Mengapa Melindungi Anak?
Anak bukan orang dewasa dalam ukuran mini. Mereka membutuhkan topangan, sokongan, dan perlindungan aktor “orang dewasa”: keluarga, masyarakat, Pemerintah dan Negara.
Karakteristik anak, yang sedang dalam proses evolving capacity, membutuhkan aktor yang memainkan peran perlindungan bagi subyek yang masih dependen ini. Karena itu, dalam konteks anak sebagai entitas dalam keluarga, anak membutuhkan peran orangtua (parent role) menuju kematangan subyek yang dewasa.
Dalam konteks anak sebagai subyek hukum dalam berbangsa dan bernegara, anak membutuhkan perlindungan. Apalagi, anak yang berada dalam kualifikasi tertentu yang rentan (vulnerable) dengan kekerasan, eksploitasi, dan penerlantaran, sehingga membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection). Bentuk dan jenis anak yang membutuhkan perlindungan khusus secara eksplisit tertera dalam Pasal 59 UU No 23/2002.
Anak = Perlindungan
Sebagai warga negara, anak berhak dilindungi Negara. Apalagi Pasal 28B ayat UUD 1945 menjamn hak konstitusional anak berhak atas hidup, kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Oleh karena itu, anak sebagai subyek hukum yang bukan sekadar urusan “privat” dan termasuk public domein, maka dapat dikemukakan beberapa alasan, mengapa perlu melindungi anak. Mengapa Negara harus melindungi anak?
Selain adanya relasi Negara dengan rakyat (termasuk anak-anak) berdasarkan social contract, berikut ini dikemukakan lagi rasionalitas mengapa negara harus melakukan perlindungan anak, sebagaimana Peter Newel, dalam “Taking Children Seriously – A Proposal for Children’s Rights Commissioner”, Calouste Gulbenkian Foundation, London, hal. 18. Yakni:
- Biaya untuk melakukan recovery akibat dari kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan.
- Anak-anak sangat berpengaruh – langsung dan berjangka panjang – atas perbuatan (action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (inaction) dari pemerintah ataupun kelompok lainnya.
- Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian pelayanan publik.
- Anak-anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan loby untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah.
- Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan pentaatan hak-hak anak.
- Anak-anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.
Selain itu, dalam kaitan dengan kewajiban negara melindungi anak dan pemenuhan hak anak – sebagai hak asasi manusia – setidaknya beranjak dari 3 (tiga) alasan:
Pertama, situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia yang masih rentan dengan ancaman resiko dan bahkan sudah mengalami eksploitasi, kekerasan, penyalahgunaan, penerlantaraan, dan impunity. Dalam relasi anak dan tembakau, diperoleh data prevalensi perokok anak usia 13-15 ahun mencapai 24,5%. Hasil Survey Ekonomi Nasional BPS melaporkan eskalasi jumlah perokok yang mulai merokok usia dibawah 19 tahun, yakni 69% pada tahun 2001 ,menjadi 78% (tahun 2004). Perokok yang mulai merokok pada usia muda (5-9 tahun) meningkat dari 0,4& pada tahun 2001 menjadi 1,8% (tahun 2004).
Kedua, sejumlah peraturan hukum dan konstitusional yang berlaku di Indonesia sudah mengikat, dan karenanya mewajibkan negara mengaktualisasikan perlindungan anak. Dalam UUD 1945 telah diatur perlindungan anak (vide Pasal 28 B ayat 2 yang berbunyi: “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi”). Dan, pada 23 September 2002 DPR menyetujui Undang-undang Perlindungan Anak, yakni UU No. 23/2002 – yang memuat norma-norma hukum baru tentang perlindungan anak.
Ketiga, adanya komitmen, keterikatan hukum dan politik Indonesia – sebagai masyarakat dunia internasional – untuk mematuhi dan mengharmonisasikan instrumen/konvensi internasional, termasuk dan tidak terbatas pada KHA yang sudah diratifikasi dengan Keppres No. 36/1990. Konvensi hak Anak (KHA) yang mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights).
Kemajuan ratifikasi KHA ini menggembirakan, karena jika dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya, KHA telah di ratifikasi oleh paling banyak anggota PBB. Tak ubahnya telah menjadi norma universal.
Oleh : Muhammad Joni, SH, MH., Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia, Mantan Wakil Ketua Komnas PA dan pernah menjabat Tim Ahli (hukum) KPAI