Kontroversi KY Seleksi dan Awasi Hakim Konstitusi: Ini Argumen MKI

Landscap  tata  kekuasaan kehakiman sedang  bergerak dinamis. Setidaknya terkait kekuasan mana yang berkuasa menyeleksi, mengusulkan dan mengawasi hakim konstitusi. Benarkah KY berwenang? Soalnya, uji materi  UU No. 4/2014 yang menetapkan Perpu  No.1/2013 menjadi Undang-undang (UU) tengah diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Termasuk pula yang diajukan  Mayarakat Konstitusi Indonesia (MKI). Sebelumnya, 30 Januari 2014 MK memutuskan tidak menerima  4 permohonan uji materil  Perpu Nomor 1 tahun 2013 ihwal MK itu. Pertimbangannya tunggal,  permohonan  kehilangan objek  karena Perpu  sudah  menjadi UU.

Apa argumen hukum MKI menguji itu? Isu utamanya konstitusionalitas   kekuasan Komisi Yudisial (KY) menyeleksi dan usulkan calon hakim konstitusi.  Benarkah  UUD 1945 memberi kekuasaan KY?

Kua normatif, UU No.4/2014, memberi kekuasaan KY dalam  seleksi uji kelayakan calon hakim konstitusi melalui Panel Ahli.  Merujuk  Pasal 1 angka  (4), Pasal 1  angka (5), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (2) huruf d, Pasal 18C ayat (5), Pasal 20 ayat (2)  Lampiran UU No.4/2014. MKI berdalil,  KY tak berwenang menyeleksi dan usulkan hakim konstitusi.  UUD 1945  tidak eksplisitmemberi kekuasaan  kepada KY  menyeleksi dan  usulkan hakim konstitusi. Rujukannya  Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (1), Pasal 24C ayat (6) UUD 1945.

Kekuasaan Kehakiman   esensinya  kekuasaan  Negara guna   menjamin  Negara Hukum (rechtstaat).  UUD 1945 memberi  kekuasaankehakiman pada 2  mahkamah:  Mahkamah Agung (MA) dan  Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu ekplisit dalam   Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. UUD 1945 melengkapi perkakasnya  dengan KY  yang  mandiri  yang ditentukan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

KY hanya  diberi kekuasaan mengusulkan calon hakim agung kepada DPR  (vide Pasal 24A ayat (3) dan 24B ayat (1) UUD 1945).  Tidak memberi kekuasaan  kepada KY  mengusulkan calon hakim konstitusi.  Kedua pasal itu jelas dan terang. Suatu keputusan politik  agung yang diputuskan secara sadar dan konsisten menjadi konstitusi.

Kua teoritis,  kedua pasal  UUD 1945 itu merupakan hukum konstitusi (the law of the constitution) yang dalam pandangan Jhon Alder disebut sebagai prinsip dasar (the basic principle). Menjadi  hukum yang mutlak (strict law) yang tidak dapat ditafsirkan dengan  sumber sekunder selain kedua pasal itu.

Lagi pula, andai demokrasi dijadikan alasan atau check and balances dipakai sebagai argumentasi, namun itu bisa ditolak dengan dalil bahwa demokrasi  itu tidak berdiri sendiri, namun  demokrasi  berdasarkan  hukum  (Democratische Rechsstaat).

Apa kata pakar hukum ihwal kekuasaan KY?  Rujukan yang berkelas dapat dipetik dari  Djimly Asshiddiqie. Beliau mendalilkan,  “Apabila dikaitkan dengan origimal intent dan sistematika Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C (UUD 1945), sangat jelas bahwa tugas konstitusional Komisi Yudisial hanya terkait dengan Mahkamah Agung dan hakim di lingkungan Mahkamah Agung saja. Apalagi hakim konstitusi sangat berbeda dari hakim biasa yang merupakan hakim karena profesi atau judges by profession” [vide Djimly Asshiddiqie,“Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal.  hal. 156].

Lagi pula,  ihwal seleksi dan mengusulkan hakim agung setarikan nafas dengan pengawasan hakim agung yang berada di tangan KY.  Bagaimana dengan MK?    MK sendiri sudah membuat putusan Nomor 005/PUU-IV/2006. Pada  pokoknya MK memutuskan  Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial sepanjang menyangkut  kata hakim konstitusi yang dimaksudkan untuk pengawasan hakim konstitusi, sudah tidak berlaku lagi.

Nah, teranglah bahwa KY tak berkuasa atas seleksi, pengusulan dan pengawasan hakim konstitusi. Itulah penjelasan konstitusionalnya, setidaknya pandangan MKI. Pandangan lain yang berbeda, akan mengayakan khazanah hukum konstitusi. Proses uji materi UU No.4/2014 diharap menyumbang  hikmah dan membangun hukum konstitusi.

Leave a Reply