Konstitusionalitas Wajar 12 Tahun

JAUH sebelum Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) mengusung rintisan wajib belajar (Wajar) 12 tahun, beberapa daerah justru sudah menggerakkannya. Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), di Propinsi Sumatera Utara (Sumut), sudah membuat Peraturan Daerah (Perda) soal itu.

Agaknya, bukan soal kemampuan dan daya ungkit anggaran soal utamanya. Tetapi komitmen dan pemihakan pada pemenuhan hak pendidikan, menjadi soal utama dalam pelaksanaan Wajar 12 tahun. Kalau ibu kita rela bekerja keras  di pasar, dan menjual emas, sawah, ladang  demi membiayai sekolah anak-anaknya ke perguruan tinggi, mengapa  ibu pertiwi tak hendak melakukannya? Sebagai tim ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), saya mengirim analisis dan pendapat tertulis kepada lembaga negara itu agar mendorong Wajar 12 tahun, dengan mendesakkan perubahan kebijakan pendidikan nasional soal wajib belajar. Salah satu argumentasi dasarnya bahwa pemenuhan hak pendidikan merupakan hak konstitusional dan hak anak yang pemenuhannya harus secara progresif dan bukan upaya biasa-biasa (ordinary effort).

Terkait dengan rintisan Wajib Belajar 12 tahun (Wajar 12 tahun) yang pernah diusung Menteri Pendidikan Nasional, secara konseptual  merupakan kemajuan penting  dalam pemenuhan hak anak atas pendidikan.

Namun demikian, arah harus diubah dan regulasi diperbaiki. Arah kebijakan pendidikan maupun kebijakan anggaran ke depan haruslah menyediakan  landasan juridis dan legislasi program  Wajar 12 tahun.  Landasan normatif Wajar 9 tahun yang selama ini mengacu pasal 6 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian  diikuti dengan pasal 48 UU Nomor 23 tahun 2002, dinilai sudah tidak relevan dan ketinggalan dengan realitas kebijakan di daerah.

Untuk kepastian hukum dan kepastian tindakan  pemenuhan (to fulfill) hak anak atas pendidikan maka semestinya program  Wajar 12 tahun perlu dikembangkan lebih luas dan kuat agar tidak hanya sebatas program rintisan namun upaya sungguh-sungguh, progresif. Dan karenanya membutuhkan tindakan dan political will luar biasa dari segenap pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan termasuk  kebijakan anggaran yang lebih optimum untuk alokasi  program Wajar 12 tahun tersebut.

Tak salah jika masyarakat dan pegiat hak anak menyerukan agar program Wajar 12 tahun diupayakan bukan program  rintisan yang terlalu lama. Maksudnya? Kalau rintisan bisa saja dengan alasan fiskal, langkah itu surut lagi dan dengan aneka dalih  kembali surut kepada  kebijakan Wajar 9 tahun. Apalagi  Wajar 12 tahun  belum memiliki  landasan undang-undang yang pasti. Hal ini diperlukan agar program rintisan Wajar 12 tahun tidak dieliminir pada masa-masa mendatang  dengan berbagai alasan keuangan negara.

Pendidikan sebagai hak konstitusional  yang  pelaksanaannya dengan upaya yang progresif, dan luar biasa (extraordinary) dan setara. Dalam perspektif hak ekonomi sosial dan budaya, dan hak-hak anak, pendidikan mesti dilakonkan dengan progresif, upaya luar biasa  (extra-ordinar effort) dan dengan azas kesetaraan (on the basis of equal opportunity).

Berdasarkan Universal Declaration on Human Rights (UDHR) (1948),  bahwa: “Every one has the right to education. Education shall be free, at least in elementary and fundamental stages.

Elementry education shall be compulsory.” Berdasarkan pasal 28 ayat (1) CRC (1989) menegaskan hak atas pendidikan: “State parties recognize the right of the child to education, and with a view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity”.

Dengan demikian pelaksanaan  atas hak pendidikan dilakukan dengan upaya pencapaian untuk pelaksanaan penuh (a view to achieving full realization). Oleh karena itu, rintisan Wajar 12 tahun membutuhkan  landasan hukum yang pasti. Tepat jika  KPAI mendesak dan melakukan advokasi yang mendorong agar DPR dan Mendikbud  menyegerakan Wajar 12 Tahun termasuk dengan  menyiapkan landasan hukum yang merevisi ketentuan pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas, sehingga pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas dimaknakan dalam kebijakan operasional menjadi seperti ini: “setiap warga negara berumur 7 (tujuh) sampai 18 (delapan  belas) tahun wajib mendapatkan pendidikan”.

Secara faktual  Wajar 12 tahun bukan hal baru dan bukan pula ikhtiar muskil dan mewah. Faktanya berbagai daerah lebih progresif walaupun tidak terlalu kaya sumber daya alam dan energinya, justru  sudah lebih awal  menjalankan Wajar 12 tahun, seperti  Kabupaten Jembrana (Bali), Kabupaten Sergai, Kota Tanjungbalai (Sumut), Kota Surabaya, Kabupaten Metro (Lampung) sudah memiliki political will termasuk dengan mengintegrasikannya ke dalam Peraturan Daerah (Perda) terkait Wajar 12 tahun tersebut.  Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta juga sudah melaksanakan rintisan Wajar 12 tahun di DKI Jakarta. Jadi Wajar 12 tahun bukan hal musykil, aneh dan mewah.  Bahkan negara jiran seperti halnya Thailand  telah mendahului dengan kebijakan Wajar 15 tahun.

Sebagai ikhtiar yang progresif, maka patut jika pemerintah mencegah putusnya kelanjutan pendidikan anak tamatan SMP yang masih signifikan. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari 3,7 juta lulusan SMP, yang melanjutkan ke SMA/SMK hanya sekitar 2,2 juta. Selebihnya sebanyak 1,5 juta lulusan SMP tidak melanjutkan pendidikan yang kemungkinannya menganggur atau bekerja.

Jika berbagai daerah sudah memulai Wajar 12 tahun, maka tak ada alasan kuat pemerintah pusat menunda program Wajar 12 tahun dengan mengoptimumkan kebijakan anggaran pendidikan Wajar 12 tahun. Di samping itu, memastikan efisiensi dan rasionalisasi belanja rutin dan tentu saja memastikan pemerintahan yang bersih (clean government).

Harusnya Mendikbud segera merevisi  pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas,  guna memperkuat landasan yuridis Wajar 12 tahun  agar mencegah terputusnya kelangsungan pendidikan anak-anak dan rendahnya derajat pendidikan anak.

Secara resmi, peran Indonesia juga telah meminta Mendikbud dan Menko Kesra  melakukan  tindakan pemerintahan yang progresif yakni dengan cara memahami  pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas  sebagai Wajar  12 tahun adalah  hak anak usia 7 s/d 18 tahun.  Jika revisi normatif tidak dilakukan, sudah cukup alasan untuk menguji konstitusionalitas pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Demi kepentingan pendidikan anak Indonesia.
(Muhammad Joni )

Harian Medan Bisnis, Wacana Selasa, 10 Jul 2012 07:26 WIB

Leave a Reply