Manusia Bukan Statistik – Bang Alwan

Bang Alwan itu menganut mazhab holistik. Bahkan penganjur holistik-isme.  Sebuah pendekatan dan cara sistematis memberdayakan akal dan (rasa) hati. Jujur saja, saya sendiri tak tahu menahu banyak  hal ihwal holistik  “made in Bang Alwan”,  kalaupun ada cuma sedikit.  Itupun hasil obrolan tak berjadwal dalam berbagai kesempatan dengan DR. Khairul Alwan Ar-Rivai Nasution, MM,  namun saya mendudukkan itu sebagai pemantik api yang menggugah daya.

Yang pasti, Bang Alwan, begitu saya menyapanya,  sangat taat dalam keyakinannya dan terpesona dengan keutamaan dan keistimewaan ciptaan Tuhan bertitel manusia.   Dalil ini 100 persen benar. Hanya manusia yang diberikan dua perkakas jitu: akal dan hati.  Guru mengaji saya di Jamaiyah Mahmudiyah Li Talabil Khairiyah, Tanjungpura, Langkat mengajarkan, tanpa dua perkakas canggih anugerah Tuhan itu (akal dan hati), makhluk itu bukan manusia.  Mungkin hewan atau hantu. Kitab suci petunjuk bagi manusia,  Al Quran mengajarkan hidayah itu ditempatkan di dalam hati bukan akal.

Entah bagaimana karya akal  (atau hidayah) holistik itu datang, berapa lama ihwal itu bersemi dan tumbuh kembang,  itu tentu proses individual dan pengalaman ruhani personal.  Namun, hasil olah pikiran dan rasa itu dikukuhkannya sebagai hak kekayaan intelektual alias intellectual property rights.  Sungguh, Bang Alwan bukan sekadar haqqul yaqin dengan jalan (pikiran atau hidayah?) holistik itu,  tetapi proaktif melindunginya dari “bahaya” penyalahgunaan. Kendatipun karya pemikiran galibnya anugerah Tuhan,  namun otentisitas dan penghargaannya tak elok jika diperlakukan semberono.

Bang Alwan – yang mengemas,  pionir dan sekaligus  host materi acara kuliah subuh di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)  era tahun 90-an–  mengemas  jurus holistik dalam sebuah jargon: “semua bisa diholistikkan”. Jargon itu pas,  karena dengan  ragam potensi  manusia  bisa memberdayakan dirinya, masyarakat, lingkungan sekitar, yang secara genetis dan historis memiliki  “DNA” memimpin planet bumi. Tugas yang tak sanggup dan enggan dijabat langit, gunung dan malaikat sekalipun.

Saya cuma bisa menghayalkan, mungkin sekali holistik itu maksudnya menyeluruh, melingkupi, mengelilingi utuh persis seperti hambaTuhan  bertawaf, mengitari utuh rumah Allah. Atau juga berasal dari kata hollisna, (mohon) perlindungan Allah, Tuhan Semesta Alam Raya. Lindungi kami (manusia) dari bahaya api neraka: Hollisna minnan naar.  Kalau menurut versi saya,  esensi holistik itu hanya satu: memanusiakan manusia sebagai manusia.  Bukankah begitu Bang Alwan?

Sebagai advokat saya menganut credo yang mirip,  bahwa  hukum itu diciptakan untuk memanusiakan manusia. Pun demikian holistik juga idemditto: jalan memanusiakan manusia. Jalan itu oleh kaum lain disebut-sebut sebagai tarekat.

Karena percaya orientasi dan fokus Bang Alwan adalah memanusiakan manusia, atau sebut saja pembangunan sumber daya manusia, maka saya tak sungkan mengail satu dua jurus holistik dalam urusan pekerjaan dan profesi saya: litigasi dan advokasi hukum.  Satu diantaranya mendaulat dan memanfaatkan jurus bang Alwan tampil sebagai ahli holistik dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Kala itu saya menjadi lawyer Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) yang menguji konstitusionalitas ayat lantai rumah dari UU Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Alhamdulillah, menang mutlak dan Pasal 22 ayat (3) UU PKP dibatalkan.

Suatu ketika di pertengahan Desember 2012, saya meneruskan sepenggal syair Jalaluddin Rumi ke akun facebook-nya Bang Alwan. Bunyinya kira-kira begini, “Seorang Tuan dengan lentera di tangan pergi ke kota. “Aku bosan bertemu dengan hantu dan hewan, aku rindu bertemu manusia”.  Saya percaya, dia akan menyambar syair itu dan akan lihai menggunakan itu sebagai pemantik cahaya yang bisa menerangi masyarakat dan umat dari lorong gelap pikiran jumut. Karena  Bang Alwan memang “human development oriented”.

Pada kesempatan lain, tatkala Rapat Kerja ormas Islam Al-Ittihadiyah dimana Bang Alwan menjabat Wakil Ketua Umumnya, beliau tetap saja kukuh dengan sumberdaya manusia (SDM) sebagai aset.  Modal kita bukan aset tanah dan properti, tetapi sumber daya manusia yang kekuatannya lebih dahsyat dan berharga selangit dibanding sumberdaya alam raya seperti migas dan minerba, yang bisa habis esok lusa. Andai  terlalu rakus dihisap  dan salah kelola pasti  merusak lingkungan hidup. Banyak orang kuatir kehabisan migas dan cemas atas dampak limbah pabrik kimia, namun tak banyak yang peduli penerlantaran sumber daya manusia.

Pandangan menyoal manusia itu membuat saya dan Bang Alwan saling bertemu pikiran, dan menyetujui serta kerap bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan yang telah membekali manusia dengan  imajinasi dan pikiran. Keduanya begitu jenius dan  tumbuh tak berkesudahan. Saya sendiri tak tahu cara bagaimana Tuhan  mengajari cerdasnya jantung memompakan darah,  disiplinnya mata menggambarkan cerita, tajamnya hidung mengendus hawa, jeniusnya otak mengolah perintah.

Imajinasi dan pikiran yang maujud manusia, terlalu patut dan mulia dibanding alat dan benda langit,  kerak dan isi bumi, panorama “jejak-jejak” keindahan-NYA di jagat raya.  Mulia manusia  tak terentapkan dibanding  benda sumberdaya energi alam raya apa saja: minyak bumi dan gas cair, hitam batubara dan putih pasir kuarsa,  timah putih ataupun tembaga merah.

Saya yakin, dengan hati  dan pikiran bisa semakin mengerti betapa patut dan mulia Tuhan  menempatkan manusia  sebagai khalifatu fil ard,  tugas yang tak mempan  diemban langit dan bumi kendati  tak henti berzikir tahu diri.  Tuhan menjadikan manusia pemimpin jagat,  bukan se naif  perkumpulan daging, darah dan tulang. Bukan angka dalam laporan, bukan statistik dalam politik.  Tuhan menjadikan manusia empu mampu.

Karena segenap paragraf pendapat itu, saya tegak berdiri menghargai ihtiar Bang Alwan menggunakan cara-cara holistik memanusiakan manusia. Manusia itu anugerah bukan statistik.

Leave a Reply