenangan permukaan semata?
Dalam situasi itulah, diperlukan moral-etika menggiatkan keadilan konstitusional, untuk mencapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, dimana sejahtera adalah alasan bernegara.
Dengan konstruksi sosial-ekonomi rakyat yang masih informalitas dan marginal dalam jumlah signifikan ala figur vas bunga itu, kepekaan moral-etika mesti dipertajam dalam mengendus perasaan keadilan rakyat. Menuju keadilan subtantif dan menjejakkan amanat konstitusi.
Ringkasnya, konstitusi yang berorientasi dan berbakti kepada cita-cita Proklamasi. Selamat Hari Konstitusi, 18 Agustus 2016.
Oleh: Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)