Larang Iklan Rokok!
Seakan barang normal, disini rokok boleh beriklan. Juga promosi dan menjadi sponsor. Alamakjang. 4000 zat kimia berbahaya dalam sebatang rokok, 60an diantaranya karsinogenik, boleh beriklan? INDONESIA adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (”FCTC”), walaupun terlibat aktif membahasnya.
Salah satu aturan dalam FCTC melarang secara komprehensif iklan, promosi dan sponsor rokok. Logika hukumnya, benda yang bersifat adiktif, karsinogenik dan mematikan itu, tak sepatutnya diberi peluang menayangkan iklan, promosi dan sponsorship.
Bagaimana akal sehat bisa menerima benda yang semestinya dihindari, menyebabkan penyakit, biang pemiskinan perokok dan bahkan kini wabahnya diakui sebagai epidemi global (global epidemic) dianggap seakan-akan benda bebas (free goods) sehingga boleh beriklan? Tak berlebihan jika mendalilkan relasi eksploitatif dalam kaitan dengan adanya pembiaran karena tidak melakukan perlindungan hukum terhadap bahaya rokok, adaah mengancam hak asasi manusia untuk kesehatan dan kelangsungan hidup. Disinilah korelasi pelarangan iklan, promosi dan sponsorship rokok.
Lebih setahun yang lalu, bertepatan hari hak asasi manusia sedunia, 10 Desember 2008, Komnas PA , dimana kala saya selaku kuasa hukum, melayangkan somasi kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Alasannya? KPI masih tidak melarang siaran iklan promosi rokok di televisi. Padahal, kua yuridis, Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran dengan tegas melarang sama sekali promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif. Lebih dari itu, konsideran “Menimbang” huruf a PP 19/2003, eksplisit menyebut “rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengamanan”.
Penjelasan Umum PP 19/2003, menegaskan rokok salah satu zat adiktif yang mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat. Oleh karena dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 zat kimia antara lain nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan kehamilan. Karena itu, sudah kuat dan absah jika melarang siaran iklan niaga promosi rokok dengan Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran.
Apalagi setelah diundangkannya UU Nomor 36 tahun2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) yang dalam paal 113 ayat (2) mendalilkan tembakau sebagai zat adiktif, maka pengendalian dampak tembakau mesti semakin giat dan gencar. Walau sempat nyaris “dihilangkan”, pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan ini menjadi tongak penting dalam pengendalian tembakau di Indonesia, karena secara eksplisit menyebutkan tembakau sebagai zat diktif. Suatu penormaan yang maju yang selalu gagal dirumuskan dalam UU sejenis.
Lagi pula, de facto saat ini iklan rokok sudah tidak rasional lagi. Iklan rokok bermetamorfosa seakan-akan barang normal, tidak berbahaya, dan tidak mematikan! Sebagai suatu bentuk informasi, iklan rokok yang justru tidak benar atau misleading dimana sejatinya dalam rokok tidak kurang 4000 jenis zat kimia beracun dan 69 diantaranya karsinogenik.
Menurut WHO, rokok adalah pembunuh yang kini dianggap ’bukan basa-basi’.
Setiap 6 detik satu orang meninggal karena merokok. Ahli-ahli kesehatan di dunia membuktikan merokok penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan; penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular); penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS, dan 70.000 artikel ilmiah menunjukkan merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut, kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah, pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma, dan saluran nafas lainnya.
Studi Ekonomi Tembakau versi Lembaga Demografi FE UI (2008) menyebutkan konsumsi rokok juga penyebab dari sampai 200.000 kematian setiap tahunnya. Iklan rokok justru sudah bermetamorfosa, atau berubah dengan dicitrakan sebagai suatu yang ”enjoy aja”, ”kejantanan”, ”kebaikan”, ”kebenaran(karena dicitrakan ’bukan basa basi’), ”kebersamaan”, ”bakat dan ekspresi”, dan lain-lain. Seakan-akan merokok sebagai suatu yang biasa atau normal, dan mencitrakan merokok bukan lagi mengkonsumsi 4000 zat yang mengandung zat racun yang berbahaya, zat yang bersifat adiktif, bersifat karsinogenik.
Padahal, iklan rokok memiliki kekuatan mempengaruhi anak dan remaja selaku penerima pesan iklan rokok mengingat penetrasinya bersifat visual, bukan verbal. Aspek emosi lebih berperan daripada aspek kognitif. Materi ataupun citra iklan rokok diniatkan menjangkau anak dan remaja. Dr. Widyastuti Soerodjo, membantah dalih industri rokok bahwa perusahaan rokok tak menyasar perokok remaja dan anak-anak. Kerena, menurut Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu, kiprah iklan dan sponsor itu semuanya untuk kaum muda, bukan untuk kakek-kakek. Belum lagi pemberian rokok gratis. Ironisnya, untuk pembodohan masyarakat seperti ini, pemerintah tutup mata.
Apabila iklan rokok terus dijalankan dan tidak dihentikan maka secara kausalitas akan meningkatkan prevalensi anak-anak merokok, semakin rendahnya usia anak merokok, dan tidak dapat berhentinya anak-anak (dan remaja) dengan segenap implikasinya terhadap hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh dan berkembang anak-anak. Perkiraan tersebut diperoleh dari alasan dan fakta-fakta.
Pertama, kebijakan ”Road Map Industri Rokok 2007-2020” yang menentukan prioritas target produksi rokok pada tahun 2007 s.d 2010 sebanyak 240 miliar batang; Kebijakan ini mengambil prioritas peningkatan jumlah tenagakerja. Pada 2010 s.d 2015, 260 miliar batang dengan kebijakan prioritas peningkatan pendapatan pemerintah, sedangkan tahun 2015 s.d 2020 tetap sebanyak 260 miliar batang. Namun kebijakan ini menekankan pada prioritas pada kesehatan, tenagakerja, dan pendapatan pemerintah.
Kedua, adanya strategi besar untuk menjangkau anak-anak dan remaja sebagai sasaran bagi perokok baru, yang diperoleh dari dokumen internal industri rokok multinasional Philip Moris yang mempunyai strategi dan misi seperti terungkap dengan pernyataan berikut ini: ”remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok …, pola perokok remaja penting bagi Philip Morris”. (Laporan ke Philip Morris, 1981) [Fact Sheet Depkes dan WHO, 04/2/2004].
Ketiga, kebijakan tidak sensitif hak anak, yang terbukti dari kebijakan mengenai tarif cukai atas produk tembakau/rokok yang diberlakukan Pemerintah masih rendah yakni sebesar 37% dari harga jual. Kebijakan cukai minimalis ini masih terlalu rendah jika dibandingkan regulasi cukai rokok pada negara tetangga maupun prosentase cukai maksimal yang diperbolehkan UU Cukai; sehingga fakta itu terbukti menjadi kausalitas meningkatnya prevalensi perokok pemula atau perokok anak.
Cukai minimalis terbukti dari kebijakan tarif cukai 37% yang masih rendah dan tidak konsisten dengan peraturan perundangan, karena: (1) kebijakan tarif rokok sebesar 37% terlalu rendah dibandingkan standar global: 70%. (2) kebijakan tarif rokok 37% masih dibawah tarif yang bisa ditarik maksimal 57% dalam UU Cukai; (3) kebijakan tarif cukai sebesar 37% jauh lebih rendah dibandingkan tarif cukai yang diterapkan di negara-negara lain seperti Filipina sebesar 55%, India (55%), Thailand (75%), China (39%).
Keempat, belum diratifikasinya FCTC sehingga Pemerintah tidak terikat melaksanakan isi FCTC yang secara tegas mengikat negara peserta melakukan pelarangan komprehensif (total ban) iklan, promosi dan sponsor rokok. Walaupun, ironisnya Indonesia ikut aktif menyusun FCTC itu.
Nasib anak-anak yang terjerat serangan iklan rokok yang agresif dan nyata-nyata bermaksud menjangkau perokok baru. Perlindungan anak dari zat adiktif masih tergadai dan belum tertebus jika berbagai regulasi yang adil dan melindungi dapat segera disahkan. Karenanya, demi kepentingan terbaik bagi anak, kita mengingatkan Menteri Komunikasi dan Informasi serta KPI agar merevisi UU Penyiaran, melarang iklan rokok yang adiktif, karsinogenik dan mematikan (tobacco kills) itu.