Larangan Iklan Rokok Tak Masuk RUU Penyiaran, Menkominfo Harus Bertindak

Berdasar salinan draf revisi UU Penyiaran yang diperoleh Lentera Anak Indonesia, larangan iklan rokok raib dari draf revisi yang tengah dibahas DPR. Hal ini menuai kecaman beberapa pihak. Menkominfo Tifatul Sembiring pun diminta bertindak.

“Saya meminta Menkominfo untuk menarik DIM (Daftar Inventaris Masalah)-nya agar menyesuaikan Rancangan Undang-undang itu dengan larangan iklan rokok secara total. Karena itulah hal yang benar dan sesuai dengan yang dia sampaikan dalam media online bahwa dia setuju 100 persen dengan larangan iklan rokok,” kata Muhammad Joni, ketua Indonesian Lawyers Association on Tobacco Control.

Hal itu disampaikan dalam acara media briefing Menyoal Isu Iklan Rokok dalam RUU Penyiaran yang diselenggarakan di Yayasan Kanker Indonesia, Jl Sam Ratulangi, Jakarta, Kamis (4/7/2013). Joni lantas mengutip statement yang pernah disampaikan Menteri Kominfo, Tifatul Sembiring melalui akun twitter dan ditulis di detikHealth sebelumnya.

“Saya setuju 100% bhw stop iklan rokok bahkan stop merokok. Tapi konten TV/radio itu ranah KPI, BSF. Klo sy punya sdh dihapus..,” demikian tulis Tifatul lewat akun twitternya @tifsembiring pada Selasa (18/6) lalu.

Oleh karena itu, Joni meminta Menkominfo membuktikan pernyataannya, sebab DIM dalam revisi UU Penyiaran disusun oleh kementerian yang ia pimpin. Seperti diberitakan sebelumnya, Tifatul menegaskan bahwa DIM tersebut sudah masuk ke Komisi I DPR, namun tidak menutup kemungkinan adanya usulan yang masuk belakangan.

Dalam proses penyusunananya, draf revisi UU Penyiaran diajukan oleh DPR, dibahas dan disiapkan oleh Komisi I DPR, kemudian diharmonisasi oleh Badan Legislatif. Ketika saat masih di Komisi I, RUU tersebut kabarnya masih mencantumkan adanya pelarangan iklan rokok secara total. Namun, larangan tersebut tiba-tiba berubah menjadi pembatasan iklan rokok.

Menurut Joni, pemerintah sebagai mitra dalam pembahasan RUU menyetujui pembatasan iklan rokok. Dia menyebut hal itu berarti ada kesepakatan dalam tim untuk melakukan pembatasan saja, bukan pelarangan. Oleh karena itu, Joni, mempertanyakan keseriusan Menkominfo terhadap pelarangan iklan rokok seperti yang pernah diucapkannya.

“Pemerintah punya wewenang, tanggung jawab dan otoritas untuk bisa membuat larangan iklan itu sendiri. Secara teknis hukum, itu bisa dilakukan oleh pemerintah. Sesuai substansinya, sudah sesuai dengan putusan MK berkenaan dengan tembakau dan zat adiktif,” ujar Joni.

Joni juga meminta agar DPR dan pemerintah untuk memperhatikan aspirasi masyarakat. Sebab, Undang-undang Kesehatan sudah jelas menyatakan bahwa rokok merupakan zat adiktif. Bahkan uji materi terkait pasal tersebut sudah ditolak oleh Mahkamah Konsitusi. Artinya, tembakau tetap digolongkan sebagai zat adiktif.

“Kita melihat adanya indikasi perubahan dari Komisi I ke Baleg. Hal itu harus kita klarifikasi, kita minta pertanggungawabanya secara politik dan akademis, mengapa hal itu terjadi? Bukankah kita sudah punya draf politik awal yang awalnya melarang iklan?” pungkas Joni.

Leave a Reply