Krisis Eropa, Bank dan Masyarakat Debtorship
Apabila bumi ini dipandang secara bulat dengan determinasi ekonomi, maka satu-satunya yang konsisten adalah gerak mengalirnya kekayaan bangsa-bangsa ke dalam satu wadah raksasa bernama bank. Para pemilik bank itu dapat dilukiskan sebagai kelompok aristokrat baru yang menarik rente lewat sistem kredit dan bunga, di mana kekuasaannya dikumpulkan melalui transmisi uang kertas (bank note).
Uang kertas adalah surat utang bank. Otoritas mereka mengeluarkan uang kertas serta kewenangan menciptakan uang fiktif melalui kredit dan bunga telah mendudukkan mereka di puncak piramida kekuasaan ekonomi nasional, regional dan internasional, tanpa turut merasakan risiko dan dinamika pasar yang riil. Dengan perlindungan hukum yang begitu kuat dan hampir tanpa cacat cela, bank sudah didesain untuk menjadi lembaga ekonomi yang tidak boleh merugi. Kalau merugi, maka mereka di-bail out. Dengan demikian, bank lebih kuat dari negara.
Bahkan diprediksi, internasionalisme perbankan akan segera (atau sudah) mengambil alih peran dan fungsi nation yang belakangan ini semakin lemah dan kehilangan batas-batas (borderless) otoritasnya. Perbankan telah memaksa semua ideologi bergerak ke tengah demi kepentingan investasi, pertumbuhan dan utang, di mana ketiganya ini berporos pada aktivitas bank. Itulah yang diperlihatkan komunisme China, Rusia, sosialisme Eropa, negara-negara Islam Arab, negara-negara berkembang seperti Indonesia dan siapapun yang memiliki bank sentral. Tapi sistem perbankan ini pada akhirnya membawa dunia pada satu malapetaka: kebangkrutan dan tragedi kemanusiaan.
Fenomena itu sudah terlihat secara nyata lewat gejala kebangkrutan ekonomi bangsa-bangsa di Eropa dan AS, melemahnya kendali negara dalam sistem demokrasi, kerawanan anggaran rumah tangga nasional dan dependensi fiskal pemerintah terhadap pinjaman, serta makin menguatnya peran lembaga-lembaga bentukan konsorsium bank seperti IMF, Bank Eropa, Bank Pembangunan Asia dalam program-program sosial dan masalah kemiskinan yang seharusnya menjadi domain negara secara mandiri dan berdaulat.
Ada kausalitas yang dapat ditarik dari penguatan perbankan dengan pelemahan negara-bangsa. Ambillah krisis Yunani sebagai studi kasus. Hingga saat ini, analisis umum yang dikemukakan untuk menjelaskan krisis tersebut adalah angka-angka statistik-teknokratis seperti performa neraca mereka yang menunjukkan perbandingan utang 160% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dengan kata lain, negara itu telah bangkrut dalam statistik akibat defisit yang terus-menerus selama 30 tahun terakhir dengan rata-rata 6% terhadap PDB. Konon, nasib mereka sekarang terletak di tangan Bank Eropa dan IMF.
Namun benarkah kebangkrutan itu semata-mata diakumulasi oleh perilaku bangsa Yunani yang malas dan boros sebagaimana sering dikemukakan? Ataukah karena sebuah persoalan sistemik yang sangat mendasar dan jarang dibicarakan? Saya menduga, stigma malas dan boros kepada bangsa Yunani adalah konstruksi dari para ahli ekonomi yang suka mereduksi masalah sosial ke dalam angka-angka statistik. Dengan hanya membandingkan rasio antara produktivitas dengan tingkat konsumsi masyarakatnya, rasio ekspor dan impor, maka kesimpulan itu telah diambil secara tidak memadai.
Benar bahwa krisis fiskal di Yunani secara tekstual merupakan akumulasi dari defisit anggarannya selama 30 tahun terakhir yang juga telah mengakumulasi beban utang mereka sebesar 160% terhadap PDB pada tahun 2011 ini. Benar juga bahwa angka rata-rata defisit itu telah melanggar ketentuan maksimum defisit zona Eropa yang ditetapkan maksimum 3%.
Pun tidak bisa dibantah, Yunani merupakan salah satu negara dengan masalah korupsi yang serius. Mereka mengenal istilah fakelaki (amplop kecil) untuk setiap urusan, dan mendapat indeks persepsi korupsi di urutan 71 dari 180 negara. Mereka dituduh suka berfoya-foya yang antara lain diperlihatkan dengan penyelenggaraan Olimpiade Athena tahun 2004 lalu yang kemegahannya mencengangkan dunia. Tapi kesimpulan itu hanya dapat ditarik dari satu periode kesejarahan Yunani yang sangat singkat dibanding sejarah panjang bangsa seribu dewa itu.
Ada baiknya kita menyelam dulu ke dasar sungai untuk memahami gerak air di atasnya. Yunani adalah negara yang berpenduduk sekitar 11 juta jiwa dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 22.000, atau jauh di atas pendapatan per kapita negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun hanya sebuah negeri kecil di zona Eropa, tapi dunia mengenal Yunani sebagai salah satu negeri berperadaban tinggi. Sejak 2200 SM bangsa Minos di Yunani telah menunjukkan etos dan kecerdasannya dengan menciptakan simbol tulisan dan ekspresi seni arsitektur dan rancang bangun. Sejak 1550 SM, bangsa Mycena di Yunani juga mengembangkan kebudayaan Aegean yang telah mengenal perdagangan antarbangsa.
Bahkan sejarah peradaban dunia pada hari ini pun mencatat bahwa akar-akar modernisasinya tidak bisa dilepaskan dari dasar-dasar filosofi Yunani. Studi sejarah secara jelas memerlihatkan bahwa bangsa Yunani bukanlah keturunan pemalas dan tidak produktif. Mereka dikenal sebagai bangsa pelopor, baik dalam pemikiran, pengorganisasian maupun perdagangan.
Dalam konteks Yunani modern, fakta bahwa rakyatnya tidak tertarik berbelanja surat utang negara untuk memeroleh keuntungan bunga, juga dapat diindikasikan sebagai sikap mereka yang lebih menyukai berusaha di sektor riil atau mengonsumsi barang-barang kebutuhan. Konsumsi tidak selamanya buruk karena ia sesungguhnya merupakan instrumen penggerak ekonomi yang selalu mencari keseimbangan terhadap sisi produksi. Namun proses keseimbangan alamiah ini telah terputus oleh faktor lain yang sangat sistemik dan pasti. Sistem itulah yang saya simpulkan di sini sebagai penyelewengan ekonomi dan penyebab utama masalah sosio-ekonomi yang dipikul Yunani dan negara-negara barat lainnya hari ini.
Hukum keseimbangan penawaran dan permintaan telah rusak secara permanen sejak uang kertas mengintervensi pasar. Uang kertas lewat instrumen utang telah memungkinkan seseorang dapat mengonsumsi apa saja melebihi kapasitas produksinya. Seseorang juga dapat melakukan investasi besar dengan utang dan menyebabkan apa yang disebutkan para ahli ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi. Padahal dunia tidak pernah tumbuh, ia hanya berubah secara tetap. Bila ada 10 orang Indonesia menjadi orang terkaya di dunia, maka akan ada ratusan juta rakyat lainnya yang akan menjadi orang termiskin di dunia.
Pada saat uang kertas belum dikenal, manusia tidak bisa mengkonsumsi barang-barang, jauh melebihi apa yang dapat mereka produksi. Kalaupun mereka menggunakan uang, bentuknya adalah emas dan perak di mana kedua alat tukar itu juga merangkap sebagai komoditas yang nilainya inheren dengan berat dan ukurannya, serta terbatas persediaannya di alam. Tapi sejak bank memperkenalkan surat utang (bank note), maka tingkat konsumsi terhadap produksi bisa mengalami rentang statistik yang gila-gilaan, karena uang kertas dapat dicetak jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Uang kertas melahirkan terminologi inflasi dan kredit berbunga. Orang bisa menjalani hidup dengan utang seumur hidupnya lewat pemberian kredit. Uang kertas adalah surat utang bank, dan dengan surat utang itu bank membuat orang lain berutang. Orang kaya berutang. Orang miskin berutang. Bahkan negara pun berutang. Utang berutang ini menjadi pembentuk hubungan sosial (debtorship). Masyarakat hidup dengan berbagai lembar surat perjanjian. Surat-surat sampah ini terkadang jauh lebih merepotkan daripada mengolah sawah atau kebun anggur.
Yang kita lupakan hari ini, pengeluaran surat utang (uang kertas, SUN, obligasi, saham) tidak lagi didasarkan pada apa-apa, kecuali pada otoritas bank dan para elit politik yang pemerintahannya tergantung pada kemurahan bank. Rakyat tidak dilibatkan lagi dalam keputusan tentang utang dan ekonomi. Ketika Perdana Menteri Yunani, George Papandreou, mencoba melibatkan rakyatnya dalam referendum untuk menerima atau menolak bantuan konsorsium bank atas krisis negaranya, seketika para pemimpin Eropa dan partai-partai di parlemen sangat marah. Mereka merasa berhak memvonis bahwa rakyat harus menerima utang.
Dengan pemaksaan itu, bank saat ini makin leluasa mengeluarkan surat utang kapan saja, lalu seperti bunga kantung semar yang memikat lalat, mereka menjebak pemerintah setiap negara untuk mengutang pada surat utang bank itu. Akhirnya yang beredar adalah utang-utang yang diutangi, dan sejalan dengan waktu, kita menganggapnya sebagai kekayaan yang bersifat menguasai. Utanglah yang membentuk masyarakat saat ini, yaitu masyarakat yang saling mencurigai, saling menagih, menghisap, dan memindahkan segala bentuk kepercayaan dan solidaritas sosial ke dalam kontrak-kontrak perjanjian yang ditandatangani atau distempel. Teori-teori antropologi dan sosiologi moderen tentang pembentukan budaya sosial telah lama mati, terutama di wilayah-wilayah operasional bank.
Infrastruktur perbankan inilah yang saya duga menjadi penyebab perubahan sosial paling besar dan massif pada skala negara bangsa-bangsa di abad ini. Suprastruktur yang dihasilkannya adalah kemalasan sosial, pragmatisme ekstrim, dan debtorship society seperti apa yang terjadi di Yunani. Betapa tidak, Anda kini dapat mengkonsumsi sesuatu dengan utang, lalu menutupinya keesokan hari dengan utang lain. Berutang adalah hal yang lazim sejak terbentuknya perdagangan primitif, tetapi berutang dengan sistem bank adalah seumpama membuat perjanjian dengan setan.
Selain berutang, Anda juga diajak berpikir untuk menabung secara aman di bank dengan mendapat bunga sekian persen meskipun nilai uang itu mereka rampok juga lewat inflasi. Dengan makan bunga, untuk apa lagi berusaha dengan risiko dan kesulitan yang belum tentu mendapat keuntungan sebesar bunga deposito atau profit taking yang ditawarkan bank atau bursa saham? Bukankah dengan hanya memakai dasi dan duduk memelototi angka-angka mereka bisa sangat kaya di Bursa Efek Jakarta atau Wall Street? Inilah sisi destruktif ekonomi perbankan.
Praktik riba meskipun itu berkedok syariah seperti yang ramai-ramai dilakukan perbankan belakangan ini bukanlah semata-mata isu Islam atau Kristen sebagaimana yang dicurigai para kapitalis selama ini. Riba adalah isu kemanusiaan dan isu kemiskinan yang seharusnya diletakkan sebagai agenda utama PBB.
Sistemik
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa kebangkrutan bangsa-bangsa dan kemiskinan sosial adalah bersifat sistemik. Menuduh kemiskinan suatu bangsa atau suatu masyarakat sebagai akibat dari kemalasan dan pemborosan adalah generalisasi ekstrim yang sulit masuk akal. Dan agar keluar dari jebakan kemiskinan sistemik ini, maka jangan dengarkan lagi para doktor ekonomi, karena jelas bahwa sistemnya yang harus diganti dan cara berpikir mereka yang harus diubah. Sistem riba yang dipraktikkan perbankan dan institusi keuangan sejenis perlu dihapuskan. Otoritas ekonomi dan perdagangan harus dikembalikan pada ruang sosial, bukan pada otoritas elit. Kita membutuhkan semacam revolusi keuangan.
Dalam jangka pendek, uang kertas sebaiknya dikembalikan kepada emas dan perak sebagaimana yang dipelopori Kelantan Malaysia dan sejumlah komunitas baru di Eropa dan Amerika. Keterbatasan persediaan emas dan perak adalah cara paling efektif untuk menghambat proses penghisapan sumber daya alam negara-negara di dunia oleh para kapitalis liberal yang dipimpin oleh perbankan internasional. Itulah yang perlu dilakukan sebelum rakyat Indonesia ini terperangkap lebih dalam, dan sebelum nasionalisme kita hanya tersisa pada sepakbola. (Tikwan Raya Siregar)
Penulis adalah Kandidat Master pada Jurusan Antropologi Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan
Sumber: Medan Bisnis, Wacana Selasa, 15 Nov 2011 08:32 WIB