Kontroversi UU DikDok: Ihwal Dokter Layanan Primer

Ihwal menarik apa jika advokat bersekutu dengan dokter? Yang pasti, keduanya bukan seteru.  Justru elok bertemali memperjuangkan derajat hidup dan kesahatan manusia, demi keadilan substantif masyarakat dan konstitusionalisme profesi dokter.  Setidaknya itu yang penulis lakoni.

Setakat diskusi dengan pentolan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) medio Maret 2014, terkuak  kegusaran  atas  UU No.20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran (“UU DikDok”) yang menelusupkan  program dokter layanan primer atau disebut singkat dengan DLP setara spesialis, dan hanya bisa di Fakultas Kedokteran.

Nomenklatur DLP  tidak dikenal dalam UU Praktik Kedokteran (UU PraktikDok), maupun regulasi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI),  lembaga yang merepresentasi Negara dalam  hal pembinaan dan pengaturan praktik kedokteran.  Rezim hukum  UU PraktikDok hanya membedakan antara dokter dengan dokter spesialis.  Secara tiori dan praktik, DLP itu terminologi ataupun konsep sistem pelayanan kesehatan, yang menangani pasien di lini depan alias primer.

Gunanya? Agar pasien tak langsung bergegas  masuk  sistem sekunder, atau melulu masuk akses kompetensi spesialis dan sistem tertier dengan kompetensi subspesialis. Sistem pelayanan primer itu menjadi gate keeper kesehatan masyarakat. Ringkasnya, DLP bukan   ihwal kompetensi tetapi sistem pelayanan, tutur Dr.Hasbullah Thabrani.  Sistem pelayanan itu manajemen,  kompetensi itu kelayakan profesi.

Praktik profesi kedokteran  itu seperti hukum alam yang universal, sehingga berlaku dimanapun melewati batas negara.  Di negara manapun,  mustahil pendidikan kedokteran tanpa praktik kedokteran. Pendidikan kedokteran berorientasi pada praktik kedokteran.  Itu valid dan universal.  Mengapa? Karena pendidikan profesi itu berasal dari dan bagian penting praktik kedokteran.

Setakat ini, UU DikDok sudah tepat mengambil rasio hukumnya  [Pasal 7 ayat (2) UU DikDok],  yang mengambilalih logika bahwa pendidikan kedokteran subsistem praktik kedokteran.  Namun, anehnya, konsideran “Menimbang” huruf c UU DikDok justru disorientasi, karena menjadikan pendidikan kedokteran hanya subsistem pendidikan nasional saja.

Makin terang disorientasi UU DikDok  dari UU PraktikDok.  Buktinya, dalam UU PraktikDok  tidak mengenal term/kualifikasi DLP,  yang ada hanya dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis [vide Pasal 1 angka 2, Pasal 29 ayat (3) UU PraktikDok].   Pendidikan dan Pelatihan dalam UU PraktikDok justru bersifat wajib (Pasal 28 ayat 1) untuk meningkatkan kompetensi (Pasal 27) melalui jalur Kolegium organisasi profesi.  Jadi, kua-sistem, tidak akan ada dokter tanpa meningkatkan kompetensi, karena menyangkut pengakuan atau registrasinya sebagai dokter. Berbeda dengan UU DikDok yang menggunakan jalur formal Fakultas Kedokteran dan biaya mahal tentu.

Versi  UU DikDok,   dokter   mengikuti program  DLP  disetarakan dengan program spesialis, yang tentu  biaya setara biaya program spesialis. Namun kompetensi dan strata lulusannya bukan dokter spesialis.  Padahal, dokter umum non DLP kompeten dalam pelayanan primer, atau menjadi gate keeperpelayanan kesehatan.  Jangan heran jika terendus komersialisasi program DLP.

Pun demikian, tidak terelakkan  pula analisa bahwa  program DLP  itu mengambil alih otoritas  pendidikan dan uji kompetensi dokter dari Kolegium dari organisasi profesi. UU DikDok memandulkan Kolegium, karena  program DLP hanya  dapat diselenggarakan  Fakultas Kedokteran yang memiliki akreditasi tertinggi  [vide Pasal 8 ayat (1) UU DikDok].  Tak elok jika UU DikDok menghalalkan “monopoli” program DLP.

Selain itu, strata DLP  mengaburkan  lingkup pelayanan praktik dokter  (umum) atau General Pratitioner (GP) yang tak diragukan kompetensinya untuk layanan primer. Terbukti,  dokter (umum) atau General Practitioner mampu  menangani 80% jenis penyakit pasien. Bahkan ihwal Obgyn (Obstetri dan ginekologi ) pun bisa masuk kompetensi dokter umum atau GP, ungkap Prof. Hasbullah Thabrani. UU DikDok  sangat mungkin  menimbulkan ancaman “kriminalisasi” terhadap dokter, tukas Prof. Hasbullah Thabrani dihadapan 2500 dokter anggota PDUI setakat  Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan Musyawarah Kerja Nasional,  12 April 2014, di Jakarta.  Akibatnya? UU DikDok  merupakan blocking  akses masyarakat dan pasien kepada dokter.

Dengan norma DLP dalam UU DikDok,  seakan layanan primer hanya sah ditangani lulusan program DLP.  Menegasikan dokter (umum) atau GP. Itu menjadi blokade lingkup dokter melayani masyarakat. Artinya,  UU DikDok melanggar hak konstitusional dokter atau GP sebagai warga negara  atas jaminan pekerjaan/profesi yang dijamin Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

Seterusnya,  UU DikDok menghambat  hak konstitusional atas pelayanan kesehatan dari  Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, dan  hak konstitusional atas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai sistem jaminan sosial nasional (Pasal 28H ayat 3 UUD 1945).  Ada 116,1 juta jiwa peserta JKN, belum termasuk Jaminan Kesehatan Aceh (1,2 juta) dan Kartu Jakarta Sehat (2,2 juta).

Lebih dari itu,  dalam kasus pasien darurat, bisa mengancam hak hidup dan kelangsungan hidup, termasuk hak hidup dan kelangsungan hidup anak (Pasal 28A, dan Pasal 28B ayat 2 UUD 1945). Padahal hak hidup adalah hak utama (supreme rights), yang tak boleh direntapkan walau keadaan darurat sekalipun.

Haruskah membiarkan ini?  Hallo Mendikbud?

Leave a Reply