Kriminalisasi Hunian Berimbang: “Hoax Of The Law?”
Ini bukan hoax seperti fenomena dunia maya, tetapi berita akurat yang membetot perhatian stakeholder perumahan dalam durasi yang tidak pendek. Berita Menpera melaporkan 191 pengembang kepada Kapolri dan Kejaksaan Agung diturunkan Bisnis Indonesia, 18 Juni 2014. Diwartakan, ratusan pengembang se kawasan Jabotabek yang diduga melanggar ketentuan hunian berimbang. Masih menurut media, pelaporan itu dengan dalih pelanggaran UU No. 1/2011 (UU PKP) dan Permenpera No.7 Tahun 2013.
Pelaporan itu tak bisa ditolak sebagai fakta, namun perlu dikritisi secara jernih dan obyektif. Cara yang paling jenih dan obyektif menelusuri fakta pelaporan hunian berimbang itu adalah menggunakan analisis kritis hukum, termasuk ilmu pengetahuan hukum yang menurut Stone, merupakan “the eye of the law”.
Bahkan, analisa hunian berimbang menelusup secara mendasar ke ranah konstitusi: Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, karena hunian berimbang dalam UU PKP merupakan skim untuk merumahkan rakyat dan mengatasi backlog.
Apakah yang sedang terjadi? Seperti pengetahuan sang Ronin, julukan untuk the masterless samurai, berita itu bisa jadi seperti sepenggal adegan penemuan “ranting patah” di tepi hutan dalam kisah film forty-seven Ronin.
Kembali ke soal pelaporan hunian berimbang. Adakah validity landasan hukum melaporkan pelanggaran hunian berimbang kepada Kejaksaan dan Kepolisian? Seakan-akan idemditto perbuatan kriminal? Tema diskusi kali ini “Menyoal Kriminalisasi Hunian Berimbang?” diharapkan menjawab pertanyaan besar: Apakah pelaporan hunian berimbang itu memiliki dasar hukum yang valid, ataukah terjebak dengan “hoax of the law”?
Kewajiban genuine Pemerintah
Apakah maksud asli (original intent) dari skim hunian berimbang dalam UU PKP? Tak lain adalah untuk membantu Pemerintah dalam menyediakan rumah untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan mengatasi defisit perumahan alias backlog.
Kua konstitusi, kewajiban konstitusional atas hak bertempat tinggal adalah kewajiban negara yang diamanatkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Negara berkewajiban memenuhi hak bertempat tinggal, yang kemudian dirumuskan menjadi hak bermukim. Karena itu, hak bermukim mengandung anasir kepentingan publik yang wajib menghadirkan peran, tanggungjawab, wewenang dan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Turunan kewajiban konstitusional itu, dalam UU PKP, Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR [Pasal 54 ayat (1) UU PKP]. Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah wajib memberi kemudahan pembangunan dan perolehan rumah [Pasal 54 ayat (2) UU PKP]. Uraian mengenai jenis kemudahan dan atau bantuan bagi MBR eksplist dalam Pasal 54 ayat (3) UU PKP.
Maksud asli UU PKP sangat jenih mendudukan kewajiban Pemerintah merumahkan rakyat juga muncul sebagai tanggungjawab Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah dalam pembangunan rumah umum, rumah khusus dan rumah negara [vide Pasal 39 ayat (1) UU PKP]. Untuk itu, Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan membangun rumah umum, rumah khusus, rumah negara. [Pasal 39 ayat (2) dan (3) UU PKP].
Sejalan itu, Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) oleh UU PKP diberikan wewenang [Pasal 16, 17, 18 UU PKP] untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab diatas.
Jelaslah, wewenang, kewajiban dan tanggungjawab merumahkan rakyat berada pada Pemerintah dan Pmerintah Daerah. Bukan wewenang, kewajiban dan tanggungjawab swasta sebagai nonstate actor. Mengapa? Karena swasta tidak diberikan wewenang, kewajiban dan tanggungjawab oleh UU PKP, seperti halnya Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Atas dasar itu, posisi badan hukum hanya sebatas partisipasi dan bukan penerima amanat konstitusional dari UUD 1945. Bukan pula penyandang kewajibangenuine dari UU PKP untuk merumahkan rakyat dan mengatasi backlog.
Dengan demikian, walaupun secara normatif UU PKP melekatkan kewajiban hunian berimbang kepada badan hukum [vide Pasal 34 ayat (1), (2) dan Pasal 36 ayat (1), (2) UU PKP], dengan analisa sistematis terhadap subtansi hukum UU PKP, maka kewajiban badan hukum itu merupakan derivatif dari kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk merumahkan rakyat, mengatasi backlog, dan menyediakan rumah yang layak huni dan terjangkau bagi MBR. Oleh karena itu, konsepsi hunian berimbang merupakan partisipasi badan hukum nonstate actor kepada perumahan publik (public housing).
Kalaupun Kementerian Perumahan Rakyat membuat ketentuan hunian berimbang dengan rasio 1:2:3, hal itu adalah dalam konsep partisipasi terhadappublic housing, yang dikemas dalam rangka mengatasi backlog. Dengan demikian, hemat saya, skim hunian berimbang sederajat dengan skim kemudahan dan bantuan yang wajib disediakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana Pasal 54 ayat (3) UU PKP.
Andai kewajiban merumahkan MBR adalah kewajiban Pemerintah, dan hunian berimbang dimaksudkan untuk mengatasi backlog, maka wajar dan absah jika Pemerintah menyediakan kemudahan dan bantuan tersebut. Dengan kata lain, hunian berimbang sebagai bagian dari ihtiar konstitusional merumahkan MBR, semestinya didukung oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyandang kewajiban genuine merumahkan rakyat.
Kalau logika hukum ini dilanjutkan, maka kewajiban badan hukum atas hunian berimbang, hanya efektif jika secara sinergis Pemerintah mewujudkan bantuan dan kemudahan yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 54 ayat (3) UU PKP.
Kalau logika hukum ini dijadikan acuan, maka Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas kemudahan dan/atau bantuan dimaksud. Wajib adalah perintah, tidak ada keraguan disana. Anehnya, dalam konteks hunian berimbang, norma Pasal 34 ayat (4) UU PKP justru menurunkan derajat kewajiban Pemerintah itu, karena menggunakan frasa “dapat” dalam memberikan insentif kepada badan hukum. Karena frasa yang dipakai adalah “dapat” yang berarti yang bisa “iya” bisa “tidak”, bukan frasa “wajib” yang mengikat, padahal itu kewajiban genuine Pemerintah yang diberikan UU PKP.
Dengan demikian, ketentuan hunian berimbang Pasal 34 ayat (4) UU PKP, jika dikaitkan dengan kewajiban konstitusional Negara dan kewajiban genuinePemerintah merumahkan rakyat yang berasal dari UU PKP, maka terdapat inkonsistensi norma hukum yang menyimpang dari maksud asli UU PKP. Jika ada norma dalam UU yang tidak konsisten, keadaan itu disebut inkonstitusional dan tidak akan dibiarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pendapat MK: “Mahkamah sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, tidak akan membiarkan adanya norma dalam Undang-undang yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan amanat perlindungan konstitusional yang dikonstruksikan oleh Mahkamah”. (Vide Putusan MK Nomor 1/PUU-VIII/2010, hal.153).
Begitulah cara yang jernih dan obyektif menelaah norma hukum, yang tidak bisa dibaca sepotong-sepotong, tanpa melibatkan konstruksi sistem. Persis seperti membangun rumah tanpa konstruksi baja dan urat beton, akan runtuh. Begitu juga hukum, untuk mencegah keruntuhan hukum, semestinya hukum dibaca sebagai sistem, dan direkatkan dengan asas.
Hukum yang taat asas adalah hukum yang konsisten. Hukum yang memiliki validity dianyam dari sistem hukum, karena itu hukum bukan penjumlahan peraturan atau sebagai “mass of rules”, akan tetapi sebagai satu kesatuan terstruktur atau “structured whole” sebagai satu sistem. Hukum merupakan seperangkat aturan (rules) dalam satu kesatuan yang dipahami sebagai suatu sistem. Konsekwensinya, mengutip Hans Kelsen, tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.
Menghambat Ihtiar Merumahkan Rakyat: Inkonstitusional
Ihwal hunian berimbang diatur dalam Pasal 34, 35, 36, 37 UU PKP. Skim hunian berimbang memang ideal dilegalisasi sebagai salah satu strategi merumahkan kelompok MBR, dan menurunkan angka backlog agar dapat memenuhi rumah yang layak huni dan terjangkau.
Namun, ketentuan hunian berimbang untuk pembangunan perumahan skala besar yang wajib dalam satu hamparan [vide Pasal 34 ayat (2) UU PKP], untuk pembangunan rumah dengan hunian berimbang namun Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya “dapat” memberikan insentif kepada badan hukum [vide Pasal 34 ayat (4) UU PKP], pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak satu hamparan harus dalam satu daerah kabupaten/kota [vide Pasal 36 ayat (1) UU PKP], dan pembangunan perumahan dengan hunian berimbang oleh badan hukum yang sama [vide Pasal 36 ayat (4) UU PKP].
Dalam ihtiar merumahkan rakyat yang merupakan kewajiban konstitusional Negara dan kewajiban genuine Pemerintah, maka tidak tepat apabila membuat norma UU PKP yang secara obyektif tidak dapat dijalankan di lapangan, apalagi jika tidak efektif intervensi Pemerintah memberikan kemudahan dan bantuan yang diwajibkan sebagaimana Pasal 54 ayat (3) UU PKP. Oleh karena ketentuan hunian berimbang dimaksudkan sebagai strategi dan cara mengatasi backlog dan ihtiar untuk merumahkan rakyat yang diamanatkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, maka penormaan ketentuan hunian berimbang tidak semestinya menghambat kewajiban merumahkan rakyat.
Demi konstitusi, ketentuan hunian berimbang mestinya membuka peluang dilaksanakan tidak satu hamparan jika kondisinya tidak mendukung (seperti penyediaan tanah, mismacth peruntukan lahan dan ruang). Demi konstitusi, pembangunan perumahan dengan hunian berimbang mestinya membuka peluang dilaksanakan tidak satu hamparan dalam satu daerah propinsi. Demi konstitusi, pembangunan perumahan dengan hunian berimbang mestinya Pemerintah dan Pemerintah Daerah “wajib” memberikan insentif bahkan kemudahan dan bantuan. Demi konstitusi, pembangunan perumahan dengan hunian berimbang mestinya membuka peluang dilaksanakan tidak badan hukum yang sama.
Mengapa demi konstitusi? Ya, karena amanat konstitusi untuk pemenuhan hak bertempat tinggal, yang diturunkan sebagai hak bermukim merupakan kewajiban Negara. Sahih apabila Negara menyediakan norma hukum yang membuka lebar-lebar kesempatan berpartisipasi badan hukum atau pengembang yang merupakan nonstate actors dengan tanpa hambatan normatif berkiprah dalam membantu Pemerintah merumahkan rakyat, mengurangi backlog dan menyediakan perumahan yang layak huni dan terjangkau.
Saat menguji ayat lantai rumah umum minimal 36 meter persegi, Putusan MK Nomor Nomor 14/PUU-XII/2012 membatalkan Pasal 22 ayat (3) UU PKP. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat hak bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional setiap orang [Pasal 28H ayat (1) UUD 1945], adalah untuk merealisasikan tujuan negara “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”.
Melarang membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 meter persegi, berarti menutup peluang masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu. Dari pertimbangan itu dapat ditarik kaidah jurisprudensi bahwa adanya norma UU yang menghambat ihtiar merumahkan rakyat kelompok MBR adalah inkonstitusional.
UU PKP: Tiada Sanksi Pidana Hunian Berimbang
Kalau regulasi hunian berimbang melabilkan Pemerintah dan mengandung inkonsistensi norma UU, lantas apa logikanya melakukan laporan kepada pengembang? Katakanlah ada perbuatan melanggar hunian berimbang versi Pasal 34 ayat (1), (2) dan Pasal 36 ayat (1), (2) UU PKP.
Justru Pasal 150 UU PKP sama sekali tidak ada sanksi pidana. Jika cermat menelaah UU PKP, tidak ada rumusan Norma Larangan untuk hunian berimbang. Artinya? Quodnon, terjadi pelanggaran hunian berimbang versi Pasal 34 ayat (1), (2) dan Pasal 36 ayat (1), (2) UU PKP, perbuatan itu bukan perbuatan pidana. Tidak ada kriminalisasi atas pelanggaran hunian berimbang dalam UU PKP. Periksalah UU PKP, perbuatan melanggar hunian berimbang bukan Norma Larangan, dan karenanya tidak masuk dalam Sanksi Pidana, walaupun memang ada Sanksi Administratif jika melanggar Pasal 34 ayat (1), (2), dan Pasal 36 ayat (1), (2) UU PKP.
Jika pelaporan itu mengacu kepada Permenpera No. 7 Tahun 2013 Pasal 15B ayat (1), yakni pidana denda dan dapat dijatuhi pidana tambahan, maka Permenpera No.7 Tahun 2013 itu mengandung cacat hukum. Karena, Peraturan Menteri dilarang mengandung Sanksi Pidana.
Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam (a) Undang-undang (b) Peraturan Daerah Provinsi; (c) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”. Karenanya, ketentuan sanksi dalam Permenpera Nomor 7 Tahun 2013 melanggar UU No. 12 Tahun 2011. Secara tiori hukum, sanksi pidana hanya dilegalisasi dengan Undang-undang. Sangat ganjil jika aturan turunan justru melebihi norma hukum Undang-undang.
Pembuatan Permenpera No.7 Tahun 2013 yang mengandung ketentuan Sanksi Pidana, mesti dibatalkan agar tidak menabung kekacauan hukum. Walau mungkin memiliki keberlakuan (efficacy), namun tidak memiliki validity. Dengan demikian, pelaporan hunian berimbang atau kriminalisasi hunian berimbang mengandung cacat hukum. Lantas, apa dasar hukum yang valid melaporkan pidana terhadap pengembang dalam soal hunian berimbang?
Sanksi Administratif: Belum Ada PP
Bagaimana pula soal sanksi administratif? Untuk melaksanakan Sanksi Administratif hunian berimbang, Pasal 150 ayat (3) UU PKP memerintahkan lebih dahulu Peraturan Pemerintah (PP) mengenai jenis, tatacara, mekanisme sanksi administarif.
Faktanya, sampai saat ini PP yang diamanatkan Pasal 150 ayat (3) UU PKP belum dibuat. Bagaimana bisa mungkin menjatuhkan sanksi administratif? Kalau untuk menerapkan Sanksi Administarif saja belum dirumuskan regulasinya, lantas bagaimana logika menggunakan Sanksi Pidana? Justru dipersoalkan mengapa belum disahkannya PP yang diperintahkan Pasal 150 ayat (3) UU PKP. Justru Pemerintah perlu bersinergi dengan stakeholder membangun sistem hukum perumahan yang efektif.
Prosedur Pelaporan: Urusan Pemerintahan
Dalam pelaksanaan ketentuan hunian berimbang, yang de facto merupakan kegiatan di daerah kabupaten/kota, yang dikembangkan dengan perizinan dari instansi kabupaten/kota, maka pelaporan pelaksanaan hunian berimbang mengikuti prosedur pelaporan yang sah. Sebagai tindakan pemerintahan, pelaksanaan hunian berimbang dievaluasi dengan laporan Bupati/Walikota, bukan laporan survey lembaga swasta. Hal ini merujuk Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 648/3868/SJ tentang Pengawasan atas Pelaksanaan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang, tertanggal 3 Oktober 2010, yang ditujukan kepada Gubernur Propinsi Seluruh Indonesia:
Dalam angka 3 SE No.648/2012 tersebut ditegaskan agar Gubernur meminta kepada para Bupati/Walikota agar melaporkan kepada Saudara tentang tingkat pencapaian penyelenggaraan hunian berimbang secara terukur dan objektif di masing-masing kabupaten/kota sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2012.
Dalam angka 4 ditegaskan pula bahwa hasil pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2012 di masing-masing kabupaten/kota dan hasil penilaian terhadap tingkat pencapaian penyelenggaraan hunian berimbang secara terukur dan objektif tersebut supaya dilaporkan kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah.
Oleh karena itu, prosedur laporan pelaksanaan hunian berimbang dimulai dari bawah yakni laporan Bupati/Walikota yang ditujukan kepada Gubernur, dan selanjutnya Gubernur melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perumahan Rakyat. Mengapa? Karena urusan perumahan rakyat secara yuridis sudah diserahkan tuntas kepada pemerintah daerah, sebagaimana PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Uurusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Sudahkah Bupati/Walikota membuat laporan pelaksanaan hunian berimbang kepada Gubernur? Sudahkah Gubernur Gubernur melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perumahan Rakyat. Jika belum, bagaimana bisa membuat laporan telah adanya pelanggaran hunian berimbang? Lagi pula pelaporan hunian berimbang adalah urusan Pemerintahan bukan lembaga survey, apalagi jika dijadikan dasar pelaporan hukum.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka untuk ihtiar merumahkan rakyat, mengatasi backlog dan menyediakan rumah yang layak huni dan terjangkau, termasuk dengan hunian berimbang, diperlukan keseimbangan hukum, dalam arti menyediakan hukum yang fasilitatif, dapat (efektif) dijalankan, menguat kelembagaan dan pelembagaan, dan membuka seluas-luasnya partisipasi nonstate actors dalam pembangunan perumahan. Bukan menciptakan kesimpangsiuran hukum yang menimbulkan pengabaian asas hukum yang akhirnya menghambat ihtiar konstitusional merumahkan rakyat.
Pengabaian asas hukum menjadi musabab pembuatan norma hukum yang tidak valid, walau keberlakuannya seakan-akan menyamar sebagai kebenaran hukum. Inikah “hoax of the law”?