Lawyering With Hearth
Nuranilah yang berbicara ketika seorang pejuang keadilan bekerja dalam menegakakan hukum.
Itulah sebabnya, seorang lawyer disebut officium nobile (profesi yang mulia) . sang tokoh ini kemudian mengekspresikannya dengan kalimat singkat, “lawyering with hearth” dalam akun jejaring sosialnya.
Lengkapnya, Pengacara Apersi dalam perkara uji yuridis Pasal 22 Ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 20011 ke Mahkamah Konstitusi (MK), ini menulis: “…. credo pelayanan hukum dengan melibatkan kekuatan hati itu menjadi pembeda. Sejak zaman klasik, baik teori maupun praktek, hukum tak Cuma hukum. Jasa hukum tak el;ok jika Cuma “corong” dari undang-undang, dan mendiktekan bunyi pasal dan ayat substansi peraturan”.
Lebih jauh lagi pria yang lahirkan 46 tahun silam ni mengemukakan, di ragam keadaan praktik hukum berkelebat dengan ragam konkret yang terbangun sebagai kasus, fakta dan/atau gejala hukum atau living law. Sifatnya kauistik, unik, holistic, subyektif, humanistic. Living law tercermnin pada tindakan konkrit orang dan institusi/korporasi. Itulah sebab mengapa jasa hukum bukan duplikasi dan pabrikasi tindakan hukum, apalagi dikerjakan bak mesin sambil lalu seperti jasa drive thru, atau stop and go, atau got and baby.
Jasa hukum itu, imbuh Managing Partner pada Law Office Joni & Tanamas ini, lebih padat dari sekadar litigasi dan non-litigasi. Namun optimalisasi potensi advokat membumikan keadilan substansif hukum untuk kepentingan orang sebanyaknya. Pun di sana bersemayam seni dan rasa. Alhasil, sangat kontras jika dipahami hanya sekedar optimalisasi litigasi.
Berkiprah dari hati yang paling dalam itulah, Joni berdiri didepan Pengurus Apersi ketika berusaha memperjuangkan keadilan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di negeri ini agar bisa memiliki rumah. Melalui jalur hukum, ia berhasil menorehkan prestasi gemilang yang memberikan harapan bagi MBR di tanah air. Bersama Apersi, perjuangannya berhasil dalam mengubah UU yang diskriminatif itu.