Kriminalisasi Hakim dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak

RUU Sistem Peradilan Pidana Anak disahkan parlemen 4 Juli 2012 lalu. Anak berkonflik  dengan hukum seakan bersorak kencang, namun kalangan hakim dari Mahkamah Agung (MA) meradang. Pasalnya, UU pengganti UU Nomor 3 tahun 1997 itu dituding mengerus kemandirian hakim.

Ada pasal kriminalisasi kepada hakim. UU baru itu mengancam pidana atas tindakan hakim menahan anak melebihi jangka waktu yang ditentukan. Artidjo Alkostar, Ketua Muda MA berkukuh, hakim bersifat merdeka dan bebas dari semua kepentingan (Republika, 16 Juni 2012).

Selain soal lewat waktu menahan anak, ancaman pidana atas tindakan hakim yang tidak menjalankan mediasi dalam proses menyidangkan anak, dan memublikasi identitas anak yang menjalani proses pidana. Mungkin sekali hakim atau oraganisasi hakim mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), seperti terendus dalam  berita   bertitel “Hakim ngotot enggan dipidana”,  harian  Republika, 16 Juli 2012.

Tak hendak melebar ke soal mediasi dan memublikasi, esay ini menyoroti soal penahanan anak yang tak sesuai ketentuan. Soal ini dapat diuji dengan pertanyaan dasar, apakah perbuatan menahan  anak  melebih jangka waktu yang ditentukan masuk kualifikasi perbuatan  jahat alias pidana atau bukan?  Apakah menahan orang atau anak tanpa hak dan melewati ketentuan yang sah, adalah kesalahan administratif atau perbuatan jahat yang masuk kualifikasi pidana?

Pasal itu menjadi debat bla bla bla, dengan segara jurus dalihnya. Namun kita mesti menerimanya. Gedegam, ketuk palu pimpinan parlemen telah mengesahkan UU 4 Juli 2012 lalu. Namun sebagai norma baru,   itu sah setelah  palu  dijatuhkan. Hmmm,

Pertama-tama kita mesti bersyukur bahwa Negara ini telah memberikan penghargaan hak asasi manusia (HAM)  khususnya   hak anak sudah tertera dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai hak konstitusi produk amandemen konstitusi ke  konstitusionalisme yang semakin  pro-hak anak.

Atas dasar itu, tak salah jika  UU baru itu membuat norma baru yang progresif dalam mencegah   perampasan kebebasan (deprived liberty) sewenang-wenang kepada anak-anak. Apakah itu  penangkapan (arrest), penahanan (detention) ataupun pemenjaraan (imprisonment).  Mengapa? Semua aktifis HAM dan advokat tahu, bahwa perampasan kemerdekaan sewenang-wenang,  walaupun untuk masa yang amat pendek sekalipun adalah pencideraan  HAM/hak anak.

Untuk lebih terang, saya menurunkan ketentuan Pasal 37:B Konvensi hak Anak (KHA), yang eksplisit soal ini. Ditegaskan, penangkapan (arrest), penahanan (detention) ataupun pemenjaraan (imprisonment) hanya dapat terjadi jika bersesuaian dengan hukum (conformity with the law), upaya terakhir (the last resort) dan untuk jangka waktu paling pendek (for the shortest possible time). Bahkan hanya untuk kasus-kasus yang eksepsional  (limited to exceptional cases) saja.

Sekaitan itu juga,  Pasal 66 ayat (4) UU HAM dan Pasal 16 ayat (3) UU Perlindungan Anak, walaupun  hanya mensyaratkan “sesuai dengan hukum yang berlaku” dan “hanya data dilakukan sebagai upaya terakhir”. Walaupun kedua norma itu  tidak menerakan  norma “untuk jangka waktu paling pendek”  Inilah titik acuan mencermati pasal kriminalisasi hakim atas penahanan yang melebihi jangka waktu ditentukan, yang membuat berang MA.

Wajib sesuai hukum

Lewat waktu dalam menahan anak,  sangat naïf  bila  dipahami  hanya  kegagalan dan kelambanan  administrasi.  Kita mesti   menggebrak  isu ini  sebagai bentuk  menciderai hak anak yang tak ditoleransi.    Bukankah kua-juridis dan per-HAM  perampasan kemerdekaan itu hanya bisa dilakukan apabila sesuai dengan hukum. Sekali lagi: bersesuaian dengan hukum (shall be conformity with the law). Sulit akal sehat menerima alasan jika ada orang ditahan melebihi masa yang ditentukan karena administrasi belum jalan.

Implikasinya? Terjadi apa yang disebut  perampasan kemerdekaan yang tidak sesuai hukum. Pencideraan HAM yang senyata-nyatanya.  Rumusnya sudah jelas:  “perampasan kemerdekaan  wajib bersesuaian dengan hukum  (shall be conformity with the law)”.

Karena itu, perampasan kemerdekaan sewenang-wenang adalah melanggar HAM, dan absah masuk sebagai kualifikasi perbuatan yang diancam pidana.
Dengan kata lain, kriminalisasi kepada siapapun termasuk hakim, yang merampas kemerdekaan tanpa alasan yang sah, seperti diuraikan diatas, adalah perbuatan yang tidak elok hanya dipandang sebagai soal etika semata-mata.

Jangan pula kita  tergopoh-gopoh mengatakan itu menghantam kebebasan hakim dalam membuat putusan. Justru, pasal itu memberi rambu hukum yang terang agar hakim hati-hati dalam merampas kemerdekaan orang lain.

Andai soal ini diajukan pengujian ke MK, itu langkah yang absah. Saya merasa perlu memberikan advis kepada KPAI bahwa perdebatan soal ini bisa dilanjutkan di ruang sidang MK.  Konstitusi menjadi timbangan dan takarannya, termasuk   norma Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Jalan yang sangat fair dan elegan. Bukankah dulu juga  KPAI mengajukan JR terhadap  5 (lima) pasal UU Nomor 3 Tahun 1997.

Kebanggaan apa yang hendak diraih jika Negara anggap enteng soal  lewat waktu menahan kemerdekaan anak?

Leave a Reply