Menerka Omnibus Law, Jangan Sampai …

“RUU ini diajukan sektor apa dan Menteri mana?” Pertanyaan itu acap terdengar kala membahas RUU usul Pemerintah.

Walau berlaku untuk seluruh rakyat dan subyek hukum di Indonesia, ada kesan kuat UU bersifat sektoral. Dan dalam banyak hal ‘in concreto’ atau ‘law in action’ berlaku tak efektif karena soal sektoralitas itu. Seakan UU sektoral seperti sudah jadi isme dalam legislasi UU. Parlemen dan Pemerintah pembuat UU pun seakan menerima pasrah begitu saja.

*

Tiba-tiba ada usul menerapkan Omnibus Law. Kalau Omnibus Law diterapkan apakah berlaku lagi cara pembuatan UU yang sektoral? Itu pertanyaan sistem legislasi dibalik usul Omnibus Law.

Diwartakan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil pernah melontarkan tentang konsep Omnibus Law.

Kata ‘omnibus’ berasal dari bahasa Latin yang artinya ‘untuk semuanya’.
Jadi dibuat UU baru untuk semua yang menjadi payung UU lain, dalam hal ini norma UU yang Legal Substance bahkan Legal Structure-nya saling bertentangan. Misalnya antara rezim hukum pertambangan versus kehutanan dan lingkungan hidup. Antara rezim hukum ketenagakerjaan dengan rezim hukum investasi modal asing. Antara rezim hukum kesehatan/praktik kedoktetan versus rezim hukum globalisasi jasa kesehatan. Antara rezim UU Pemerintah Daerah versus UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Begitu kira-kira kerumitan sektoralitas UU.

Konsep Omnibus Law ini juga dikenal dengan Omnibus Bill yang sering digunakan negara penganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi.

Mengusung Omnibus Law sebenarnya pembuat hukum negeri ini tengah (maaf) menertawakan diri sendiri. Betapa jamak UU yang tak harmoni. Usul Omnibus Law itu mengkonfirmasi UU dibuat dengan “ego sektoral” dan acap sesuai term of order reference. Tengoklah ketika RUU Pertembakauan diajukan yang hendak menafikan UU Kesehatan dan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ikhwal penanggulangan dampak tembakau.

*

Di tengah sengkarut Unharmony of the Law, penerapan prinsip Omnibus Law sebagai terobosan hukum boleh saja, asalkan demi kepastian hukum, dan menjamin kua normatif tidak tumpang tindih lagi. Tidak jadi bumerang bagi kewenangan dan norma yang berlaku baik pusat apalagi daerah. Ada isu krusial antara Omnibus Law versus otonomi daerah.

Pertanyaan lain yang musti dijawab adalah mengusung Omnibus Law ini untuk kepentingan siapa? Rakyat warga domestik, demi hak asasi manusia, demi kesejahteraan rakyat dalam Negara Kesejahteraan, atau demi kemudahan investasi dan bisnis asing belaka? Demi perjanjian globalisasi ekonomi?

Itu Question of Law ikhwal garis politik hukumnya. Soal teknis legislasinya juga ada. Pekerjaan teknis legislasi yang krusial berada pada formal pembahasan dan materil penormaannya, jangan sampai justru menciptakan Conflict of Law versi baru lagi. Jangan sampai abaikan sektor dan daerah pun demikian hak konstitusional rakyat lokal-domestik.

Jangan sampai konflik horizontal dan vertikal dalam regulasi tetap terjadi, khususnya perihal kewenangan mengikat yang ada pada pemberian otoritas hukum, baik lokal dan nasional.

Yang paling penting, jangan sampai hanya demi Easing of Doing Business (EoDB). Juga kepastian hukum, kewenangan daerah versi otonomi daerah dan lebih jauh lagi, prinsip Negara Hukum pastikan tidak diciderai. Jangan sampai Omnibus Law bermetamorfosa menjadi monopoli kebenaran hukum.

Juga jangan sampai EoDB diupayakan dengan jurus Omnibus Law malah merugikan hak hukum dan hak konstitusi penduduk warga lokal dan domestik.

Jangan pula menghalangi hak warga domestik atas hak konstitusionalnya atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan yang dijamin Pasal ayat 2 UUD 1945.

Omnibus Law, walaupun diupayakan demi EoDB tetap harus memegang prinsip menghormati, menghargai, menjamin dan melindungi warga negara dan segenap konstitusionalitasnya.

Jangan sampai UU baru dengan Omnibus Law malah mengandung norma yang tidak konstitusional.

Jika demikian, akan sangat mungkin diajukan Judicial Review dan bersiaplah untuk kecewa kalau dibatalkan MK. Sebab itu Omnibus Law musti otentik demi Harmony of the Law bukan hanya utak atik norma.

Finally, Omnibus Law hanya prinsip saja, yang krusial apa isi/substansi normanya (legal substance), apa legal structure-nya.

Isu besarnya adalah menjamin sahihnya harmonisasi hukum itu. Juga menjamin kepastian hukum yang tidak malahan timbulkan Conflict of the Law lain lagi. Maklum saja, hukum selalu dinamis. Serta, ini paling penting, tidak malah menjadi Against of Constitution. Apalagi terhadap norma UU yang sudah diuji dan dikokohkan konstitusionalitasnya oleh MK. Hemat saya, MK tidak berkenan apabila putusannya diabaikan kekuasaan pembuat UU.

Soal konsistensi dan harmonisasi hukum memang soal krusial dalam legislasi UU. Ada politik dan hukum yang tarik tambang.

Justru kalau maksud Omnibus Law berperan sebagai “UU Payung” atau “UU Pokok” namun dalam hirarkhi perundang-undangan kita tak mengenalnya.

Mana lebih baik buat UU baru dengan Omnibus Law yang harmoni daripada membuat regulasi dibawahnya yang Against the Act? Perlu dicermati.

Terbitnya Perpres tenaga kerja asing menjadi contoh yang membuktikan adanya Conflict of the Law demi EoDB, dan adanya law tention dalam pandangan Sosiology of Law. Allahu’alam. Tabik. (Muhammad Joni, Advokat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Pengurus Pusat IKA USU).

Leave a Reply